Selasa, 13 Desember 2011

You've Fallen for Me

Diposting oleh Icha Elias di 04.18
Author : Ummu Aisyah or Icha (@MrsEliasChoi on twitter)
Cast : Nila, Ardeki, and other cast
This story is purely mine! Please don’t take anything from here




“Tuk tuk tuk” suara ketukan sebuah pulpen terdengar ditelinga Nila. Yah memang benar dia yang telah menimbulkan suara itu dari pulpen yang ia ketukan ke meja belajarnya. Ia merasa bosan. Sudah satu jam lebih ia memerhatikan dosen yang sedang memberikan pelajaran dan penjelasan tentang kuliahnya. Tapi ia masih merasa bosan. Sesekali ia menoleh kearah Liona yang sedang mengutak-atik handphonenya. Oh Tuhan, gadis itu memang sudah gila. Disaat ada dosen begini ia masih berani membuka handphone? Yang benar saja!
Nila menyenggol lengan Liona dan berkata “Heh! Perhatiin tuh dosen” ucapnya menunjuk kearah dosen.

“Ck.. kau ini ganggu saja sih ah!” balas Liona, nadanya terdengar seperti orang yang tidak ingin diganggu. Itu membuat rasa penasaran Nila muncul. Apa yang ia lakukan dengan handphonenya? Kenapa dari tadi ia sama sekali tidak berhenti memandang kearah handphone Blackberry itu. Nila mengintip kearah Blackberry Liona dengan matanya. “Oh lagi bbm-an sama Kak Elias, pantas saja dari tadi cengengesan” timpal Nila sambil mendengus kesal, melihat tingkah sahabatnya yang sedikit aneh. Gadis itu kembali memusatkan perhatiannya pada dosen didepan. Kali ini ia mencoba untuk berkonsentrasi, tidak mencoba berpaling dari papan tulis didepan dan mendengarkan semua kata-kata dosen.


“Fffuuhhh.. lama sekali sih selesainya” runtuk Nila pelan. Ia mengomel dalam hati. Ia sudah lelah, ia merasa otot-otot lehernya minta diistirahati setelah hampir dua jam gadis itu duduk dibangku kuliah. Merasa bosan. Ia kembali mengalihkan pandangannya kearah samping kirinya. Tempat dimana anak laki-laki duduk disana. Bola matanya berhenti pada pojok kelas. Bukan, ia bukan melihat tembok dipojok. Tapi matanya menangkap seorang pria sedang mencoret-coret buku catatannya, sepertinya ia juga merasa bosan. Sama seperti Nila.

Nila terus memandang pria itu. Pria itu memakai baju kaos yang dibalut dengan jaket turtleneck berwarna merah. Entah kenapa, bagi Nila pria itu sangat terlihat tampan hari ini. Pria itu adalah Ardeki, sudah lama Nila naksir pada pria itu. Deki –sapaan pria itu- sering sekali tersenyum manis dan menyapa Nila ketika ia sedang bertemu Nila dimanapun. Nila merasa hal itu memang sangat biasa. Tapi baginya, itu adalah sesuatu yang bisa membuat seisi jantungnya berdebar dan membuatnya salah tingkah.

Tanpa disadari Nila sudah memandang kearah pria itu selama beberapa menit. “Oh god, aku tidak boleh terus memandangnya begini” desahnya dalam hati kemudian membuang nafas. Tapi pikirannya tidak mau mengerti. Ia kembali memandang kearah Deki tanpa diinginkannya. Nila merasa, tubuhnya seakan mendapat sebuah suntikan semangat hanya karena ia melihat wajah pria itu.

“Deki’s handsome today, doesn’t he?” tiba-tiba suara disampingnya membuatnya terlonjak kaget. Nila merasa jantungnya sudah akan melorot kelantai mendengar suara disampingnya yang tidak lain adalah Liona.

“Hei, kau gila? Kau ingin aku mati ya?!!” ujar Nila ketus sambil mengelus dadanya yang tadi habis terkena serangan dadakan dari Liona.

“Hahahahha, kau tau tidak? Tadi kau sudah lima menit memandang Ardeki” Nila memelototkan matanya mendengar pernyataan dari Liona itu. “Benarkah?” Nila tidak percaya, sementara Liona hanya mengangguk kemudian tersenyum. Nila sedikit takut akan Deki mengetahui perasaannya kemudian menghindari gadis itu karena terlalu ilfeel. “Tenang saja, Deki belum tau perasaanmu” Liona tersenyum kemudian mengajak Nila keluar dari kelasnya setelah semua mata kuliahnya usai.

“Kau yakin? Aku pikir ia sudah tau, siapa tau ia sudah menangkap basah aku sedang memperhatikannya. Dia jadi risih dan… menghindariku”

“Tidak honey, percayalah kalau ia juga menyukaimu”

“Apa? It’s impossible Liona” jawab Nila. Kalau boleh jujur, ia sangat ingin kata-kata Liona itu menjadi nyata.

“Kau tidak percaya padaku hah?” Liona melipat kedua tangannya didada.

Nila menggeleng cepat. Ia tidak percaya pada Liona.


“Nila!!” panggil sebuah suara dari belakang mereka. Demi apapun, Nila sangat hapal siapa pemilik suara ini! tiba-tiba jantung Nila mulai tidak bisa untuk dikendalikan. Sikap salah tingkah pun mungkin akan menyerbu dirinya sedikit lagi.

