Minggu, 18 Desember 2011

Don't Leave Me

Diposting oleh Icha Elias di 23.12 0 komentar
Author : Ummu Aisyah or Icha (@MrsEliasChoi on twitter)
Cast : Mutiara, Yujara and other cast
Inspiration : Davichi – Don’t Say Goodbye MV 
This story is purely mine! please don't take anything from here  



Gadis itu berjalan dengan lunglai dijalanan itu. Hujan pun tak kunjung reda. Ia hanya memeluk dirinya sendiri tanpa tau harus berlindung pada siapa. Hujan sudah membasahi tubuhnya, seluruh badannya sudah basah akibat air yang turun dari langit itu.

Ia berlari sedikit setelah melihat halte yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ia memilih duduk dipojok halte, karena kebetulan halte itu sedang sepi. Tak ada orang yang sedang berteduh disana.

Gadis itu menangis dalam hujan. Ia tidak tau harus kemana. Ia tidak punya apapun lagi setelah kejadian ini. Ia merasa ia gadis paling malang didunia ini. Sekarang, ia harus merelakan dirinya akan mati kedingingan. Ia sama sekali tidak membawa apapun. Tak ada jaket, payung apalagi uang.

Matanya sudah tidak kuat untuk terbuka, ia menutup matanya perlahan.

*

Malam ini begitu menyebalkan bagi Yujara, pria itu belum juga pulang karena ada urusan bersama teman-temannya dikampus. Ia mendesah sebal ketika tau hujan ini belum sama sekali reda.
“Hujan ini kapan berhenti sih?!!” desahnya jengkel. Ia memang sedang memakai jaket, setidaknya ia bisa sedikit lebih hangat. Tapi ia tidak mau pulang karena cuaca masih mengerikan begini. Ia takut akan ada petir ditengah jalan dan mengganggu kendaraannya. Setelah beberapa menit ia berpikir, akhirnya ia mengambil keputusan. Ia akan pulang dengan jalan kaki atau naik bus. Ia tidak ingin motornya itu rusak hanya karena kehujanan. Lebih baik motornya ia simpan dikampus hingga esok hari. Setelah berbicara dan mengadakan kesepakatan dengan satpam dikampusnya, ia langsung berjalan menerobos hujan. Beberapa kali ia mendesah karena kehujanan.

Senyumannya terkembang ketika melihat sebuah halte yang tak jauh darinya. Ia berlari kecil kemudian duduk disana. Ia menoleh kekanan dan kekiri. “Kenapa sepi banget?” tanyanya pada diri sendiri. Ia mengangkat tangannya untuk melihat arloji miliknya. Jam menunjukan pukul 21.05.  Pantas saja sudah sepi. Yujara menunggu sebuah bus atau taksi yang akan mengantarkannya pulang kerumahnya. Karena jujur saja, ia sudah tidak tahan untuk tetap di halte sepi ini. Bagaimana kalau nanti ada orang jahat? Yujara memang sedikit pandai bela diri. Tapi ia tidak bisa menjamin dirinya akan selamat.

Bulu kuduk pria itu berdiri ketika mendengar suara desahan. Seperti sebuah desahan seseorang yang sedang kedinginan. Seharusnya pria tidak perlu takut, tapi suara desahan itu semakin terdengar ditelinga Yujara. Pria itu semakin ngeri. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian, pria itu menoleh kearah yang menimbulkan suara itu.

Matanya membulat ketika melihat seorang gadis tengah duduk bersender kekiri. Ia memeluk lengannya sendiri, alih-alih untuk menghangatkan tubuhnya. Sebenarnya Yujara belum terlalu yakin gadis itu adalah manusia. Wajahnya begitu pucat, bibirnya bergetar. Dengan segala keberaniannya Yujara menghampiri gadis itu kemudian mengguncang bahu gadis itu.

“Hei, hei… Nona kau tidak apa-apa?” tanya Yujara. Namun gadis itu tidak menjawab, ia hanya terus mendesah kedinginan. “Nona, kau tidak apa-apa?” tanyanya lagi. Sekarang Yujara yakin kalau gadis itu adalah manusia. “Dingin….” Desisnya. Yujara bingung apa yang harus ia lakukan. “Ini sudah malam, dimana rumahmu? Apa kau punya nomor untuk dihubungi?” Yujara terus bertanya. Tapi percuma, gadis itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Yujara bisa melihat gadis itu semakin kedinginan. Ia tau tidak ada yang bisa ia lakukan untuk membantu gadis itu.
Yujara lalu melepaskan jaket yang tadi dipakai olehnya dan memakaikannya ketubuh gadis itu. Ia tau bahwa gadis itu lebih membutuhkan jaket itu daripada dirinya. Yujara memperhatikan gadis itu dengan seksama. Tubuhnya basah kuyup, rambutnya pun basah. Sepertinya gadis ini kehujanan.
Pria itu menatap wajah gadis yang sedang menutup matanya disampingnya. Ia kemudian kembali berpikir. Ia akan membawa gadis itu kerumahnya. Ia tak mungkin tega membiarkan gadis yang sedang kedinginan dihalte begini kan?

Yujara kembali mengguncang tubuh gadis itu dan berkata “Nona, kau masih bisa berjalan ‘kan?” tanyanya. Gadis itu membuka matanya. Walaupun penglihatan matanya masih sangat buram dan terbayang-bayang. Ia menatap Yujara dengan tatapan memelas.
“Aku akan membawamu kerumahku, kumohon bertahanlah sebentar..” ucapnya. Pria itu langsung berdiri dari tempatnya dan mencoba mencari taksi yang lewat. Yujara benar-benar berharap menemukan taksi untuk mengantar ia dan gadis itu pulang.

Beberapa menit kemudian Yujara menghela nafas lega karena ia berhasil menemukan taksi yang sedari tadi ditunggunya. Ia baru sadar, mencari taksi kali ini lebih sulit dari apapun. Karena kali ini taruhannya adalah nyawa seorang gadis. Walaupun gadis itu tidak ia kenal, belum ia kenal.
Setelah memberhentikan taksi dan membuka pintunya, ia langsung menghampiri gadis itu kemudian menggendongnya masuk kedalam taksi. “Terima kasih” ucap gadis itu pelan pada Yujara, suaranya terdengar bergetar dan parau. Yujara mengangguk pada gadis itu. Syukurlah, ia bisa menyelamatkan gadis itu.

*

Sinar matahari menyeruak masuk kedalam sebuah jendela kamar. Gadis itu masih belum terbangun dari tidurnya pagi ini. Ia masih terlalu lelah untuk bangun dari ranjangnya. Malam itu ia memang kehujanan dan berteduh disebuah halte. Dan seingatnya, ia ditolong oleh seorang pria yang menemukannya dihalte tersebut.
Gadis itu menggeliat didalam selimutnya sebelum ia membuka matanya. Perlahan tapi pasti kelopak matanya terangkat naik. Ia sedikit membelalakan matanya ketika ia melihat langit-langit rumah.
Ini dimana? tanyanya. Ia mengubah posisinya menjadi terduduk diranjang itu. Rumah itu begitu sepi dan sunyi, ia bisa merasakan suasana asri dirumah ini. Dan semalam, ia tidur sangat nyenyak. Sudah lama ia tidak merasakan itu. Intinya, ia harus berterima kasih pada pria yang sudah menolongnya.

Gadis itu beralih turun dari ranjangnya, ia berjalan menyusuri ruangan itu dan melihat beberapa barang disana. Hingga ia menemukan sebuah figura yang berdiri diatas sebuah meja disamping laptop milik Yujara. Foto itu mengobyekan seorang pria bersama seorang gadis sedang tersenyum lepas disana. Wajah gadis di foto itu sangatlah cantik, mereka tersenyum tanpa cela. Seolah mereka takkan pernah bisa saling melepaskan. Tangan gadis itu sudah akan meraih figura itu, berniat ingin melihatnya lebih jelas. Namun hal itu tidak jadi ia lakukan setelah melihat pintu kamar terbuka.

“Oh, kau sudah bangun?” Yujara tersenyum riang melihat gadis itu sudah bangun dari tidurnya. Ia berjalan menghampiri gadis itu. Gadis itu tidak menjawab, ia memasang wajah ketakutan saat melihat Yujara akan berjalan menghampirinya “Kau pasti lapar ‘kan? Sekarang lebih baik kau mandi lalu kita makan bersama” suruh Yujara memberikan perhatiannya. Gadis itu terdiam, ia tidak seharusnya ketakutan pada Yujara. Ia mengangkat wajahnya melihat wajah Yujara langsung. Entah kenapa gadis itu merasakan jantungnya berdebar ketika ia melihat wajah pria itu.

“Ayo kita kebawah” Yujara menyambar tangan gadis itu dan mengajaknya kebawah. Mereka berjalan menuruni tangga dengan Yujara yang masih menuntunnya. Takut gadis itu jatuh mungkin, sehingga Yujara harus benar-benar menjaganya. “Ohya, namamu siapa?” Yujara bertanya ketika mereka sudah berada dibawah.

“Nama..namaku, Mutiara” jawab gadis bernama Mutiara itu pelan. “Waw, namamu indah sekali..” puji Yujara. Mutiara tersenyum manis menanggapinya. “Baiklah Mutiara, lebih baik kau mandi dulu, setelah itu kita sarapan”
 Mutiara mengangguk mengerti. Yujara tersenyum lebar melihat Mutiara yang begitu polos menuruti perintahnya.

*

Setelah beberapa menit Mutiara berkutat dikamar mandi. Akhirnya ia keluar dari kamar mandi dan menghampiri Yujara yang sedang mempersiapkan sarapan untuk dirinya.
 
“Kau sudah sele-” kata-kata Yujara tertahan ketika ia melihat Mutiara yang sudah ada dihadapannya. Gadis itu memakai kemeja berwarna putih yang dipinjamkan oleh Yujara. Mungkin karena tubuhnya yang mungil, kemeja itu terlihat sangat besar ditubuh Mutiara. Tapi Yujara sedikit terpana melihat Mutiara yang sedang menggosok rambutnya dengan handuk, gadis itu begitu memukau seperti seorang yang sedang iklan shampoo. Ia baru menyadari gadis itu begitu cantik dengan pakaian yang begitu sederhana. Berbeda dengan pertama kali mereka bertemu dihalte kemarin.

Kulit Mutiara terlihat putih dan bersih ketika ia sudah mandi. Dan itu mampu membuat Yujara terkagum dan terpana akan dirinya. “Eh, hehe kau sudah selesai?” Yujara jadi salah tingkah. Mutiara mengangguk.
“Duduklah” Yujara menarik salah satu bangku dimeja makan. Mutiara menelan ludah ketika ia melihat makanan yang begitu banyak dihadapannya. Ia sudah tidak sabar untuk melahapnya. Setelah ia ingat kemarin ia belum makan sama sekali. “Nah Mutiara, makanlah yang banyak” ucap Yujara yang sudah duduk tepat dihadapan Mutiara. Gadis itu tersenyum kemudian meraih sendok dan mulai melahap makanan dihadapannya. Ia mengambil perlahan tapi pasti semua lauk yang terhampar didepannya. Ia makan dengan gerakan tidak santai, ia makan seperti orang yang tidak pernah diberi makan selama berapa tahun. Ia tidak berpikir kalau Yujara akan ilfil dan risih akan sikapnya. Yah,  ia benar-benar tidak ambil pusing sepertinya.