Nila menolehkan kepalanya kearah orang yang baru saja memanggilnya. “Deki? Ada apa?” tanya Nila kepada Deki yang sekarang sudah berada didepannya. “Kau punya buku petunjuk laporan akhir kan? Boleh aku pinjam?” pinta Deki sedikit berharap bahwa Nila akan memberikan buku petunju laporan akhir itu pada Deki. “Um, memang kau tidak punya?” Nila malah balik bertanya, ia mencoba bersikap setenang mungkin, agar tidak terlihat salah tingkah didepan Deki. Ia tidak ingin ia salting kemudian Deki akan menjauhinya.

Padahal ini adalah kesempatan emas dimana Nila bisa meminjamkan buku itu pada Deki. Sementara Liona yang ada diantara mereka hanya tersenyum penuh arti. Senyuman menggoda Nila. Ia janji ia akan meledek Nila setelah keluar dari gedung ini.

“Punya, tapi…yah begitulah” kata Deki sedikit tidak jelas, seperti tidak mau memberitahu alasannya. Nila menatap pria dihadapannya heran.

“Udahlah Nila pinjemiiinn!!!” celetuk Liona. Nila menoleh kearah Liona sekilas, matanya seolah berkata ‘diam-kau’ melihat itu Liona menutup mulutnya dan menahan tawa.

Nila beralih merogoh tas-nya kemudian mengambil buku berwarna hijau itu. Buku petunjuk laporan akhir tepatnya. “Ini” ia menyerahkan buku itu pada Deki. “Pinjem yah” kata Deki yang disambut anggukan oleh Nila.

*

Nila sedang berjalan ditaman kampus bersama Liona. Kedua gadis itu berjalan sambil sesekali bercanda. Suasana persahabatan selalu terlihat diantara mereka berdua. Beberapa kali Nila tersenyum malu-malu sambil pura-pura kesal karena Liona terus meledeknya dengan kejadian buku panduan Nila yang dipinjam Deki kemarin. Liona senang melihat sahabatnya mengalami kemajuan setidaknya sedikit saja.

“Owowowow itu Deki ‘kan?” tanya Liona menunjuk kearah parkiran dengan kedua matanya setelah mereka keluar dari gedung. Pandangan Nila mengikuti arah pandang Liona. “I..iya” ucapnya sedikit terbata. Ia melihat Deki sedang melepas helm dari motornya. Barusan ia melihat jelas, Deki sedang berboncengan dengan Nandin, teman sekelas Nila yang tentu saja teman sekelas Deki. Saat itu juga ia merasa sebuah semangat yang terbit tadi pagi menjadi runtuh karena melihat adegan itu.

Ada hubungan apa antara Ardeki dan Nandin? Apa mereka berpacaran?

Tiba-tiba Nila merasa dadanya sedikit terasa sesak. Ia cemburu. Iya, mungkin sangat benar ia cemburu. Tak bisa disangkal lagi akan hal itu. tapi apa hak ia untuk cemburu? Deki pantas bersama Nandin. Nandin cantik, Deki adalah Pria tampan yang manis. Tak ada salahnya jika mereka berpacaran kan?

Nila merasa ia ingin pergi dari tempat itu saat ini juga. Nila memegang tangan Liona, ia memeras tangan Liona yang melingkar padanya. Entah kenapa ia sekarang jadi merasa kesal karena Liona telah memberikannya tontonan yang sangat tidak ia inginkan. Ia ingin menangis. tapi kendali dirinya mengatakan tidak. Untuk apa menangis hanya untuk pria itu. Pria yang bukan siapa-siapanya.

Liona menoleh melihat wajah Nila yang sudah menegang. “Kita pergi dari sini” ajaknya menarik tangan Nila menjauh dari tempat itu.
Setelah mereka berjalan dikoridor kampus. Liona mencoba meyakinkan Nila bahwa Nandin bukanlah siapa-siapa dari Deki

“Oh come on dear, they’re just a friend! I’m really sure!” ucap Liona keukeuh.
“Tidak mungkin honey, mereka berboncengan ke kampus, dan beberapa kali aku juga sering menemukan mereka sedang berdua. Aku yakin mereka bukan teman.. mereka pasti udah jadian” balas Nila sambil berjalan sedikit lebih cepat dari Liona. Padahal jauh didalam hatinya ia ingin mengatakan hal yang sebenarnya.

“Kau cemburu ‘kan?” Nah, apa lagi yang harus ia jawab. Liona benar, ia cemburu. Ia tidak mungkin berbohong pada sahabatnya yang sudah sangat tau dirinya. “Baiklah, aku tidak akan berbohong padamu.. iya, aku cemburu” jawab Nila singkat dan jujur. “Sudah kuduga” Liona mengembangkan senyumanya kemudian memegang bahu Nila dan mencoba meyakinkan gadis itu untuk kesekian kalinya.

“Deki dan Nandin tidak berpacaran… percaya padaku” Liona menekankan tiap-tiap kata yang keluar dari mulutnya. Entah kenapa saat Liona mengatakan itu, Nila merasa hatinya yang sudah hancur kini kembali membaik. Ini berkat Liona. Nila kemudian tersenyum kecil, setidaknya berkat perkataan dari Liona, ia merasa sedikit lega. “Thanks dear, you’re the best” katanya. Liona tersenyum manis. “I know that”

*

Nila melangkahkan kaki memasuki kelasnya. Ia mendengus kesal ketika ia melihat kelas itu belum sama sekali berpenghuni. Tak ada Liona ataupun teman-temannya yang lain. Ia harus menunggu. Ia kemudian melihat arloji yang terpasang ditangannya.