Tapi ternyata Yujara sama sekali tidak ilfil ataupun risih, ia justru tertawa melihat Mutiara yang bersikap begitu apa adanya didepan dirinya. Ia tidak terlalu suka dengan sikap orang yang terlalu jaga imej jika didepan laki-laki. Saking terlalu cepat gaya makan gadis itu. Ia pun tersedak. “Uhuk..uhuk” Yujara langsung memberikannya segelas air untuk menetralisirkannya. “Maaf” ucapnya setelah meminum airnya.
“Tidak apa-apa, aku justru lebih suka melihatmu begitu” balas Yujara masih dengan tersenyum. Entah sudah keberapa kalinya. Yang Mutiara tau, pria itu begitu murah senyum padanya.
“Mutiara, boleh aku tau dimana tempat tinggalmu? Kau punya keluarga disini?” tanyia Yujara. Mutiara menghentikan makannya dan menatap Yujara dengan pandangan seperti tidak punya apa-apa. Gadis itu kemudian menggeleng. “Tidak, aku tidak punya siapapun disini” jawabnya lirih. Yujara merasa bersalah. Tidak seharusnya ia bertanya hal itu pada Mutiara. Pria itu berpikir sejenak, kemudian berkata “Hm, kalau begitu.. kau bisa tinggal dirumahku” Yujara berkata sangat yakin. “Apa?”
“Iya, kebetulan aku juga kesepian disini. Orang tuaku sedang berada diluar negeri dan adikku juga ikut orang tuaku untuk bersekolah disana.” jelas Yujara, gadis itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima tawaran pria itu. Karena ia juga tidak tau ia harus kemana lagi. Lagipula Yujara seorang pria yang baik, tidak seperti pria-pria lain yang brengsek yang Mutiara pikir.

*

Sudah seminggu lebih Yujara dan Mutiara tinggal satu atap bersama. Hari-hari mereka bagaikan sebuah dongeng. Mereka tidak pernah percaya mereka akan dipertemukan. Mereka mempunyai begitu banyak kecocokan. Yujara juga harus mengakui bahwa ia menyukai gadis itu. Begitupun Mutiara. Bagi Yujara, Mutiara mempunyai pribadi yang menyenangkan. Rumahnya yang dulu sunyi dan sepi sekarang menjadi ramai karena Mutiara selalu mengisi hari-harinya dengan kepolosan dan candaanya.
Mereka merasa mereka seperti sepasang pengantin baru yang sedang honeymoon bersama. Tak dapat ia pungkiri kehidupan Mutiara jauh lebih baik dibanding mimpi buruk yang kemarin-kemarin sempat ia kecap. Dan ia sama sekali tidak ingin untuk meninggalkan Yujara ataupun kehidupannya yang sekarang. Ia selalu berdoa pada Tuhan ia tidak dipisahkan dengan pria itu dan tetap bersamanya sampai waktu benar-benar akan memisahkan mereka.


Siang itu mereka sedang berada ditaman rerumputan didekat wilayah tempat tinggal Yujara, mereka berniat untuk piknik dan menghabiskan waktu disana. Begitu sampai ditempat itu, Mutiara langsung turun dari motor pria itu dan berlari kearah rerumputan hijau disana. Ia begitu bahagia setelah tau Yujara akan mengajaknya ketempat seindah ini. Yujara yang melihat Mutiara yang langsung berlarian direrumputan itu hanya tersenyum geli. Ia benar-benar tidak bisa menahan senyumannya jika sudah melihat Mutiara yang sangat ceria, Yujara bisa melihat garis bahagia di wajah Mutiara. Jujur, ia lebih suka Mutiara seperti ini. Ia tidak suka melihat Mutiara hanya diam dan mengeluarkan raut wajah kegalauan atau kesedihan yang terlihat dimatanya.

“Yujara… ayoo kesini!!!” teriak Mutiara melambaikan tangan kanannya pada pria itu. Tapi pria itu hanya tersenyum dan membalas lambaian tangan Mutiara kemudian berkata “Aku mempersiapkan yang disini dulu” mendengar itu Mutiara memanyunkan bibir mungilnya kemudian kembali berlari direrumputan sana. Sesekali ia menoleh kearah Yujara yang sedang menyiapkan tempat untuk mereka lesehan nanti. Bodohnya, gadis itu bukannya membantu ia malah menonton pria itu dari kejauhan.
“Lebih baik kau membantuku” kata Yujara yang menyadari Mutiara sedang memperhatikannya. “Tidak mau.. itu nanti saja! Ayo kita main disini!!!” rengek Mutiara dengan gaya manjanya. Dan karena tidak tahan melihat Yujara yang sibuk sendiri, ia langsung menghampiri pria itu dan menarik-menarik bajunya. “Ayo cepat! Aku ingin kita main disana!!” kata Mutiara masih dengan gaya manja andalannya. “Kau bisa main sendiri dulu ‘kan?” timpal Yujara. “Tidak mau, aku ingin main bersamamu.. ayooo” suara rengekan itu semakin jelas terdengar ditelinga Yujara. Mau tidak mau. Pria itu harus mengikuti kemauan Mutiara sebelum bajunya robek akibat ditarik tangan gadis itu.

Gadis itu menuntunnya berjalan ketengah ilalang dan rerumputan hijau ditaman itu. Setelah tiba ditengah sana. Mutiara langsung berlari-lari dan berputar putar disana. Ia seperti anak kecil yang senang diajak ketaman bermain. Begitu kekanak-kanakan.
Tak beberapa lama kemudian, rintik-rintik hujan mulai membasahi tanah. Yujara sedikit terlonjak “Mutiara, ayo kita berteduh dulu” kata Yujara menarik tangan Mutiara untuk berteduh disebuah pohon besar didekat sana. Namun Mutiara malah menepis tangan Yujara dan kembali ketengah taman diudara hujan itu. “Eh.. kau sedang apa disitu?? Nanti kau bisa sakit!! Ayo kemari”
“Tidak mau! Kau saja yang kesini, aku ingin hujan-hujanan sekarang…”
“Bodoh! Kalau nanti kau sakit, bagaimana?”
“Hehehehe.. tidak akan, kau diam saja disitu ya.. aku ingin menunjukan sesuatu!”
Alis Yujara terangkat. “Hah? Sesuatu apa?” tanyanya heran. Ia menatap bingung gadis yang sedang dibawah hujan dihadapannya. Mutiara sedang tersenyum cerah disana. Ia mulai menggerakan tubuhnya dibawah rintikan hujan. Mutiara menari dalam hujan. Sungguh pemandangan itu sangat indah dimata Yujara yang sekarang sedang ternganga dibuatnya, melihat kulit putih dan tubuh mungil Mutiara menari layaknya penari balet ditengah derasnya hujan. Rambut hitam panjangnya terkibas mengiringi tariannya. Pria yang sedang melihat pertunjukan itu sama sekali tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari Mutiara. Ia kagum, ia sangat terpana melihat gadis itu. Bagi Yujara, Mutiara benar-benar seperti sebuah Mutiara berharga yang sedang bersinar didalam hujan.

Entah karena ada magnet apa, Yujara merasa tubuhnya ditarik. Ia menghampiri gadis itu dan tersenyum lembut kepada gadis itu ketika ia sudah berada didepannya. Namun senyumannya menghilang setelah ia menyadari yang ia lihat dihadapannya bukan Mutiara, melainkan seseorang. Seseorang yang sangat berarti baginya, seseorang yang sekarang.. telah menghilang. Seseorang yang bahkan sama sekali belum ia lupakan. Yujara mengerjapkan matanya dan menggelengkan kepala. “Ini Mutiara, bukan Vinnie” ucapnya dalam hati meyakinkan dirinya sendiri. Sekarang ia bisa melihat Mutiara yang ada dihadapannya. Bukan Vinnie yang tadi sempat membayangi pikirannya.

“Kau bisa berdansa?” tanya Yujara dihadapan gadis itu. Kali ini tubuh pria itu pun juga ikut basah kuyup akibat derasnya hujan. Mutiara menggeleng. “Tidak juga”
“Mau berdansa denganku?” tawar pria itu. Mutiara tertawa kecil dan mengangguk. “Boleh, kau siap kalau orang-orang bilang kita ini tidak waras? Menari ditengah taman dan kehujanan?”
“Aku tidak peduli” jawab Yujara santai, pria itu mengulurkan tangan kanannya dihadapan Mutiara. Seolah ia adalah pangeran yang mengajak sang puteri untuk berdansa. Mutiara menyambut uluran tangan pria itu dan membiarkan Yujara merangkulkan tangannya dipinggangnya dengan ringan. Tangannya ia sampirkan dibahu Yujara dengan canggung. Mereka berdansa ringan selama beberapa menit ditengah hujan. Walaupun tak ada sedikitpun musik yang sedang mengiringi. Tapi mereka senang, tak henti-hentinya Mutiara dan Yujara tertawa kemudian tersenyum geli. Mereka berdua juga sama sekali tidak peduli ada orang orang yang lewat dan melihat mereka tengah berdansa dengan pandangan yang aneh. Yang mereka tau, mereka sangat senang hari ini. Setidaknya, Mutiara bisa membuat Yujara tersenyum setelah lama ia tidak pernah tersenyum lepas seperti ini.

*

“Kau senang?” tanya Yujara ketika mereka sudah berada di balkon paling atas dirumahnya. Yujara dan Mutiara duduk menghadap kearah sunset yang terbentang didepan mereka. Sangat indah. Mereka telah melewati hal-hal yang menakjubkan hari ini. Selain berdansa ditengah hujan, mereka juga pergi kebeberapa tempat untuk memperlengkap hari mereka. Mutiara tidak bisa melupakan bagaimana debar jantungnya ketika ia dan Yujara berdansa ringan di taman saat hujan-hujanan tadi.

“Ya, aku sangat senang.. aku bahkan belum pernah begini sebelumnya. Terima kasih ya” ucap Mutiara tulus dan menatap Yujara yang sedang tersenyum. “Ya, aku juga sangat senang hari ini”
Mereka terdiam selama beberapa saat sambil melihat terbenamnya matahari dibalkon rumah Yujara. Pemandangan sunset itu mampu menambah atmosfir romantis diantara mereka.
 
Tiba-tiba Yujara merasa ada sesuatu yang menindih bahunya ringan. Ia menoleh kearah Mutiara, dan benar. Ternyata gadis itu sedang menyenderkan kepalanya kebahu pria itu. Yujara sama sekali tidak keberatan. Ia hanya menahan senyum.

“Yujara” panggil Mutiara masih dengan posisi bersender kepada bahu pria itu. “Hem?”
“Boleh aku tau siapa gadis yang ada di foto bersamamu?” tanya Mutiara pelan, raut wajah Yujara berubah menjadi sedih. Yujara terdiam sejenak. Mutiara sedikit menyesal telah bertanya. Tapi ia sungguh penasaran dengan foto gadis yang sedang berfoto mesra dengan Yujara. “Haruskah aku memberitahumu?” Yujara malah balik bertanya. “Tentu, aku.. aku sangat ingin tau”
“Dia, dia gadis yang sangat kucintai” jawabnya sambil menundukan kepalanya. Yujara sama sekali tidak berani menoleh kearah Mutiara untuk menatapnya, ia takut. Ia takut ia tidak mampu untuk berkata tentang gadis yang ia cintai kepada gadis itu. “Dia pacarmu?” tebak Mutiara. Iya, tebakan gadis itu sangat benar. Yujara hanya membalas tebakan gadis itu dengan anggukan.
“Tapi dia menghilang” gumam Yujara lirih. “Menghilang? Kenapa? Kenapa bisa?” Mutiara kaget bukan main mendengar pernyataan dari gadis itu. “Aku tidak tau, sudah 3 tahun orang-orang mencarinya tapi sama sekali tak ada hasilnya, banyak yang bilang kalau gadisku itu sudah mati” jawab Yujara dengan nada yang amat pelan. Ia tersenyum setelah mengakhiri kata-katanya. Tersenyum pedih. Ia bisa merasakan dadanya sesak dan sakit ketika ia menceritakan tentang gadis yang ia cintai itu kepada Mutiara, ada pula rasa bersalah yang memperlengkap perasaannya. “Siapa namanya?” tanya Mutiara lagi. Yujara menoleh kearah gadis itu. “Vinnie, nama pacarku adalah Vinnie”
 
Mutiara mengangguk mengerti, ia mencoba untuk tidak bertanya lebih jauh tentang gadis itu lagi. Hatinya sudah cukup sakit mendengar itu. Jika ia boleh jujur, ia sama sekali tidak ingin gadis itu ditemukan dan merebut Yujara darinya. Ia tidak ingin kehilangan pria itu, pria yang telah menolongnya. Pria yang telah membuatnya merasakan.. jatuh cinta. Pria yang ia cintai dan sekarang menjadi pilar pelindung dan penyemangat hidupnya.

Satu yang ia bisa adalah, ia berdoa. Ia berdoa agar ia tidak dipisahkan dengan Yujara. Ia sangat takut jika hal itu terjadi.

“Dan, sekarang giliran aku yang bertanya padamu” ucap Yujara yang sekarang sudah menghadap ke wajah Mutiara. “Apa?”
 
“Kau sebenarnya darimana? Kenapa aku bisa menemukanmu di halte? Dan kau bilang kau tidak punya keluarga disini?” Yujara membeberkan beberapa pertanyaan yang ia pendam sejak ia bertemu dengan Mutiara pertama kali. Mutiara tersenyum menanggapinya, kemudian ia membuka mulutnya “Aku.. aku kabur dari rumahku”
 
Yujara membulatkan matanya terkejut “Apa? Kabur? Kenapa?”
“Aku tinggal bersama orang tua tiriku, orang tua kandungku telah meninggal beberapa tahun yang lalu” Mutiara menarik nafas sejenak. Yujara masih menanti kelanjutan dari cerita gadis itu. “Awalnya aku senang aku akan mempunyai orang tua baru, mereka kelihatan sangat menyayangiku.. tapi ternyata.. aku salah besar, dugaanku meleset. Mereka berdua hanya memperbudakku, mereka merawatku bukan untuk dijadikan anak melainkan dijadikan pembantu. Karena tidak tahan, aku mencoba untuk melarikan diri dari mereka. Bahkan aku pernah berjanji bahwa aku lebih baik mati daripada bertemu dengan mereka lagi! Aku..aku tidak ingin dilakukan seenaknya oleh mereka… lebih baik aku mati” jelas Mutiara panjang lebar, isakannya mulai terdengar mengiringi air mata yang sudah membanjiri pipinya. Mendengar itu mata Yujara berkaca-kaca. Ia tidak bisa menahan gejolak dirinya untuk tidak memeluk gadis itu. Ia menarik tubuh Mutiara kedalam dekapannya kemudian mengelus rambutnya lembut. Membiarkan Mutiara menangis didalam dadanya. Membiarkan air mata Mutiara membasahi bajunya. “Maaf, tidak seharusya aku bertanya padamu” ucap Yujara dengan nada menyesal. Mutiara berbisik “Jangan tinggalkan aku, aku tidak ingin mimpi buruk itu menghampiriku lagi.. aku benar-benar tidak ingin” Yujara terdiam sejenak kemudian berkata “Ya, aku tidak akan meninggalkanmu”

*

Yujara sedang mengerjakan tugas dari dosen ketika ia mendengar getaran yang dihasilkan oleh handphonenya. “Ddddrrttt” setelah meraih handphonenya, ia menekan tombol jawab dan menempelkannya ketelinga kananya. Yujara mengerutkan keningnya ketika ia menyadari nomor itu sama sekali tidak ia kenal “Hallo” sapanya.
“Ini dengan Yujara?” tanya suara diseberang teleponnya. Suaranya terlihat tegas dan agak menyeramkan untuk didengar. “Ya, itu aku.. siapa ini?” Yujara semakin penasaran.
“Kenapa kau menolong gadis itu?” suara itu semakin terdengar tegas dan sedang marah ditelinga Yujara. Ia sedikit berpikir. “Gadis itu?” tanyanya pelan. Yujara langsung menegang. “Kenapa kau menolong Mutiara?” suara itu kini menyebut nama Mutiara. Yujara langsung membelalakan matanya. “Siapa ini?” tanya Yujara  lagi dengan nada sedikit ketakutan. Mungkinkah yang meneleponnya adalah orang tua Mutiara?
“Dengarkan aku baik-baik. Aku tau kau sedang mencari kekasihmu yang hilang tiga tahun yang lalu” pria itu diam sejenak. Yujara menelan salivanya yang tiba-tiba sulit ia telan. Kekasih? Apa yang ia maksud itu Vinnie? Gumam Yujara dalam hati. “Aku tau dia dimana sekarang, mari kita bertukar. Aku membutuhkan Mutiara”
Apa yang pria ini bicarakan? Kenapa ia membawa Mutiara dan Vinnie? Dan ia bilang ia minta aku bertukar dengannya?
Seluruh memori dua gadis itu ada dipikirannya saat ini. Otaknya saling berkemelut. Disatu sisi ia ingin kekasih tercintanya Vinnie untuk kembali kepelukannya namun disatu sisi ia sangat memberatkan Mutiara. Ia sama sekali tidak ingin melihat gadis itu disakiti, lagipula ia sudah berjanji ia akan selalu melindunginya dan tidak akan meninggalkannya. Dilema. Rasanya yang Yujara rasakan sekarang. Tubuhnya lemas seketika, ia tak bisa berpikir apapun lagi. Yang ada dipikirannya kali ini adalah dua gadis yang paling berarti baginya itu. Ia ingin Vinnie kembali, tapi ia tidak ingin Mutiara pergi. Sangat egois. Ya, katakan saja Yujara pria yang egois. Tapi, ia tak mungkin bisa membiarkan Mutiara bersama orang tuanya dan membiarkan gadis itu menghadapi semuanya sendirian? Mutiara terlalu rapuh untuk melalui semua ini.
Yujara menolehkan wajahnya kearah Mutiara yang sedang menggambar disebuah buku catatan. Sesekali gadis itu tersenyum senang melihat hasil gambarnya. Mata Yujara terlihat berkaca-kaca. “Mutiara, haruskah aku melepasmu?” ucapnya pelan. Tentu saja Mutiara sama sekali tidak dengar.

*

Mutiara tak henti-hentinya tersenyum sejak tadi, ia sangat senang setelah mengetahui Yujara mengajaknya ketaman itu lagi. Taman dimana Yujara pernah mengajaknya berdansa disana. Awalnya Mutiara sedikit heran karena sejak tadi pagi ia belum melihat Yujara tersenyum. Pria itu hanya menunjukan ekspresi datarnya. Jelas saja dari tadi pagi mereka berdua belum bercanda sama sekali. Mutiara memberikan sugesti pada dirinya sendiri. Mungkin saja Yujara sedang banyak tugas sehingga ia kelelahan. Itulah yang membuat Mutiara menahan rasa penasarannya.
“Yujara, kita mau kemana? Kau ingin mengajakku berdansa disana lagi?” tanya Mutiara dengan kepolosannya. Yujara hanya menoleh sejenak kearahnya dan tersenyum kecut. Ya, itu hanyalah senyum paksaan. Mutiara mengernyit bingung. Kenapa Yujara begitu pendiam hari ini? Apakah Mutiara telah berbuat salah padanya?

Mereka berdua terus berjalan dilapangan taman itu, Mutiara berjalan tepat dibelakang Yujara. Hingga ia melihat sebuah mobil sedan berwarna hitam tiba dipinggir lapangan. Nafas Mutiara tercekat, ketakutan langsung menyergap dirinya saat ia melihat seorang pria yang berumur sekitar tiga puluh lima-an keluar dari mobil itu. Demi Tuhan, ia kenal siapa orang itu! Itu orang tua angkatnya yang telah menyiksanya. Kenapa ia bisa ada disini?

Wajah Mutiara memucat, ia terlihat sangat gelisah. Ia menghentikan langkahnya, wajah ceria yang beberapa menit lalu masih tergambar diwajahnya kini memudar. Gadis itu melangkahkan kakinya mundur ketika ia melihat pria yang berumur itu menarik dengan paksa seorang gadis untuk keluar dari mobil. Mutiara menelan ludah, ia takut. Sangat amat takut. Ia bisa melihat gadis yang baru keluar dari mobil itu adalah Vinnie. Kekasih Yujara yang sudah menghilang bertahun-tahun yang lalu.  
Menyadari langkah Mutiara yang terhenti, ia langsung membalikan badannya dan menatap gadis itu dengan tatapan yang datar. Ia tau Mutiara sedang gelisah dan ketakutan. Ia mendekatkan tubuhnya ke gadis itu kemudian menarik tangannya. “Ayo kita kesana” ucap Yujara tanpa menatap mata Mutiara. “Tidak!” Mutiara menahan tangan Yujara dari tangannya. Mencegah pria itu untuk menariknya kesana. “Aku tidak mau” Mutiara menatapnya dengan tatapan memohon. Yujara mengalihkan pandangannya ke mobil itu. Ia bisa melihat seorang gadis sedang berada disamping pria berumur itu. Dan ia sangat mengenal siapa gadis itu. Sejujurnya, ia sudah tidak tahan untuk memeluk gadis yang sudah tiga tahun ia cari itu. Tapi.. Mutiara. Haruskah ia mengembalikan gadis ini kepada orang tua angkatnya. Ia memang telah berjanji pada ayah angkat Mutiara untuk bertemu dengannya disini.
Beberapa detik Yujara berpikir, ia menuduh dirinya sebagai orang terbodoh dan orang paling jahat sedunia. Ia tidak bisa. Sama sekali tidak bisa.
Yujara hendak melepaskan cengkraman tangan Mutiara dan meninggalkannya. Namun.. “Tidak! Jangan pergi..” kata Mutiara setengah berteriak sambil menahan tangan pria itu. Mutiara masih menatapnya ketakutan. Ketakutan akan pangerannya meninggalkannya. Ia tidak mau pangeran dalam kehidupan dongengnya akan meninggalkannya. “Kumohon jangan pergi, kau sudah berjanji padaku untuk menjaga dan melindungiku.. kumohon jangan tinggalkan aku” mohonnya sambil meringis ketakutan. Air mata sudah berada diujung mata gadis itu.
“Kumohon Yujara, hanya kau yang bisa menolongku” kata Mutiara sekali lagi. Yujara bingung, jika ia bisa, ia ingin Tuhan mengambil nyawanya daripada harus seperti ini. Dan ia sama sekali tidak mungkin untuk membawa Mutiara pulang dan membatalkan perjanjian ini. Yujara menutup matanya kemudian menarik nafas. “Maaf” ucapnya tegas kemudian melepaskan cengkraman Mutiara dengan kasar.