“Aish, aku datang terlalu pagi” ucapnya diselingi hembusan nafas kasar. Sekarang, ia bingung harus melakukan apa. Ia tidak membawa laptop untuk mengisi waktu bosannya saat ini.
Alisnya terangkat ketika ia mengingat sesuatu. “Yah, lebih baik aku mendengarkan musik” Nila mengambil sebuah earphone ditasnya kemudian memasukannya kedalam handphonenya.

Setelah menekan tombol play, gadis itu menutup matanya sambil sesekali bersenandung mengikuti alunan musik di playlistnya. Setidaknya ia sedikit merasa tenang dibanding harus diam dikelas tanpa melakukan apapun.

Tiba-tiba perhatiannya teralih karena mendengar ada suara orang melangkahkan kaki masuk dan menekan tombol pause dihandphonenya. Nila membuka matanya dan melihat siapa yang baru datang. Mungkin saja Liona. Tapi Nila menghela nafas panjang ketika ia tau orang itu bukanlah Liona. Melainkan… Ardeki. Oh, ia tidak bersama Nandin hari ini? pikir Nila jengkel.

“Jangan pikirkan dia” Nila menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian kembali menekan tombol play untuk menyalakan lagu itu kembali. Ia menaikan satu tingkat volume agar tidak merasa terganggu. Ia tidak peduli siapapun yang akan datang lagi. Ia hanya ingin menunggu Liona datang.



Ardeki berjalan masuk kedalam kelasnya, ia sedikit mengalihkan pandangannya pada seluruh kelas yang masih kosong. Sebelumnya ia sedikit malas untuk masuk kekelas karena sama sekali tidak ada temannya disana. Namun ia merubah keputusannya ketika ia menangkap sosok gadis mungil sedang duduk sambil menutup matanya disebuah bangku ketiga dari pojok. Alis matanya terangkat melihat Nila berada disana.
Ia menahan senyum kemudian melangkah masuk kesana. Berniat membuat Nila sedikit terkejut dengan kehadirannya. Ia melihat gadis itu membuka matanya untuk bertatapan dengannya. Deki memilih duduk dibangku belakang pojok –tempat favorite-nya- kemudian kembali memandang punggung gadis itu. Ia yakin Nila pasti masih mendengarkan alunan lagu didalam handphone-nya.

Ia juga bingung pada dirinya. Kenapa saat Nila ada didekatnya, ia merasa dirinya sangat senang. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan ketika jarak mereka dekat.

Tiba-tiba ia sedikit terkaget melihat Nila sekarang mengangkat tubuhnya untuk berdiri dan menempelkan handphone-nya ke telinga kanannya. Sedang menjawab telpon sepertinya.

Ardeki memandang dengan tatapan heran. Ia agak sedikit bingung. Kenapa gadis itu terlihat marah-marah pada orang ditelponnya. Merasa penasaran. Ia berdiri kemudian menghampiri Nila, walaupun gadis itu masih belum menyadari dirinya yang sekarang ada dibelakang tubuhnya.

“Apa maumu?” tanya Nila pada orang diseberang telponnya. “Kembali padaku”  jawab suara diseberang handphone-nya, suara seorang pria. Deki yang sedang mencuri dengar alias menguping semakin penasaran dengan suara pria ditelepon Nila. Nila tertawa kecil kemudian menimpali. “Oh gosh, itu tidak mungkin” timpal

Nila mengacak-acak poninya gusar. Ia seperti orang yang sedang gelagapan menghadapi pria yang sedang menelponnya.

Aku mencintaimu Nila, bisakah kita berpacaran seperti dulu?” suara itu makin terdengar menyebalkan ditelinga Deki. Entahlah, ia juga heran. Kenapa dirinya begitu sebal saat mendengar Nila menerima telepon dari pria ini. Ia marah. rasanya ingin sekali ia mencaci maki pria yang telah menelpon Nila itu. “Dengar, aku sedang tidak mau berbicara denganmu, apakah kau tidak mengerti kalau kau sedang menggangguku hum?”
Nila menaikan aksen suaranya sehingga terdengar ketus dan marah.

Pria ditelepon itu makin menjadi-jadi, bukannya menutup teleponnya malah melanjutkan kata-katanya yang membuat Deki semakin ingin muntah. Baiklah sudah cukup. Gumam Deki dalam hati.
Tak sampai pria diseberang telepon Nila itu menyelesaikan kata-kata gombalan pada Nila, Ardeki sudah merebut handphone yang menempel ditelinga Nila kemudian menempelkannya ditelinganya. Nila terlonjak kaget dengan perlakuan temannya itu.

Apa yang ia lakukan?

“Hei, apa kau tidak mengerti apa yang barusan Nila katakan hah? Ia sedang tidak ingin ditelepon oleh mu apalagi kembali padamu. Kau terlalu bodoh kah sehingga tidak mengerti kata-kata Nila?” Deki menyerbu pria itu dengan kata-kata yang ada di otaknya. Okeh, ia tau memang ia terlalu gegabah untuk merebut handphone Nila dan mengatakan hal yang seharusnya bukan urusannya pada pria diseberang handphone itu. Ohya, siapa sebenarnya pria itu? Oh god. Ardeki bahkan belum sama sekali tau siapa nama pria itu! tindakan bodoh yang ia lakukan ini bisa membuat Nila akan risih dan sebal padanya.