Yujara, katakanlah pria itu adalah pria terjahat didunia ini. Katakan saja begitu. Ia berjalan dengan langkah yang gontai menghampiri Vinnie kekasihnya. Kekasih yang sudah tiga tahun ia rindukan. Kekasih yang amat ia cintai. Inilah realita yang harus ia pilih. Ia mencintai Vinnie dan ia sangat tidak mungkin meninggalkan Vinnie untuk memilih Mutiara. Pria itu berjalan menghampiri Vinnie masih dengan wajah datar. Ia tak tau harus menunjukan ekspresi apa saat ini. Ia bahagia bisa melihat Vinnie selamat, walaupun wajahnya sekarang sangat lusuh. Kenangan demi kenangan tergambar dipikiran Yujara. Senyum Mutiara, tarian balletnya ditengah hujan, bagaimana Mutiara berdansa bersamanya. Semuanya masih terlihat jelas. Tapi dengan melihat senyuman Vinnie, semua kenangan itu terasa terhapus.

Iya, aku adalah kekasih Vinnie. Aku tau aku mencintai Mutiara. Tapi, dia bukan untukku. Vinnie adalah takdirku. Bukan Mutiara. Yujara tersenyum kemudian menarik dan mendekap gadis yang bernama Vinnie itu dipelukannya. Ia bahagia, walau ia harus akui dadanya terasa teriris saat ia harus meninggalkan Mutiara.

Mutiara menangis melihat pria yang ia cintai meninggalkannya, ia terisak melihat perlakuan Yujara. Kenapa? Bukankah Yujara adalah pangeran baik hati yang telah menolongnya ditengah hujan waktu itu? Kenapa Yujara begitu bertolak belakang saat ini. Ia sama sekali tidak menghiburnya disaat Mutiara galau, ia tidak memeluknya saat Mutiara menangis. Mutiara merasa dirinya hanya seperti sampah sekarang. Barang yang sama sekali tidak berharga. Ia sangat mencintai Yujara. Tapi kenapa saat ini pria itu malah membuangnya? Kenapa ia malah menukar dirinya dengan kekasihnya? Apakah gadis itu sangat tidak berarti baginya?
Hati Mutiara sakit sekali. Ia sama sekali tidak bisa menggambarkan rasa sakitnya itu.
“Yujaraaa!!” teriaknya membahana. Ia semakin berteriak histeris ketika Ayah tirinya menarik paksa tubuhnya untuk masuk kedalam mobil. Ia terus memanggil nama Yujara ketika ia diperlakukan kasar. Namun itu semua percuma! Yujara sama sekali tidak menoleh untuk sekedar menghadap kearah wajahnya. Dengan santainya Yujara berjalan sambil menuntun Vinnie menjauh dari tempat itu. Bahkan ia sudah berjanji dengan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan ketempat ini lagi. Tempat dimana ia mendapat kenangan indah bersama Mutiara. 

Yujara berjalan menjauh. Tanpa mempedulikan teriakan Mutiara, berpura-pura tidak dengar, walaupun Mutiara berteriak, menangis dan memohon padanya. Yujara tak akan kembali untuk menolongnya. Tidak akan pernah.

*

“Hei tidakkah kau merasa kisahmu itu seperti dongeng? Um, Cinderella mungkin?” Yujara terkekeh sambil mengusap puncak kepala Mutiara. “Iya, aku juga berpikir begitu”
“Lalu siapa pangeranmu? Aku ‘kan?” Yujara tersenyum menggoda pada Mutiara, Tatapan gadis itu melembut. “Ya, kau lah pangeranku”

FIN

Jumat, 16 Desember 2011

PENGARAHAN

Diposting oleh Icha Elias di 04.30 0 komentar

1.      Pengarahan adalah suatu fungsi kepemimpinan manajer untuk meningkatkan kualitas (DASAR-DASAR MANAJEMEN)

2.      Pengarahan adalah keinginan untuk membuat orang lainuntuk mengikuti keinginannya. (KAMUS KOMPETISI)

3.      Pengarahan adalah suatu fungsi kepemimpinan manajer untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja secara maksimal serta menciptakan lingkungan kerja yang sehat, dinamis, dan lain sebagainya.

4.      Pengarahan (Direction) adalah keinginan untuk membuat orang lain mengikuti keinginannya dengan menggunakan kekuatan pribadi atau kekuasaan jabatan secara efektif dan pada tempatnya demi kepentingan jangka panjang perusahaan.              

5.      Saure dan dislaimer,Pengarahan merupakan petunjuk untuk melaksanakan sesuatu,atau perintah resmi seseorang pimpinan kepada bawahannya berupa petunjuk untuk melaksanakan sesuatu.

6.      Pengarahan adalah suatu tindakan yang  penjelasan,pertimbangan dan bimbingan kepada petugas yang terlibat agar pelaksanaan tugas berjalan dengan lancar.

7.      Pengarahan yaitu memberi petunjuk dan menjelaskan tugas secara rinci agar dapat terselesaikan dengan baik.(kamus lengkap bahasa indonesia).

8.      Pengarahan merupakan fungsi manajemen yang menstimulir tindakan-tindakan agar betul-betul dilaksanakan. Oleh karena tindakan-tindakan itu dilakukan oleh orang, yang melaksanakan perintah-perintah tersebut..

9.      Pengarahan adalah suatu tindakan maka.pengarahan meliputi pemberian perintah-perintah dan motivasi pada personalia yang  penjelasan,pertimbangan dan bimbingan kepada petugas yang terlibat agar pelaksanaan tugas berjalan dengan lancar.

10.  Pengarahan adalah pelaksanaan audit pengarahan fungsi. Mengontrol: kontrol kwantitatif dan kwalitatif, tanggung jawab atas kontrol, standar, pengukuran.


PENGAWASAN

Diposting oleh Icha Elias di 04.10 0 komentar

Pengawasan

Pengawasan adalah proses dalam menetapkan ukuran kinerja dan pengambilan tindakan yang dapat mendukung pencapaian hasil yang diharapkan sesuai dengan kinerja yang telah ditetapkan tersebut. Controlling is the process of measuring performance and taking action to ensure desired results. Pengawasan adalah proses untuk memastikan bahwa segala aktifitas yang terlaksana sesuai dengan apa yang telah direncanakan . The process of ensuring that actual activities conform the planned activities.
   
Pengawasan adalah suatu upaya yang sistematik untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya perusahaan atau pemerintahan telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan perusahaan atau pemerintahan. Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengawasan merupakan hal penting dalam menjalankan suatu perencanaan. Dengan adanya pengawasan maka perencanaan yang diharapkan oleh manajemen dapat terpenuhi dan berjalan dengan baik.

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.
Konsep pengawasan demikian sebenarnya menunjukkan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen, di mana pengawasan dianggap sebagai bentuk pemeriksaan atau pengontrolan dari pihak yang lebih atas kepada pihak di bawahnya.” Dalam ilmu manajemen, pengawasan ditempatkan sebagai tahapan terakhir dari fungsi manajemen. Dari segi manajerial, pengawasan mengandung makna pula sebagai:
“pengamatan atas pelaksanaan seluruh kegiatan unit organisasi yang diperiksa untuk menjamin agar seluruh pekerjaan yang sedang dilaksanakan sesuai dengan rencana dan peraturan.”
atau
“suatu usaha agar suatu pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan, dan dengan adanya pengawasan dapat memperkecil timbulnya hambatan, sedangkan hambatan yang telah terjadi dapat segera diketahui yang kemudian dapat dilakukan tindakan perbaikannya.”
Sementara itu, dari segi hukum administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai
“proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan.”
Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan dan ketidakcocokan dan menemukan penyebab ketidakcocokan yang muncul. Dalam konteks membangun manajemen pemerintahan publik yang bercirikan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Dalam konteks ini, pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.

Dalam kaitannya dengan akuntabilitas publik, pengawasan merupakan salah satu cara untuk membangun dan menjaga legitimasi warga masyarakat terhadap kinerja pemerintahan dengan menciptakan suatu sistem pengawasan yang efektif, baik pengawasan intern (internal control) maupun pengawasan ekstern (external control). Di samping mendorong adanya pengawasan masyarakat (social control).
Sasaran pengawasan adalah temuan yang menyatakan terjadinya penyimpangan atas rencana atau target. Sementara itu, tindakan yang dapat dilakukan adalah:
a.    mengarahkan atau merekomendasikan perbaikan;
b.    menyarankan agar ditekan adanya pemborosan;
c.    mengoptimalkan pekerjaan untuk mencapai sasaran rencana.

Pada dasarnya ada beberapa jenis pengawasan yang dapat dilakukan, yaitu:
1.      Pengawasan Intern dan Ekstern
Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan.” Pengawasan dalam bentuk ini dapat dilakukan dengan cara pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat (built in control) atau pengawasan yang dilakukan secara rutin oleh inspektorat jenderal pada setiap kementerian dan inspektorat wilayah untuk setiap daerah yang ada di Indonesia, dengan menempatkannya di bawah pengawasan Kementerian Dalam Negeri.
Pengawasan ekstern adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar unit organisasi yang diawasi. Dalam hal ini di Indonesia adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang merupakan lembaga tinggi negara yang terlepas dari pengaruh kekuasaan manapun. Dalam menjalankan tugasnya, BPK tidak mengabaikan hasil laporan pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah, sehingga sudah sepantasnya di antara keduanya perlu terwujud harmonisasi dalam proses pengawasan keuangan negara. Proses harmonisasi demikian tidak mengurangi independensi BPK untuk tidak memihak dan menilai secara obyektif aktivitas pemerintah.

2.      Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan preventif lebih dimaksudkan sebagai, “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan, sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan.” Lazimnya, pengawasan ini dilakukan pemerintah dengan maksud untuk menghindari adanya penyimpangan pelaksanaan keuangan negara yang akan membebankan dan merugikan negara lebih besar. Di sisi lain, pengawasan ini juga dimaksudkan agar sistem pelaksanaan anggaran dapat berjalan sebagaimana yang dikehendaki. Pengawasan preventif akan lebih bermanfaat dan bermakna jika dilakukan oleh atasan langsung, sehingga penyimpangan yang kemungkinan dilakukan akan terdeteksi lebih awal.
Di sisi lain, pengawasan represif adalah “pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan.” Pengawasan model ini lazimnya dilakukan pada akhir tahun anggaran, di mana anggaran yang telah ditentukan kemudian disampaikan laporannya. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan pengawasannya untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyimpangan.

3.      Pengawasan Aktif dan Pasif
Pengawasan dekat (aktif) dilakukan sebagai bentuk “pengawasan yang dilaksanakan di tempat kegiatan yang bersangkutan.” Hal ini berbeda dengan pengawasan jauh (pasif) yang melakukan pengawasan melalui “penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggung jawaban yang disertai dengan bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.” Di sisi lain, pengawasan berdasarkan pemeriksaan kebenaran formil menurut hak (rechmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah sesuai dengan peraturan, tidak kadaluarsa, dan hak itu terbukti kebenarannya.” Sementara, hak berdasarkan pemeriksaan kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid) adalah “pemeriksaan terhadap pengeluaran apakah telah memenuhi prinsip ekonomi, yaitu pengeluaran tersebut diperlukan dan beban biaya yang serendah mungkin.”

4.      Pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan pemeriksaan kebenaran materiil mengenai maksud tujuan pengeluaran (doelmatigheid).
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara, pengawasan ditujukan untuk menghindari terjadinya “korupsi, penyelewengan, dan pemborosan anggaran negara yang tertuju pada aparatur atau pegawai negeri.” Dengan dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan pengelolaan dan pertanggung jawaban anggaran dan kebijakan negara dapat berjalan sebagaimana direncanakan.


Credit : http://itjen-depdagri.go.id/article-25-pengertian-pengawasan.html

Selasa, 13 Desember 2011

You've Fallen for Me

Diposting oleh Icha Elias di 04.18 0 komentar
Author : Ummu Aisyah or Icha (@MrsEliasChoi on twitter)
Cast : Nila, Ardeki, and other cast
This story is purely mine! Please don’t take anything from here




“Tuk tuk tuk” suara ketukan sebuah pulpen terdengar ditelinga Nila. Yah memang benar dia yang telah menimbulkan suara itu dari pulpen yang ia ketukan ke meja belajarnya. Ia merasa bosan. Sudah satu jam lebih ia memerhatikan dosen yang sedang memberikan pelajaran dan penjelasan tentang kuliahnya. Tapi ia masih merasa bosan. Sesekali ia menoleh kearah Liona yang sedang mengutak-atik handphonenya. Oh Tuhan, gadis itu memang sudah gila. Disaat ada dosen begini ia masih berani membuka handphone? Yang benar saja!
Nila menyenggol lengan Liona dan berkata “Heh! Perhatiin tuh dosen” ucapnya menunjuk kearah dosen.

“Ck.. kau ini ganggu saja sih ah!” balas Liona, nadanya terdengar seperti orang yang tidak ingin diganggu. Itu membuat rasa penasaran Nila muncul. Apa yang ia lakukan dengan handphonenya? Kenapa dari tadi ia sama sekali tidak berhenti memandang kearah handphone Blackberry itu. Nila mengintip kearah Blackberry Liona dengan matanya. “Oh lagi bbm-an sama Kak Elias, pantas saja dari tadi cengengesan” timpal Nila sambil mendengus kesal, melihat tingkah sahabatnya yang sedikit aneh. Gadis itu kembali memusatkan perhatiannya pada dosen didepan. Kali ini ia mencoba untuk berkonsentrasi, tidak mencoba berpaling dari papan tulis didepan dan mendengarkan semua kata-kata dosen.


“Fffuuhhh.. lama sekali sih selesainya” runtuk Nila pelan. Ia mengomel dalam hati. Ia sudah lelah, ia merasa otot-otot lehernya minta diistirahati setelah hampir dua jam gadis itu duduk dibangku kuliah. Merasa bosan. Ia kembali mengalihkan pandangannya kearah samping kirinya. Tempat dimana anak laki-laki duduk disana. Bola matanya berhenti pada pojok kelas. Bukan, ia bukan melihat tembok dipojok. Tapi matanya menangkap seorang pria sedang mencoret-coret buku catatannya, sepertinya ia juga merasa bosan. Sama seperti Nila.

Nila terus memandang pria itu. Pria itu memakai baju kaos yang dibalut dengan jaket turtleneck berwarna merah. Entah kenapa, bagi Nila pria itu sangat terlihat tampan hari ini. Pria itu adalah Ardeki, sudah lama Nila naksir pada pria itu. Deki –sapaan pria itu- sering sekali tersenyum manis dan menyapa Nila ketika ia sedang bertemu Nila dimanapun. Nila merasa hal itu memang sangat biasa. Tapi baginya, itu adalah sesuatu yang bisa membuat seisi jantungnya berdebar dan membuatnya salah tingkah.

Tanpa disadari Nila sudah memandang kearah pria itu selama beberapa menit. “Oh god, aku tidak boleh terus memandangnya begini” desahnya dalam hati kemudian membuang nafas. Tapi pikirannya tidak mau mengerti. Ia kembali memandang kearah Deki tanpa diinginkannya. Nila merasa, tubuhnya seakan mendapat sebuah suntikan semangat hanya karena ia melihat wajah pria itu.

“Deki’s handsome today, doesn’t he?” tiba-tiba suara disampingnya membuatnya terlonjak kaget. Nila merasa jantungnya sudah akan melorot kelantai mendengar suara disampingnya yang tidak lain adalah Liona.

“Hei, kau gila? Kau ingin aku mati ya?!!” ujar Nila ketus sambil mengelus dadanya yang tadi habis terkena serangan dadakan dari Liona.

“Hahahahha, kau tau tidak? Tadi kau sudah lima menit memandang Ardeki” Nila memelototkan matanya mendengar pernyataan dari Liona itu. “Benarkah?” Nila tidak percaya, sementara Liona hanya mengangguk kemudian tersenyum. Nila sedikit takut akan Deki mengetahui perasaannya kemudian menghindari gadis itu karena terlalu ilfeel. “Tenang saja, Deki belum tau perasaanmu” Liona tersenyum kemudian mengajak Nila keluar dari kelasnya setelah semua mata kuliahnya usai.

“Kau yakin? Aku pikir ia sudah tau, siapa tau ia sudah menangkap basah aku sedang memperhatikannya. Dia jadi risih dan… menghindariku”

“Tidak honey, percayalah kalau ia juga menyukaimu”

“Apa? It’s impossible Liona” jawab Nila. Kalau boleh jujur, ia sangat ingin kata-kata Liona itu menjadi nyata.

“Kau tidak percaya padaku hah?” Liona melipat kedua tangannya didada.

Nila menggeleng cepat. Ia tidak percaya pada Liona.


“Nila!!” panggil sebuah suara dari belakang mereka. Demi apapun, Nila sangat hapal siapa pemilik suara ini! tiba-tiba jantung Nila mulai tidak bisa untuk dikendalikan. Sikap salah tingkah pun mungkin akan menyerbu dirinya sedikit lagi.

Nila menolehkan kepalanya kearah orang yang baru saja memanggilnya. “Deki? Ada apa?” tanya Nila kepada Deki yang sekarang sudah berada didepannya. “Kau punya buku petunjuk laporan akhir kan? Boleh aku pinjam?” pinta Deki sedikit berharap bahwa Nila akan memberikan buku petunju laporan akhir itu pada Deki. “Um, memang kau tidak punya?” Nila malah balik bertanya, ia mencoba bersikap setenang mungkin, agar tidak terlihat salah tingkah didepan Deki. Ia tidak ingin ia salting kemudian Deki akan menjauhinya.

Padahal ini adalah kesempatan emas dimana Nila bisa meminjamkan buku itu pada Deki. Sementara Liona yang ada diantara mereka hanya tersenyum penuh arti. Senyuman menggoda Nila. Ia janji ia akan meledek Nila setelah keluar dari gedung ini.

“Punya, tapi…yah begitulah” kata Deki sedikit tidak jelas, seperti tidak mau memberitahu alasannya. Nila menatap pria dihadapannya heran.

“Udahlah Nila pinjemiiinn!!!” celetuk Liona. Nila menoleh kearah Liona sekilas, matanya seolah berkata ‘diam-kau’ melihat itu Liona menutup mulutnya dan menahan tawa.

Nila beralih merogoh tas-nya kemudian mengambil buku berwarna hijau itu. Buku petunjuk laporan akhir tepatnya. “Ini” ia menyerahkan buku itu pada Deki. “Pinjem yah” kata Deki yang disambut anggukan oleh Nila.

*

Nila sedang berjalan ditaman kampus bersama Liona. Kedua gadis itu berjalan sambil sesekali bercanda. Suasana persahabatan selalu terlihat diantara mereka berdua. Beberapa kali Nila tersenyum malu-malu sambil pura-pura kesal karena Liona terus meledeknya dengan kejadian buku panduan Nila yang dipinjam Deki kemarin. Liona senang melihat sahabatnya mengalami kemajuan setidaknya sedikit saja.

“Owowowow itu Deki ‘kan?” tanya Liona menunjuk kearah parkiran dengan kedua matanya setelah mereka keluar dari gedung. Pandangan Nila mengikuti arah pandang Liona. “I..iya” ucapnya sedikit terbata. Ia melihat Deki sedang melepas helm dari motornya. Barusan ia melihat jelas, Deki sedang berboncengan dengan Nandin, teman sekelas Nila yang tentu saja teman sekelas Deki. Saat itu juga ia merasa sebuah semangat yang terbit tadi pagi menjadi runtuh karena melihat adegan itu.

Ada hubungan apa antara Ardeki dan Nandin? Apa mereka berpacaran?

Tiba-tiba Nila merasa dadanya sedikit terasa sesak. Ia cemburu. Iya, mungkin sangat benar ia cemburu. Tak bisa disangkal lagi akan hal itu. tapi apa hak ia untuk cemburu? Deki pantas bersama Nandin. Nandin cantik, Deki adalah Pria tampan yang manis. Tak ada salahnya jika mereka berpacaran kan?

Nila merasa ia ingin pergi dari tempat itu saat ini juga. Nila memegang tangan Liona, ia memeras tangan Liona yang melingkar padanya. Entah kenapa ia sekarang jadi merasa kesal karena Liona telah memberikannya tontonan yang sangat tidak ia inginkan. Ia ingin menangis. tapi kendali dirinya mengatakan tidak. Untuk apa menangis hanya untuk pria itu. Pria yang bukan siapa-siapanya.