“Ini siapa?” tanya pria diseberang itu. Deki menyunggingkan senyum evilnya. “Aku pacar Nila” jawabnya tegas. Tunggu… apa yang barusan ia bilang? Pacar? Kekasih? Ia mengaku kalau ia adalah pacar Nila?
Nila yang berdiri dihadapan Deki hanya menganga lebar. Ia begitu kaget dengan pernyataan Deki pada pria ditelepon itu. Jantungnya terasa berdegup sangat kencang mendengar kata yang keluar dari mulut pria dihadapannya itu.

“Kau sudah mengerti? Jadi kupikir, kau tidak usah menelpon ke handphone pacarku lagi.. karena ia benar-benar tidak ingin diganggu olehmu. Kuharap kau mengerti. terima kasih” ucap Deki dengan nada dinginnya. Nila yakin pria yang menelponnya pasti terheran dan menyerah akibat perkataan nyelekit Deki barusan. Beberapa detik setelah itu, Ardeki menekan tombol reject dari handphone Nila kemudian memberikan handphone itu pada Nila yang masih bingung akan perlakuan gegabah pria itu.

“Apa yang barusan kau katakan? Pacar? Siapa yang punya status pacaran denganmu?” Nila berusaha untuk bertanya, ia memandang Deki dengan tatapan sebal, yang sebenarnya itu hanyalah pura-pura.

“Hum, maaf kalau aku terlalu gegabah. Tapi, aku…aku hanya tidak suka melihatmu diganggu oleh pria seperti itu” jawab Deki memandang kemata Nila langsung. Tangan Nila langsung sedikit gemetar melihat mata Deki yang sekarang menatap matanya. Ia harus bertahan agar handphone yang sedang ia pegang tidak jatuh kelantai.

“Memang apa urusannya denganmu?” tanya Nila untuk kedua kalinya. Jujur saja, pertanyaan kedua Nila itu cukup membuat hati Deki sakit. ‘memang apa urusannya denganmu’ kata-kata itu seperti Nila menyalahkan Deki dengan perbuatan gegabahnya tadi. Alis Deki terangkat naik. Sebenarnya ia sedang menahan sakit hatinya akan kata-kata Nila itu.

Baiklah, sepertinya Nila memang tidak mengerti perasaanku. Lirihnya dalam hati.

Deki memaksakan seulas senyum dibibirnya. Yang sebenarnya itu adalah senyuman perih dari hatinya sendiri. “Maaf… aku telah membuatmu kesal, aku berjanji aku tidak akan mengganggumu lagi” jawabnya pelan, kemudian berjalan keluar kelas setelah mengambil tas dari bangkunya.
Setelah beberapa detik Ardeki keluar dari ruangan kelas. Nila baru menyadari bahwa ia telah menyakiti hati pria itu. Kenapa ia begitu bodoh? Padahal jelas-jelas Ardeki telah menolongnya tadi? Kenapa ia tidak begitu peka? Nila mengacak-acak rambutnya kesal dan merutuki dirinya sebagai gadis terbodoh didunia. Kenapa ia tidak mengakui bahwa ia menyukai saat Deki mengucapkan mereka berpacaran pada mantan pacarnya ditelepon? Padahal jika tidak ada Deki. Pria itu pasti akan terus menelpon Nila dan mengganggu hidup Nila, ia pasti akan terus menghujani Nila dengan telepon-telepon itu.

*

“Kau itu bodoh ya?” kata Liona setelah mendengar semua cerita dari Nila setelah mereka di cafeteria. Mereka berdua duduk berhadapan sambil menyantap makanannya. “Iya, aku memang bodoh” balas Nila pasrah.

“Baiklah, kita lupakan tentang kebodohanmu. Sekarang yang harus kita pikirkan adalah, bagaimana cara agar Ardeki memaafkanmu” kata Liona. Nila mengangguk. “Apa dia akan memaafkanku?”
Liona mengangguk yakin. “Kenapa kau begitu yakin? Kupikir ia sudah terlalu sakit hati dengan perkataanku tadi” kata Nila dengan nyali yang sudah menciut.

Bagaimana tidak, setelah kejadian itu Deki keluar dari kelas dan tidak masuk kelas selama beberapa mata kuliah. Nila berpikir bahwa pria itu sudah marah dan tidak ingin melihat wajahnya. Dan itu membuat Nila menjadi sesak dan membuatnya benar-benar ingin menangis.

“Kau bisa mempercayai ucapanku, feelingku itu selalu benar” ucap Liona dengan segala kesotoyannya.

“Tapi tadi ia tidak masuk kelas, ia pasti tidak ingin melihat wajahku lagi.”

“Tidak, ia hanya ingin menenangkan pikirannya. Ia butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya karena perkataanmu itu ‘kan?” Liona menanggapinya dengan bijak. Nila hanya mengangguk mengerti. Ia berharap perkataan dari Liona itu benar. Ia sungguh tidak siap jika Ardeki akan benci padanya. Apa rasanya jika orang yang kita cintai malah membenci kita? Pasti sangat mengerikan.