Liona menoleh melihat wajah Nila yang sudah menegang. “Kita pergi dari sini” ajaknya menarik tangan Nila menjauh dari tempat itu.
Setelah mereka berjalan dikoridor kampus. Liona mencoba meyakinkan Nila bahwa Nandin bukanlah siapa-siapa dari Deki

“Oh come on dear, they’re just a friend! I’m really sure!” ucap Liona keukeuh.
“Tidak mungkin honey, mereka berboncengan ke kampus, dan beberapa kali aku juga sering menemukan mereka sedang berdua. Aku yakin mereka bukan teman.. mereka pasti udah jadian” balas Nila sambil berjalan sedikit lebih cepat dari Liona. Padahal jauh didalam hatinya ia ingin mengatakan hal yang sebenarnya.

“Kau cemburu ‘kan?” Nah, apa lagi yang harus ia jawab. Liona benar, ia cemburu. Ia tidak mungkin berbohong pada sahabatnya yang sudah sangat tau dirinya. “Baiklah, aku tidak akan berbohong padamu.. iya, aku cemburu” jawab Nila singkat dan jujur. “Sudah kuduga” Liona mengembangkan senyumanya kemudian memegang bahu Nila dan mencoba meyakinkan gadis itu untuk kesekian kalinya.

“Deki dan Nandin tidak berpacaran… percaya padaku” Liona menekankan tiap-tiap kata yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa saat Liona mengatakan itu, Nila merasa hatinya yang sudah hancur kini kembali membaik. Ini berkat Liona. Nila kemudian tersenyum kecil, setidaknya berkat perkataan dari Liona, ia merasa sedikit lega. “Thanks dear, you’re the best” katanya. Liona tersenyum manis. “I know that”

*

Nila melangkahkan kaki memasuki kelasnya. Ia mendengus kesal ketika ia melihat kelas itu belum sama sekali berpenghuni. Tak ada Liona ataupun teman-temannya yang lain. Ia harus menunggu. Ia kemudian melihat arloji yang terpasang ditangannya.

“Aish, aku datang terlalu pagi” ucapnya diselingi hembusan nafas kasar. Sekarang, ia bingung harus melakukan apa. Ia tidak membawa laptop untuk mengisi waktu bosannya saat ini.
Alisnya terangkat ketika ia mengingat sesuatu. “Yah, lebih baik aku mendengarkan musik” Nila mengambil sebuah earphone ditasnya kemudian memasukannya kedalam handphonenya.

Setelah menekan tombol play, gadis itu menutup matanya sambil sesekali bersenandung mengikuti alunan musik di playlistnya. Setidaknya ia sedikit merasa tenang dibanding harus diam dikelas tanpa melakukan apapun.

Tiba-tiba perhatiannya teralih karena mendengar ada suara orang melangkahkan kaki masuk dan menekan tombol pause dihandphonenya. Nila membuka matanya dan melihat siapa yang baru datang. Mungkin saja Liona. Tapi Nila menghela nafas panjang ketika ia tau orang itu bukanlah Liona. Melainkan… Ardeki. Oh, ia tidak bersama Nandin hari ini? pikir Nila jengkel.

“Jangan pikirkan dia” Nila menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian kembali menekan tombol play untuk menyalakan lagu itu kembali. Ia menaikan satu tingkat volume agar tidak merasa terganggu. Ia tidak peduli siapapun yang akan datang lagi. Ia hanya ingin menunggu Liona datang.



Ardeki berjalan masuk kedalam kelasnya, ia sedikit mengalihkan pandangannya pada seluruh kelas yang masih kosong. Sebelumnya ia sedikit malas untuk masuk kekelas karena sama sekali tidak ada temannya disana. Namun ia merubah keputusannya ketika ia menangkap sosok gadis mungil sedang duduk sambil menutup matanya disebuah bangku ketiga dari pojok. Alis matanya terangkat melihat Nila berada disana.
Ia menahan senyum kemudian melangkah masuk kesana. Berniat membuat Nila sedikit terkejut dengan kehadirannya. Ia melihat gadis itu membuka matanya untuk bertatapan dengannya. Deki memilih duduk dibangku belakang pojok –tempat favorite-nya- kemudian kembali memandang punggung gadis itu. Ia yakin Nila pasti masih mendengarkan alunan lagu didalam handphone-nya.

Ia juga bingung pada dirinya. Kenapa saat Nila ada didekatnya, ia merasa dirinya sangat senang. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan ketika jarak mereka dekat.

Tiba-tiba ia sedikit terkaget melihat Nila sekarang mengangkat tubuhnya untuk berdiri dan menempelkan handphone-nya ke telinga kanannya. Sedang menjawab telpon sepertinya.

Ardeki memandang dengan tatapan heran. Ia agak sedikit bingung. Kenapa gadis itu terlihat marah-marah pada orang ditelponnya. Merasa penasaran. Ia berdiri kemudian menghampiri Nila, walaupun gadis itu masih belum menyadari dirinya yang sekarang ada dibelakang tubuhnya.

“Apa maumu?” tanya Nila pada orang diseberang telponnya. “Kembali padaku”  jawab suara diseberang handphone-nya, suara seorang pria. Deki yang sedang mencuri dengar alias menguping semakin penasaran dengan suara pria ditelepon Nila. Nila tertawa kecil kemudian menimpali. “Oh gosh, itu tidak mungkin” timpal

Nila mengacak-acak poninya gusar. Ia seperti orang yang sedang gelagapan menghadapi pria yang sedang menelponnya.

Aku mencintaimu Nila, bisakah kita berpacaran seperti dulu?” suara itu makin terdengar menyebalkan ditelinga Deki. Entahlah, ia juga heran. Kenapa dirinya begitu sebal saat mendengar Nila menerima telepon dari pria ini. Ia marah. rasanya ingin sekali ia mencaci maki pria yang telah menelpon Nila itu. “Dengar, aku sedang tidak mau berbicara denganmu, apakah kau tidak mengerti kalau kau sedang menggangguku hum?”
Nila menaikan aksen suaranya sehingga terdengar ketus dan marah.

Pria ditelepon itu makin menjadi-jadi, bukannya menutup teleponnya malah melanjutkan kata-katanya yang membuat Deki semakin ingin muntah. Baiklah sudah cukup. Gumam Deki dalam hati.
Tak sampai pria diseberang telepon Nila itu menyelesaikan kata-kata gombalan pada Nila, Ardeki sudah merebut handphone yang menempel ditelinga Nila kemudian menempelkannya ditelinganya. Nila terlonjak kaget dengan perlakuan temannya itu.

Apa yang ia lakukan?

“Hei, apa kau tidak mengerti apa yang barusan Nila katakan hah? Ia sedang tidak ingin ditelepon oleh mu apalagi kembali padamu. Kau terlalu bodoh kah sehingga tidak mengerti kata-kata Nila?” Deki menyerbu pria itu dengan kata-kata yang ada di otaknya. Okeh, ia tau memang ia terlalu gegabah untuk merebut handphone Nila dan mengatakan hal yang seharusnya bukan urusannya pada pria diseberang handphone itu. Ohya, siapa sebenarnya pria itu? Oh god. Ardeki bahkan belum sama sekali tau siapa nama pria itu! tindakan bodoh yang ia lakukan ini bisa membuat Nila akan risih dan sebal padanya.

“Ini siapa?” tanya pria diseberang itu. Deki menyunggingkan senyum evilnya. “Aku pacar Nila” jawabnya tegas. Tunggu… apa yang barusan ia bilang? Pacar? Kekasih? Ia mengaku kalau ia adalah pacar Nila?
Nila yang berdiri dihadapan Deki hanya menganga lebar. Ia begitu kaget dengan pernyataan Deki pada pria ditelepon itu. Jantungnya terasa berdegup sangat kencang mendengar kata yang keluar dari mulut pria dihadapannya itu.

“Kau sudah mengerti? Jadi kupikir, kau tidak usah menelpon ke handphone pacarku lagi.. karena ia benar-benar tidak ingin diganggu olehmu. Kuharap kau mengerti. terima kasih” ucap Deki dengan nada dinginnya. Nila yakin pria yang menelponnya pasti terheran dan menyerah akibat perkataan nyelekit Deki barusan. Beberapa detik setelah itu, Ardeki menekan tombol reject dari handphone Nila kemudian memberikan handphone itu pada Nila yang masih bingung akan perlakuan gegabah pria itu.

“Apa yang barusan kau katakan? Pacar? Siapa yang punya status pacaran denganmu?” Nila berusaha untuk bertanya, ia memandang Deki dengan tatapan sebal, yang sebenarnya itu hanyalah pura-pura.

“Hum, maaf kalau aku terlalu gegabah. Tapi, aku…aku hanya tidak suka melihatmu diganggu oleh pria seperti itu” jawab Deki memandang kemata Nila langsung. Tangan Nila langsung sedikit gemetar melihat mata Deki yang sekarang menatap matanya. Ia harus bertahan agar handphone yang sedang ia pegang tidak jatuh kelantai.

“Memang apa urusannya denganmu?” tanya Nila untuk kedua kalinya. Jujur saja, pertanyaan kedua Nila itu cukup membuat hati Deki sakit. ‘memang apa urusannya denganmu’ kata-kata itu seperti Nila menyalahkan Deki dengan perbuatan gegabahnya tadi. Alis Deki terangkat naik. Sebenarnya ia sedang menahan sakit hatinya akan kata-kata Nila itu.

Baiklah, sepertinya Nila memang tidak mengerti perasaanku. Lirihnya dalam hati.

Deki memaksakan seulas senyum dibibirnya. Yang sebenarnya itu adalah senyuman perih dari hatinya sendiri. “Maaf… aku telah membuatmu kesal, aku berjanji aku tidak akan mengganggumu lagi” jawabnya pelan, kemudian berjalan keluar kelas setelah mengambil tas dari bangkunya.
Setelah beberapa detik Ardeki keluar dari ruangan kelas. Nila baru menyadari bahwa ia telah menyakiti hati pria itu. Kenapa ia begitu bodoh? Padahal jelas-jelas Ardeki telah menolongnya tadi? Kenapa ia tidak begitu peka? Nila mengacak-acak rambutnya kesal dan merutuki dirinya sebagai gadis terbodoh didunia. Kenapa ia tidak mengakui bahwa ia menyukai saat Deki mengucapkan mereka berpacaran pada mantan pacarnya ditelepon? Padahal jika tidak ada Deki. Pria itu pasti akan terus menelpon Nila dan mengganggu hidup Nila, ia pasti akan terus menghujani Nila dengan telepon-telepon itu.

*

“Kau itu bodoh ya?” kata Liona setelah mendengar semua cerita dari Nila setelah mereka di cafeteria. Mereka berdua duduk berhadapan sambil menyantap makanannya. “Iya, aku memang bodoh” balas Nila pasrah.

“Baiklah, kita lupakan tentang kebodohanmu. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah, bagaimana cara agar Ardeki memaafkanmu” kata Liona. Nila mengangguk. “Apa dia akan memaafkanku?”
Liona mengangguk yakin. “Kenapa kau begitu yakin? Kupikir ia sudah terlalu sakit hati dengan perkataanku tadi” kata Nila dengan nyali yang sudah menciut.