“Nila!” sebuah seseorang memanggil Nila. Sebenarnya Nila tau siapa yang memanggilnya ini. Tapi ia masih menjernihkan pikirannya. Ia masih belum percaya bahwa yang memanggilnya barusan adalah Deki.

“Nil, Deki manggil tuh” Liona mencoba menyadarkan Nila yang masih belum percaya. “Aku tidak salah dengar kan?” tanya Nila tidak percaya. Liona menggeleng. Kemudian melirik kearah Deki yang sekarang sudah duduk disamping Nila.

“Kenapa?” tanya Nila sewajarnya. Deki memberikan sebuah buku berwarna hijau milik Nila yang sempat ia pinjam kemarin.

“Ini bukumu. Terima kasih ya” kata Deki tersenyum manis. Senyuman yang mampu membuat Nila ikut tersenyum kemudian mengangguk. Melihat raut wajah Deki, entah kenapa Nila merasa yakin bahwa pria itu sudah tidak marah lagi padanya. Semangatnya kembali naik.

“Laporan Akhirmu sudah selesai?” tanya Nila memulai pembicaraan diantara mereka. Sementara Liona hanya menahan senyum melihat dua orang berbeda jenis dihadapannya.
Deki menggeleng menjawab pertanyaan Nila. “Loh kenapa? Bukannya lusa laporan ini sudah harus selesai?” Nila heran. “Aku tidak bisa mengerjakannya. Rumusnya bikin pusing semua” jawab Deki. Nila tertawa.

“Perlu dibantu?” tawar Nila. Mendengar kata itu Deki tersenyum kembali. “Iya, kalau tidak merepotkan”

“Ehem” Liona berdeham menyadari dirinya hanyalah dianggap sebagai obat nyamuk oleh mereka berdua. Sontak Nila dan Deki mengalihkan pandangan kearahnya. “Oke, kalian terusin aja.. aku harus pergi” kata Liona tersenyum

“Hah? Mau kemana kau?” tanya Nila. “Mau kemana yaa, hahaha… aku tau diri untuk tidak mengganggu kalian. Aku akan bersama yang lain. Ohya, ingat. Kita masih ada satu kelas lagi” kata Liona menyambar tas berwarna birunya kemudian berjalan setelah mengedipkan sebelah matanya pada Nila. Pria disamping Nila hanya tertawa kecil melihat kepergian Liona.

*

Ardeki dengan serius mendengarkan semua penjelasan tentang laporan akhir itu. Setidaknya, Nila lebih mengerti tentang ini dibanding dirinya. Ia harus merekam suara Nila kedalam otaknya jika ingin menyelesaikan laporan ini.

“Jadi, kau harus menyalin ini kemudian memasukan semua data dilembar datamu kedalam tabel ini. ohya jangan lupa, semua datanya harus kau hitung sigmanya. Mengerti?” jelas Nila diselingi sebuah pertanyaan diakhir kalimat.

Ardeki mengangguk mengerti. Ia sudah mengerti cara perhitungannya. Dan itu semua karena Nila.

“Bisa berikan aku cara perhitungannya? Setidaknya 1 nomor saja?” pinta Deki dengan wajah memelas, dan membuat Nila tidak bisa menolaknya. “Baiklah.. hanya 1 kan?”
Deki mengangguk. Nila memberikan semua penjelasan dengan sabar disamping Ardeki, dan beberapa kali menghitung untuk mencari hasilnya.  Sesekali Ardeki bertanya dan Nila menjawabnya. Setelah 30 menit Nila membantu mengerjakan Laporan akhir milik Ardeki, pria itu berkata “Aku sudah mengerti. Semoga semuanya bisa dikerjakan dalam waktu 2hari”

Nila tersenyum manis “Tentu saja kau bisa” katanya memberi semangat. “Terima kasih ya” ini kedua kalinya Ardeki mengatakan kalimat itu untuk Nila. “Sama sama” timpal Nila.

Beberapa detik mereka berdua terdiam. Nila memutuskan untuk membuka pertanyaan diantara mereka. 
“Kau tidak marah padaku ‘kan?” tanya Nila takut-takut. Ardeki menggeleng “Tidak, kenapa aku harus marah?”
“Mengenai kemarin itu, aku benar-benar tidak sadar. Kata-kataku terlalu lepas kendali”
“Tidak apa-apa, aku tau sikap gegabahku itu memang keterlaluan. Tapi setidaknya, aku memang tidak ingin melihat kau gusar menjawab telepon dari pria itu”
“Apa dia masih mengganggumu?” Deki bertanya. Nila menggeleng. “Karena ucapanmu kemarin mungkin ia tidak akan menggangguku lagi” jawab Nila. Kali ini Deki tersenyum kemudian mengusap puncak kepala Nila. “Baguslah”

Tiba-tiba Nila merasa wajahnya menghangat. Bukan, bukan karena suhu udara memanas. Tapi ini karena perlakuan Ardeki barusan yang benar-benar membuat Nila merasa menjadi gadis beruntung di dunia ini. Setidaknya hal kecil yang barusan Deki lakukan adalah hal yang belum pernah ia rasakan.

Apa mungkin aku termasuk gadis istimewa baginya?

Tanpa sadar Nila tersenyum tipis. “Ayo kita kekelas” ajak Deki. “Tunggu, bukankah kalau kita kekelas bersama. Pacarmu akan marah?”

“Pacar? Siapa?” tanya Deki heran. “Hum, waktu itu aku melihatmu bersama Nandin. Bukankah dia pacarmu?” Nila bertanya, pertanyaan itu disambut tertawaan oleh Deki “Siapa yang bilang kita berpacaran?”

“Loh, jadi kalian tidak?”
Ardeki menggeleng. “Tidak” entah kenapa suara Ardeki barusan terdengar merdu ditelinga Nila. Ia mengatakan bahwa ia dan Nandin tak ada hubungan apapun. Nila merasa ia kembali mendapatkan sebuah penyemangat.

Ardeki meraih tangan Nila kemudian menggandengnya berjalan ke kelas. Satu perlakuan Ardeki yang kembali membuat jantung Nila berdebar dan membuat pipinya mengeluarkan sebuah semburat merah. Ia tak bisa menahan rasa senangnya kali ini. Beberapa orang melihat Ardeki dan Nila sepanjang koridor. Mereka berdua terlihat seperti orang yang sedang berpacaran. Baik Nila maupun Deki sama sekali tidak merasa risih mendapat perhatian dari beberapa orang yang melihatnya sepajang koridor kampus.

“Hei, kenapa dari tadi kau itu tersenyum mulu?” tanya Ardeki, menyadari Nila yang belum juga menghapus senyumannya dari wajahnya itu.

“Tidak, aku hanya sedang . Kurasa aku sedang jatuh cinta. Jatuh cinta itu menakjubkan yah?”
Ardeki tersenyum lebar, masih dengan menggenggam erat tangan kanan Nila. “Hahahaha… boleh aku tau dengan siapa kau jatuh cinta?” tanya Deki.

Dengan kau. Desis Nila dalam hati. Tapi ia tidak mungkin mengatakan itu pada Ardeki sekarang kan?

“Hehe itu rahasia. Apa kau pernah merasakan jatuh cinta? Atau jangan-jangan sekarang kau juga merasakan jatuh cinta?” bukannya menjawab pertanyaan Ardeki. Ia malah balik bertanya ke pria itu.

“Itu rahasia juga hehe” Ardeki menjulurkan lidahnya pada Nila. Oh tuhan, demi apapun ia sangat menyukai suasana seperti ini bersama Deki. Meskipun sekarang ia tidak memiliki pria itu atau belum memiliki, tapi rasanya ia mampu menyenangkan rasa hatinya.

“Memangnya seperti apa gadis yang kau suka itu?”

“Hum, dia.. dia cantik, imut dia juga selalu mengerti aku. Walaupun aku sempat dibuat kesal olehnya. Dia juga senantiasa menemani dan mengajariku disaat aku kacau” jelas Ardeki pendek.

“Kau sudah mengatakan kalau kau menyukainya?” tanya Nila lagi. “Belum, tapi segera”
Entah kenapa, atmosfir indah yang baru saja ia rasakan tadi kini hancur akibat kata-kata Deki ditelinga Nila.

Ia merasa semangatnya kembali menciut. Dari semua rincian tentang gadis yang disukai oleh Deki itu bukan dirinya. Ia sangat yakin itu. Menurutnya, ia tidak cantik ataupun imut. Ia tau kalau ia selalu membuat Deki kesal bukan pernah. Langkah Nila terhenti. Menyadari Nila berhenti Deki menoleh kearahnya dengan pandangan bingung. “Kenapa? Bukankah kita harus kekelas?”

“I..iya..kau.. kau duluan saja dulu, aku harus ke toilet” jawab Nila terbata. Deki sadar ada yang tidak beres pada gadis itu.

“Baiklah, perlu aku antar?”

“Tidak, tidak.. kau duluan saja. Bilang pada Liona kalau tunggu aku dikelas saja, aku tau dia akan menyusulku kalau kau tidak mengatakan itu” kata Nila akhirnya setelah ia membalikan tubuhnya dan berjalan berbanding arah dengan Deki

Pria itu hanya menatap bingung punggung Nila yang semakin menjauhinya. “Ada apa dengannya?” gumam Deki penasaran.

*

Di toilet, Nila memandang lurus wajahnya kearah pantulan cermin dihadapannya. Cermin itu mengobyekan dirinya yang sedang berdiri. Ia membasuh wajahnya dengan air di wastafel itu.

“Fuhh.. apapun yang kulakukan memang tidak bisa membuatnya menjadi milikku” lirih Nila menatap wajahnya yang begitu menyedihkan dicermin.

Dadanya terasa sesak. Ia merasakan aliran cemburu didirinya saat Deki mengatakan bahwa ia menyukai gadis lain dan itu bukan dirinya. Kenapa ia bisa begitu yakin kalau itu bukan dirinya? Bukankah Ardeki tidak memberi tau siapa gadis itu ‘kan?

Tak disadari air mata sudah berada diujung matanya. Semakin lama air mata itu turun dan membuat aliran sungai kecil dipipinya. Tidak. Ia tidak boleh menangis hanya karena pria itu.

“Jangan menangis … jangan menangis” ucap Nila seolah mensugesti dirinya agar tidak menangis. namun kendali pikirannya mencegah. Ia seakan tidak bisa mengendalikan air matanya yang sudah begitu deras membanjiri pipinya. Ia mengambil kasar beberapa tisu yang tergantung ditembok dekat wastafel untuk menghapus sisa-sisa air mata diwajahnya. Tapi tetap saja, ia tidak akan bisa berbohong pada Liona kalau ia habis menangis.