Bagaimana tidak, setelah kejadian itu Deki keluar dari kelas dan tidak masuk kelas selama beberapa mata kuliah. Nila berpikir bahwa pria itu sudah marah dan tidak ingin melihat wajahnya. Dan itu membuat Nila menjadi sesak dan membuatnya benar-benar ingin menangis.

“Kau bisa mempercayai ucapanku, feelingku itu selalu benar” ucap Liona dengan segala kesotoyannya.

“Tapi tadi ia tidak masuk kelas, ia pasti tidak ingin melihat wajahku lagi.”

“Tidak, ia hanya ingin menenangkan pikirannya. Ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya karena perkataanmu itu ‘kan?” Liona menanggapinya dengan bijak. Nila hanya mengangguk mengerti. Ia berharap perkataan dari Liona itu benar. Ia sungguh tidak siap jika Ardeki akan benci padanya. Apa rasanya jika orang yang kita cintai malah membenci kita? Pasti sangat mengerikan.

“Nila!” sebuah seseorang memanggil Nila. Sebenarnya Nila tau siapa yang memanggilnya ini. Tapi ia masih menjernihkan pikirannya. Ia masih belum percaya bahwa yang memanggilnya barusan adalah Deki.

“Nil, Deki manggil tuh” Liona mencoba menyadarkan Nila yang masih belum percaya. “Aku tidak salah dengar kan?” tanya Nila tidak percaya. Liona menggeleng. Kemudian melirik kearah Deki yang sekarang sudah duduk disamping Nila.

“Kenapa?” tanya Nila sewajarnya. Deki memberikan sebuah buku berwarna hijau milik Nila yang sempat ia pinjam kemarin.

“Ini bukumu. Terima kasih ya” kata Deki tersenyum manis. Senyuman yang mampu membuat Nila ikut tersenyum kemudian mengangguk. Melihat raut wajah Deki, entah kenapa Nila merasa yakin bahwa pria itu sudah tidak marah lagi padanya. Semangatnya kembali naik.

“Laporan Akhirmu sudah selesai?” tanya Nila memulai pembicaraan diantara mereka. Sementara Liona hanya menahan senyum melihat dua orang berbeda jenis dihadapannya.
Deki menggeleng menjawab pertanyaan Nila. “Loh kenapa? Bukannya lusa laporan ini sudah harus selesai?” Nila heran. “Aku tidak bisa mengerjakannya. Rumusnya bikin pusing semua” jawab Deki. Nila tertawa.

“Perlu dibantu?” tawar Nila. Mendengar kata itu Deki tersenyum kembali. “Iya, kalau tidak merepotkan”

“Ehem” Liona berdeham menyadari dirinya hanyalah dianggap sebagai obat nyamuk oleh mereka berdua. Sontak Nila dan Deki mengalihkan pandangan kearahnya. “Oke, kalian terusin aja.. aku harus pergi” kata Liona tersenyum

“Hah? Mau kemana kau?” tanya Nila. “Mau kemana yaa, hahaha… aku tau diri untuk tidak mengganggu kalian. Aku akan bersama yang lain. Ohya, ingat. Kita masih ada satu kelas lagi” kata Liona menyambar tas berwarna birunya kemudian berjalan setelah mengedipkan sebelah matanya pada Nila. Pria disamping Nila hanya tertawa kecil melihat kepergian Liona.

*

Ardeki dengan serius mendengarkan semua penjelasan tentang laporan akhir itu. Setidaknya, Nila lebih mengerti tentang ini dibanding dirinya. Ia harus merekam suara Nila kedalam otaknya jika ingin menyelesaikan laporan ini.

“Jadi, kau harus menyalin ini kemudian memasukan semua data dilembar datamu kedalam tabel ini. ohya jangan lupa, semua datanya harus kau hitung sigmanya. Mengerti?” jelas Nila diselingi sebuah pertanyaan diakhir kalimat.

Ardeki mengangguk mengerti. Ia sudah mengerti cara perhitungannya. Dan itu semua karena Nila.

“Bisa berikan aku cara perhitungannya? Setidaknya 1 nomor saja?” pinta Deki dengan wajah memelas, dan membuat Nila tidak bisa menolaknya. “Baiklah.. hanya 1 kan?”
Deki mengangguk. Nila memberikan semua penjelasan dengan sabar disamping Ardeki, dan beberapa kali menghitung untuk mencari hasilnya.  Sesekali Ardeki bertanya dan Nila menjawabnya. Setelah 30 menit Nila membantu mengerjakan Laporan akhir milik Ardeki, pria itu berkata “Aku sudah mengerti. Semoga semuanya bisa dikerjakan dalam waktu 2hari”

Nila tersenyum manis “Tentu saja kau bisa” katanya memberi semangat. “Terima kasih ya” ini kedua kalinya Ardeki mengatakan kalimat itu untuk Nila. “Sama sama” timpal Nila.

Beberapa detik mereka berdua terdiam. Nila memutuskan untuk membuka pertanyaan diantara mereka. 
“Kau tidak marah padaku ‘kan?” tanya Nila takut-takut. Ardeki menggeleng “Tidak, kenapa aku harus marah?”
“Mengenai kemarin itu, aku benar-benar tidak sadar. Kata-kataku terlalu lepas kendali”
“Tidak apa-apa, aku tau sikap gegabahku itu memang keterlaluan. Tapi setidaknya, aku memang tidak ingin melihat kau gusar menjawab telepon dari pria itu”
“Apa dia masih mengganggumu?” Deki bertanya. Nila menggeleng. “Karena ucapanmu kemarin mungkin ia tidak akan menggangguku lagi” jawab Nila. Kali ini Deki tersenyum kemudian mengusap puncak kepala Nila. “Baguslah”

Tiba-tiba Nila merasa wajahnya menghangat. Bukan, bukan karena suhu udara memanas. Tapi ini karena perlakuan Ardeki barusan yang benar-benar membuat Nila merasa menjadi gadis beruntung di dunia ini. Setidaknya hal kecil yang barusan Deki lakukan adalah hal yang belum pernah ia rasakan.

Apa mungkin aku termasuk gadis istimewa baginya?

Tanpa sadar Nila tersenyum tipis. “Ayo kita kekelas” ajak Deki. “Tunggu, bukankah kalau kita kekelas bersama. Pacarmu akan marah?”

“Pacar? Siapa?” tanya Deki heran. “Hum, waktu itu aku melihatmu bersama Nandin. Bukankah dia pacarmu?” Nila bertanya, pertanyaan itu disambut tertawaan oleh Deki “Siapa yang bilang kita berpacaran?”

“Loh, jadi kalian tidak?”
Ardeki menggeleng. “Tidak” entah kenapa suara Ardeki barusan terdengar merdu ditelinga Nila. Ia mengatakan bahwa ia dan Nandin tak ada hubungan apapun. Nila merasa ia kembali mendapatkan sebuah penyemangat.

Ardeki meraih tangan Nila kemudian menggandengnya berjalan ke kelas. Satu perlakuan Ardeki yang kembali membuat jantung Nila berdebar dan membuat pipinya mengeluarkan sebuah semburat merah. Ia tak bisa menahan rasa senangnya kali ini. Beberapa orang melihat Ardeki dan Nila sepanjang koridor. Mereka berdua terlihat seperti orang yang sedang berpacaran. Baik Nila maupun Deki sama sekali tidak merasa risih mendapat perhatian dari beberapa orang yang melihatnya sepajang koridor kampus.

“Hei, kenapa dari tadi kau itu tersenyum mulu?” tanya Ardeki, menyadari Nila yang belum juga menghapus senyumannya dari wajahnya itu.

“Tidak, aku hanya sedang . Kurasa aku sedang jatuh cinta. Jatuh cinta itu menakjubkan yah?”
Ardeki tersenyum lebar, masih dengan menggenggam erat tangan kanan Nila. “Hahahaha… boleh aku tau dengan siapa kau jatuh cinta?” tanya Deki.

Dengan kau. Desis Nila dalam hati. Tapi ia tidak mungkin mengatakan itu pada Ardeki sekarang kan?

“Hehe itu rahasia. Apa kau pernah merasakan jatuh cinta? Atau jangan-jangan sekarang kau juga merasakan jatuh cinta?” bukannya menjawab pertanyaan Ardeki. Ia malah balik bertanya ke pria itu.

“Itu rahasia juga hehe” Ardeki menjulurkan lidahnya pada Nila. Oh tuhan, demi apapun ia sangat menyukai suasana seperti ini bersama Deki. Meskipun sekarang ia tidak memiliki pria itu atau belum memiliki, tapi rasanya ia mampu menyenangkan rasa hatinya.

“Memangnya seperti apa gadis yang kau suka itu?”

“Hum, dia.. dia cantik, imut dia juga selalu mengerti aku. Walaupun aku sempat dibuat kesal olehnya. Dia juga senantiasa menemani dan mengajariku disaat aku kacau” jelas Ardeki pendek.

“Kau sudah mengatakan kalau kau menyukainya?” tanya Nila lagi. “Belum, tapi segera”
Entah kenapa, atmosfir indah yang baru saja ia rasakan tadi kini hancur akibat kata-kata Deki ditelinga Nila.

Ia merasa semangatnya kembali menciut. Dari semua rincian tentang gadis yang disukai oleh Deki itu bukan dirinya. Ia sangat yakin itu. Menurutnya, ia tidak cantik ataupun imut. Ia tau kalau ia selalu membuat Deki kesal bukan pernah. Langkah Nila terhenti. Menyadari Nila berhenti Deki menoleh kearahnya dengan pandangan bingung. “Kenapa? Bukankah kita harus kekelas?”

“I..iya..kau.. kau duluan saja dulu, aku harus ke toilet” jawab Nila terbata. Deki sadar ada yang tidak beres pada gadis itu.

“Baiklah, perlu aku antar?”

“Tidak, tidak.. kau duluan saja. Bilang pada Liona kalau tunggu aku dikelas saja, aku tau dia akan menyusulku kalau kau tidak mengatakan itu” kata Nila akhirnya setelah ia membalikan tubuhnya dan berjalan berbanding arah dengan Deki

Pria itu hanya menatap bingung punggung Nila yang semakin menjauhinya. “Ada apa dengannya?” gumam Deki penasaran.

*

Di toilet, Nila memandang lurus wajahnya kearah pantulan cermin dihadapannya. Cermin itu mengobyekan dirinya yang sedang berdiri. Ia membasuh wajahnya dengan air di wastafel itu.

“Fuhh.. apapun yang kulakukan memang tidak bisa membuatnya menjadi milikku” lirih Nila menatap wajahnya yang begitu menyedihkan dicermin.

Dadanya terasa sesak. Ia merasakan aliran cemburu didirinya saat Deki mengatakan bahwa ia menyukai gadis lain dan itu bukan dirinya. Kenapa ia bisa begitu yakin kalau itu bukan dirinya? Bukankah Ardeki tidak memberi tau siapa gadis itu ‘kan?