Iya, iya janji pada dirinya sendiri akan menghapus semua rasanya ke Ardeki. Ia akan mengubur dalam-dalam rasa cintanya pada pria itu. Dan lagipula, untuk apa dia menyukai pria itu kalau akhirnya ia akan sakit hati melihat Ardeki bersama gadis lain. Melihat pria itu berjalan bersama Nandin saja ia merasa sangat cemburu.
Sudah cukup! Iya, aku akan mengakhiri semua ini.

*

Pagi itu Nila sama sekali tidak bersemangat. Ia jalan dengan gontai dikoridor kelas. Ia juga sama sekali tidak mengerti, kenapa tubuhnya susah sekali untuk diajak semangat. Wajah Nila hari ini pun tidak secerah kemarin-kemarin, sejak tadi ia belum mengeluarkan seulas senyum. Wajahnya terlihat sangat stress. Ia masuk kekelasnya. Dan ia berharap ia tidak bertemu dengan pria yang sama sekali tidak ingin ia temui. Siapa lagi kalau bukan Ardeki.

Nila mengerutkan keningnya. Ia melihat tas Liona berada ditempat duduknya tapi kemana orang itu. Dan tak biasanya sahabatnya itu datang lebih cepat darinya. “Kemana dia?” tanyanya pada diri sendiri. Ia juga melihat beberapa teman-temannya yang sudah datang. Tadinya ia berniat untuk bergabung bersama yang lain. Tapi tidak jadi. Lebih baik ia menunggu sahabatnya itu datang saja.

Nila menunggu temannya dengan sabar. Ia juga sudah mengirim pesan pada Liona agar cepat kekelas. Ah, ia lupa. Siapa tau Liona sedang bersama Kakak senior impiannya itu. Iya iya tidak seharusnya aku mengganggu. Nila menggelengkan kepalanya membayangkan Liona benar-benar menemui Senior tingkat 4 impiannya itu.


Kelas sudah hampir ramai, tapi belum juga ia melihat sosok Liona datang menghampirinya. Ia takut sahabatnya itu akan terlambat. Apa ia tidak tau sebentar lagi Dosen Herder itu akan datang?

Nila yang khawatir akan nasib sahabatnya langsung mengambil handphone dan mencoba menelpon gadis itu. Namun telponnya sama sekali tidak diangkat. Ia hanya mendengar suara operator yang mengatakan bahwa ia harus mencoba lagi. Sudah berkali-kali ia mencoba menelpon. Tapi tetap saja.

Nila berdiri kedepan kelas dengan gusar. Ia mondar-mandir tidak karuan disana. Eh tunggu.. bukankah hanya dua orang yang belum hadir dikelas. Liona dan…Ardeki?
Kenapa bisa begitu? Apakah mungkin terjadi Sesuatu diantara mereka? Ketakutan menyerbu dirinya. Ia takut terjadi sesuatu pada mereka.

Tak beberapa lama kemudian ia merasakan tubuh belakanganya ditabrak oleh seseorang sehingga menyebabkan handphone-nya jatuh kelantai. Nila memungut handphone-nya dan membalikan tubuhnya untuk melihat siapa orang itu. Ia langsung heran melihat gadis yang sekarang sudah dihadapannya. Itu sahabatnya, Liona. Gadis itu sepertinya habis berlari, nafasnya begitu memburu.
“Liona? Kenapa ngos ngosan begitu?” tanya Nila heran. Yang ia tau, tidak ada mata kuliah olahraga. Memangnya anak SMA. “Kau habis berlari huh?” tanyanya lagi.

Liona membungkukan badannya sambil memegangi kedua lututnya yang terasa lelah.
“Kau kenapa sih?” Nila terus bertanya heran pada Liona. Itu terdengar sedikit berisik bagi Liona.

“Itu.. si..Ar..” Liona berkata diiringi nafas yang masih ngos-ngosan.

“Siapa?”

“Ardeki!! Dia kecelakaan.. ayo kita kerumah sakit” perkataan Liona benar-benar membuat Nila shock. Ia terkejut bukan main. Rasanya jantungnya ingin menembus dadanya. Air mata pun sudah siap akan meluncur kepipinya. “Ayo kita ke rumah sakit” tanpa pikir panjang Liona langsung menarik tangan Nila dan berlari menyusuri koridor gedung bersama-sama.

Kecelakaan? Nila masih belum bisa percaya apa yang barusan Liona katakan.
Katakan ini bohong! Katakan ini bercanda!

Tapi disaat seperti ini bukan untuk bercanda. Ia juga melihat raut wajah Liona yang sangat serius. Ya tuhan, ia takut ia tidak bisa melihat Ardeki lagi. Ia takut ia akan kehilangan Ardeki dan tidak akan melihat senyuman dari pria itu lagi. Sekelebat pikiran buruk itu ada di otak Nila. Ia tidak mau! Ia sama sekali tidak siap jika hal itu terjadi. 

Nila berlari lebih cepat dibanding Liona. Namun ketika berada diluar gedung ia menyadari bahwa Liona menghilang. “Kemana Liona?” tanyanya dalam hati. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Padahal Liona lah yang tau kemana ia harus menemui Deki yang habis kecelakaan. Tanpa berpikir panjang, ia langsung melanjutkan lariannya kearah lapangan dikampus, hingga ia sampai di waterfall di kampusnya. Napas Nila memburu, pandangan matanya masih mencari kemana Liona pergi. Ia tidak mungkin kerumah sakit sendiri.