Tak disadari air mata sudah berada diujung matanya. Semakin lama air mata itu turun dan membuat aliran sungai kecil dipipinya. Tidak. Ia tidak boleh menangis hanya karena pria itu.

“Jangan menangis … jangan menangis” ucap Nila seolah mensugesti dirinya agar tidak menangis. namun kendali pikirannya mencegah. Ia seakan tidak bisa mengendalikan air matanya yang sudah begitu deras membanjiri pipinya. Ia mengambil kasar beberapa tisu yang tergantung ditembok dekat wastafel untuk menghapus sisa-sisa air mata diwajahnya. Tapi tetap saja, ia tidak akan bisa berbohong pada Liona kalau ia habis menangis.

Iya, iya janji pada dirinya sendiri akan menghapus semua rasanya ke Ardeki. Ia akan mengubur dalam-dalam rasa cintanya pada pria itu. Dan lagipula, untuk apa dia menyukai pria itu kalau akhirnya ia akan sakit hati melihat Ardeki bersama gadis lain. Melihat pria itu berjalan bersama Nandin saja ia merasa sangat cemburu.
Sudah cukup! Iya, aku akan mengakhiri semua ini.

*

Pagi itu Nila sama sekali tidak bersemangat. Ia jalan dengan gontai dikoridor kelas. Ia juga sama sekali tidak mengerti, kenapa tubuhnya susah sekali untuk diajak semangat. Wajah Nila hari ini pun tidak secerah kemarin-kemarin, sejak tadi ia belum mengeluarkan seulas senyum. Wajahnya terlihat sangat stress. Ia masuk kekelasnya. Dan ia berharap ia tidak bertemu dengan pria yang sama sekali tidak ingin ia temui. Siapa lagi kalau bukan Ardeki.

Nila mengerutkan keningnya. Ia melihat tas Liona berada ditempat duduknya tapi kemana orang itu. Dan tak biasanya sahabatnya itu datang lebih cepat darinya. “Kemana dia?” tanyanya pada diri sendiri. Ia juga melihat beberapa teman-temannya yang sudah datang. Tadinya ia berniat untuk bergabung bersama yang lain. Tapi tidak jadi. Lebih baik ia menunggu sahabatnya itu datang saja.

Nila menunggu temannya dengan sabar. Ia juga sudah mengirim pesan pada Liona agar cepat kekelas. Ah, ia lupa. Siapa tau Liona sedang bersama Kakak senior impiannya itu. Iya iya tidak seharusnya aku mengganggu. Nila menggelengkan kepalanya membayangkan Liona benar-benar menemui Senior tingkat 4 impiannya itu.


Kelas sudah hampir ramai, tapi belum juga ia melihat sosok Liona datang menghampirinya. Ia takut sahabatnya itu akan terlambat. Apa ia tidak tau sebentar lagi Dosen Herder itu akan datang?

Nila yang khawatir akan nasib sahabatnya langsung mengambil handphone dan mencoba menelpon gadis itu. Namun telponnya sama sekali tidak diangkat. Ia hanya mendengar suara operator yang mengatakan bahwa ia harus mencoba lagi. Sudah berkali-kali ia mencoba menelpon. Tapi tetap saja.

Nila berdiri kedepan kelas dengan gusar. Ia mondar-mandir tidak karuan disana. Eh tunggu.. bukankah hanya dua orang yang belum hadir dikelas. Liona dan…Ardeki?
Kenapa bisa begitu? Apakah mungkin terjadi Sesuatu diantara mereka? Ketakutan menyerbu dirinya. Ia takut terjadi sesuatu pada mereka.

Tak beberapa lama kemudian ia merasakan tubuh belakanganya ditabrak oleh seseorang sehingga menyebabkan handphone-nya jatuh kelantai. Nila memungut handphone-nya dan membalikan tubuhnya untuk melihat siapa orang itu. Ia langsung heran melihat gadis yang sekarang sudah dihadapannya. Itu sahabatnya, Liona. Gadis itu sepertinya habis berlari, nafasnya begitu memburu.
“Liona? Kenapa ngos ngosan begitu?” tanya Nila heran. Yang ia tau, tidak ada mata kuliah olahraga. Memangnya anak SMA. “Kau habis berlari huh?” tanyanya lagi.

Liona membungkukan badannya sambil memegangi kedua lututnya yang terasa lelah.
“Kau kenapa sih?” Nila terus bertanya heran pada Liona. Itu terdengar sedikit berisik bagi Liona.

“Itu.. si..Ar..” Liona berkata diiringi nafas yang masih ngos-ngosan.

“Siapa?”

“Ardeki!! Dia kecelakaan.. ayo kita kerumah sakit” perkataan Liona benar-benar membuat Nila shock. Ia terkejut bukan main. Rasanya jantungnya ingin menembus dadanya. Air mata pun sudah siap akan meluncur kepipinya. “Ayo kita ke rumah sakit” tanpa pikir panjang Liona langsung menarik tangan Nila dan berlari menyusuri koridor gedung bersama-sama.

Kecelakaan? Nila masih belum bisa percaya apa yang barusan Liona katakan.
Katakan ini bohong! Katakan ini bercanda!

Tapi disaat seperti ini bukan untuk bercanda. Ia juga melihat raut wajah Liona yang sangat serius. Ya tuhan, ia takut ia tidak bisa melihat Ardeki lagi. Ia takut ia akan kehilangan Ardeki dan tidak akan melihat senyuman dari pria itu lagi. Sekelebat pikiran buruk itu ada di otak Nila. Ia tidak mau! Ia sama sekali tidak siap jika hal itu terjadi. 

Nila berlari lebih cepat dibanding Liona. Namun ketika berada diluar gedung ia menyadari bahwa Liona menghilang. “Kemana Liona?” tanyanya dalam hati. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Padahal Liona lah yang tau kemana ia harus menemui Deki yang habis kecelakaan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melanjutkan lariannya kearah lapangan dikampus, hingga ia sampai di waterfall di kampusnya. Napas Nila memburu, pandangan matanya masih mencari kemana Liona pergi. Ia tidak mungkin kerumah sakit sendiri.

Karena ia tidak tau dimana. Ia masih mencari-cari dimana Liona. Gadis itu mengerutkan keningnya ketika ia sosok seorang pria yang sama sekali tidak asing baginya. Pria itu sedang memadang kearah waterfall bikinan kampusnya itu. “Itu kan?” Nila sedikit tidak percaya apa yang matanya lihat. Matanya memang minus. Tapi ia yakin, bahwa itu adalah pria yang sudah membuatnya khawatir.

Tanpa pikir panjang lagi, Nila langsung menghampiri pria yang membelakanginya itu kemudian menarik bahu pria itu agar membalikan badannya. “Ardeki? Apa yang kau lakukan disini?” Nila heran seheran-herannya. Bukankah pria itu kecelakaan?

“Memangnya aku tidak boleh melihat waterfall dikampusku?” Ardeki tersenyum misterius kearah Nila yang masih terheran.

“Bukankah kau…kecelakaan? Oh, bagus.. ini pasti kerjaan Liona!” Nila yang sadar dirinya sedang dibohongi langsung menghela nafas kasar. Ia kesal. Kenapa Liona harus begitu membuatnya kesal hari ini.

“Ini semua bukan salah Liona” kata Deki yang membuat Nila semakin terheran. “Apa? Jadi kau juga bersengkokol” Nila menggigit bawah bibirnya menahan air mata yang sudah akan jatuh kepipinya. Ia meninju lengan Deki dengan main-main. “Kau bodoh! Apa kau tidak tau betapa khawatirnya aku saat Liona mengatakan kau kecelakaan hah? Kau tidak tau aku tidak bisa berpikir apapun selain kau hah?” cecar Nila kesal. Bahkan disaat kesal seperti ini Deki masih bisa tersenyum. “Aku minta maaf” ucapnya.

“Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan lagi, aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini. Aku tidak bisa hanya melihatmu saja tapi tidak memilikimu” mendengar kata-kata itu Nila mengangkat alis. “Apa maksudmu?”

“Kau tidak mengerti?” Nila menggeleng polos. Ardeki tertawa. Pria itu merogoh kantung celananya kemudian membukanya. Sebuah gelang berwarna putih dengan tiara-tiara kecil bertebaran sehingga membuat kesan elegan di gelang itu. “Aku tau kau bukan gadis yang biasa memakai barang seperti ini, tapi aku hanya ingin member ini dan mengatakan…” Deki menahan kata-katanya sejenak.

Jantung Nila sudah loncat tidak karuan mendengar itu. Ia hanya menunggu lanjutan kata-kata dari pria itu.

“Jadi gadis yang kau suka itu?” Nila bertanya sebelum Deki melanjutkan kata-katanya. Ardeki mengangguk.

“Gadis cantik, imut dan juga selalu mengerti aku. Walaupun aku sempat dibuat kesal olehnya. Dia juga senantiasa menemani dan mengajariku disaat aku kacau itu… adalah kau Nila”  ucap Ardeki tulus menjawab pertanyaan Nila. Tanpa bisa ia kendalikan, air matanya sudah jatuh dipipinya, namun ia tak berusaha menyekanya.

“Nila, Would you be mine?” tanya Ardeki memandang lurus kemata Nila yang sudah penuh air mata. Dan kali ini ia harus merelakan air matanya jatuh ke pipinya. “Oh, I can’t believe it” Nila tak kuasa menahan gejolak dihatinya untuk menjawab pertanyaan Deki. Tapi ia harus cepat menjawab agar pria itu tidak berubah pikiran. Nila mengangguk diiringi perkataan “Yes, I would” jawabnya tersenyum manis. Senyuman yang paling indah yang pernah ia tunjukan pada Ardeki. Pria itu beralih melingkarkan gelangnya ditangan mungil gadis itu.

Jarak wajah mereka hanya beberapa centi saja, didekat waterfall itu mereka sudah mengatakan perasaan mereka. Diantara jatuhan air-air itu. Ardeki tersenyum geli melihat gadis itu kemudian beralih menyeka air mata gadis itu dengan jari-jarinya. “Jangan menangis” katanya. “Aku mencintaimu” Ardeki mengatakan itu dengan seluruh isi hatinya. Nila mengangguk. “Aku tau”

“Kau juga mencintaiku?” tanya Ardeki, Nila mengangguk lagi. “You belong with me, Nila” kata Ardeki akhirnya. Ia meraih tangan Nila kemudian menarik gadis itu dalam dekapannya. Nila bisa merasakan oksigen yang begitu tenang saat Ardeki memeluknya. Ardeki mengusap puncak kepala gadis itu memberikan kenyamanan luar biasa pada Nila.

Ardeki memeluk Nila. Tidak, keduanya saling berpelukan. Tanpa peduli beberapa pasang mata melewatinya dan melihatnya. Tanpa peduli setiap orang disana memandangi mereka.
Kali ini mereka berdua sudah yakin. Mereka tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi mereka saling mencintai.

THE END

maaf kalau jelek T.T saya masih harus terus belajar :')
sorry for everything
leave a comment please :D
 

Icha's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review