Karena ia tidak tau dimana. Ia masih mencari-cari dimana Liona. Gadis itu mengerutkan keningnya ketika ia sosok seorang pria yang sama sekali tidak asing baginya. Pria itu sedang memadang kearah waterfall bikinan kampusnya itu. “Itu kan?” Nila sedikit tidak percaya apa yang matanya lihat. Matanya memang minus. Tapi ia yakin, bahwa itu adalah pria yang sudah membuatnya khawatir.

Tanpa pikir panjang lagi, Nila langsung menghampiri pria yang membelakanginya itu kemudian menarik bahu pria itu agar membalikan badannya. “Ardeki? Apa yang kau lakukan disini?” Nila heran seheran-herannya. Bukankah pria itu kecelakaan?

“Memangnya aku tidak boleh melihat waterfall dikampusku?” Ardeki tersenyum misterius kearah Nila yang masih terheran.

“Bukankah kau…kecelakaan? Oh, bagus.. ini pasti kerjaan Liona!” Nila yang sadar dirinya sedang dibohongi langsung menghela nafas kasar. Ia kesal. Kenapa Liona harus begitu membuatnya kesal hari ini.

“Ini semua bukan salah Liona” kata Deki yang membuat Nila semakin terheran. “Apa? Jadi kau juga bersengkokol” Nila menggigit bawah bibirnya menahan air mata yang sudah akan jatuh kepipinya. Ia meninju lengan Deki dengan main-main. “Kau bodoh! Apa kau tidak tau betapa khawatirnya aku saat Liona mengatakan kau kecelakaan hah? Kau tidak tau aku tidak bisa berpikir apapun selain kau hah?” cecar Nila kesal. Bahkan disaat kesal seperti ini Deki masih bisa tersenyum. “Aku minta maaf” ucapnya.

“Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan lagi, aku sudah tidak tahan dengan keadaan ini. Aku tidak bisa hanya melihatmu saja tapi tidak memilikimu” mendengar kata-kata itu Nila mengangkat alis. “Apa maksudmu?”

“Kau tidak mengerti?” Nila menggeleng polos. Ardeki tertawa. Pria itu merogoh kantung celananya kemudian membukanya. Sebuah gelang berwarna putih dengan tiara-tiara kecil bertebaran sehingga membuat kesan elegan di gelang itu. “Aku tau kau bukan gadis yang biasa memakai barang seperti ini, tapi aku hanya ingin member ini dan mengatakan…” Deki menahan kata-katanya sejenak.

Jantung Nila sudah loncat tidak karuan mendengar itu. Ia hanya menunggu lanjutan kata-kata dari pria itu.

“Jadi gadis yang kau suka itu?” Nila bertanya sebelum Deki melanjutkan kata-katanya. Ardeki mengangguk.

“Gadis cantik, imut dan juga selalu mengerti aku. Walaupun aku sempat dibuat kesal olehnya. Dia juga senantiasa menemani dan mengajariku disaat aku kacau itu… adalah kau Nila”  ucap Ardeki tulus menjawab pertanyaan Nila. Tanpa bisa ia kendalikan, air matanya sudah jatuh dipipinya, namun ia tak berusaha menyekanya.

“Nila, Would you be mine?” tanya Ardeki memandang lurus kemata Nila yang sudah penuh air mata. Dan kali ini ia harus merelakan air matanya jatuh ke pipinya. “Oh, I can’t believe it” Nila tak kuasa menahan gejolak dihatinya untuk menjawab pertanyaan Deki. Tapi ia harus cepat menjawab agar pria itu tidak berubah pikiran. Nila mengangguk diiringi perkataan “Yes, I would” jawabnya tersenyum manis. Senyuman yang paling indah yang pernah ia tunjukan pada Ardeki. Pria itu beralih melingkarkan gelangnya ditangan mungil gadis itu.

Jarak wajah mereka hanya beberapa centi saja, didekat waterfall itu mereka sudah mengatakan perasaan mereka. Diantara jatuhan air-air itu. Ardeki tersenyum geli melihat gadis itu kemudian beralih menyeka air mata gadis itu dengan jari-jarinya. “Jangan menangis” katanya. “Aku mencintaimu” Ardeki mengatakan itu dengan seluruh isi hatinya. Nila mengangguk. “Aku tau”

“Kau juga mencintaiku?” tanya Ardeki, Nila mengangguk lagi. “You belong with me, Nila” kata Ardeki akhirnya. Ia meraih tangan Nila kemudian menarik gadis itu dalam dekapannya. Nila bisa merasakan oksigen yang begitu tenang saat Ardeki memeluknya. Ardeki mengusap puncak kepala gadis itu memberikan kenyamanan luar biasa pada Nila.

Ardeki memeluk Nila. Tidak, keduanya saling berpelukan. Tanpa peduli beberapa pasang mata melewatinya dan melihatnya. Tanpa peduli setiap orang disana memandangi mereka.
Kali ini mereka berdua sudah yakin. Mereka tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi mereka saling mencintai.

THE END

maaf kalau jelek T.T saya masih harus terus belajar :')
sorry for everything
leave a comment please :D

0 komentar:

Posting Komentar

 

Icha's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review