Jumat, 18 Mei 2012

My Real Princess | Part 1

Diposting oleh Icha Elias di 02.34 0 komentar

Tittle : My Real Princess

Author : Icha Elias or Ummu Aisyah (@eliasicha on twitter)

Length : Series

Cast : Jenny Smith, Marcus Cavendish and all others

PS : cerita bersambung pertama gue, mohon dikomen.. maaf jelek banget m(_ _)m *deep bow*

“Huh~” Jenny mendesah kasar ketika melihat dosen matematikanya telah berjalan meninggalkan kelasnya. Begitu membosankan pikirnya. Ia begitu kesal ketika dosennya itu menjejalkan beberapa rumus-rumus matematika yang sangat amat tidak ia mengerti. Matematika merupakan salah satu pelajaran paling ia benci diantara semua pelajaran. Bahkan ia berani bersumpah, kalau ia akan menghapus pelajaran matematika jika ia sudah menjadi orang penting nanti. Pikiran yang begitu kekanakan bukan? -_-

“Ayo kita pergi dari sini, aku rasa aku ingin muntah” kata Jenny mendramatisir. “Kau terlalu berlebihan Jen” balas Shella.

Jenny sudah membereskan beberapa bukunya dimeja untuk dimasukkan kedalam tas-nya. Tapi tiba-tiba hal yang paling ia takutkan terjadi. “Tunggu, kalian jangan pergi dulu.. aku akan memberikan nilai matematika dari Mr. Underhill kemarin” kata Marcus yang berhasil menghentikan langkah kedua gadis itu. “WHAT????? Nilai? Nilai apa?” Jenny terkaget bukan main mendengar Marcus mengatakan ‘Nilai Matematika’ barusan. “Nilai ulangan matematika kemarin” jawab Shella. Keringat dingin membanjiri tubuh Jenny. Layaknya melihat hantu, ia sangat amat takut melihat nilainya dilihat oleh orang lain. Dan kali ini Marcus bilang, ia akan membagikan nilai? Dan apa artinya? Itu artinya, Marcus akan mengetahui kebodohannya dalam menghitung.

“Shella Wild” panggil Marcus kemudian memberikan selembar kertas nilai untuk Shella. Shella hanya tersenyum dan berkata “Terima Kasih”

Jenny yang berada disamping Seara hanya gelagapan dan mengacak-acak rambutnya. Ia sungguh tidak sabar untuk merebut kertas nilainya dari cengkraman Marcus agar ia tak melihat nilainya.

“Jenny Smith” panggil pria itu namun pandangan matanya tertuju pada kertas yang ia pegang –milik Jenny- alisnya berkerut melihat angka yang tertulis disana. “Hah? Dua puluh?” ucapnya.  Jenny berjalan kearah Marcus dengan kesal dan merebut kertas miliknya dari cengkraman tangan Marcus. “HEH! Kenapa kau seenaknya melihat nilai orang hah??” cecar Jenny tak sabar. “Nilaimu dua puluh huh? Wow, aku baru kali ini melihat nilai sekecil itu” ujar Marcus tanpa ekspresi yang sama sekali tidak merasa bersalah. Apa dia bilang? Ia baru pertama kali melihat nilai begini?

Jenny hanya melemparkan pandangan kesal padanya. “Sombong sekali kau! Memangnya berapa nilaimu huh? Aku yakin pasti tidak berbeda jauh dariku kan?” balas Jenny tak mau kalah. “Kau benar-benar ingin tau nilaiku?” tanya Marcus, Jenny mengangguk yakin.

“Ehem.. Sembilan puluh lima” ucap Marcus penuh penekanan. Jenny tau, nada itu adalah nada mengejek karena nilainya sangat jauh berbeda. Sebenarnya Jenny sangat amat tau bahwa pria itu selalu sempurna disetiap mata kuliah, apalagi dengan Matematika. Bisa dibilang Marcus adalah satu-satunya pria yang akur dengan Matematika dikelasnya. Dan bodohnya! Kenapa gadis itu malah bertanya berapa nilai ulangan yang didapat Marcus. Jenny menghela nafas mencoba merendam amarah didirinya.

“Well, nilaiku masih lumayan meningkat dari sebelumnya” kata Jenny pelan. Ia mencoba membela dirinya didepan Marcus. “Meningkat?” Marcus mengangkat alisnya. Dalam hatinya ia berkata. Segitu meningkat? Bagaimana nilai dia sebelumnya. Tanpa disadari Marcus tersenyum tipis melihat kelakuan gadis dihadapannya.

“Kenapa tersenyum begitu?!”

“Tidak tidak..” Marcus menggeleng masih dengan tersenyum memandang Jenny. “Oya, tolong jangan beritahu siapapun nilaiku ini ya” bisik Jenny diteling Marcus.

“Pentingkah orang bertanya nilai meningkatmu itu?”

“Aishh..  kau ini!” gerutu Jenny  kesal. Bagus, hari ini ia sudah dibuat kesal setengah mati oleh pria yang menjadi idola dikampusnya ini. Dengan sebal, gadis itu berjalan menjauh dari Marcus dengan gerutuan panjang pendek kemudian menarik Shella dari kelas yang telah membuatnya mumet itu. Sementara pria itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

***

Jenny menghempaskan tubuhnya dikursi cafeteria kampusnya diikuti dengan Shella tentunya. Mereka berdua telah memesan dua buah cappuccino untuk menemani istirahat mereka. Shella yang sedang membaca komik bisa melihat sebuah raut tak enak yang dikeluarkan oleh sahabatnya.

“Hei, kenapa wajahmu jelek begitu?” tanyanya langsung, Shella hanya memberikan ekspressi herannya setelah membawa embel-embel ‘jelek’ dikalimat pertanyaannya tadi.

“Aish, memang kapan aku cantik?”

“Aku serius! Apa karena nilaimu?” tebak Shella. Sebetulnya tebakan Shella sangat amat benar. Itulah yang membuat gadis itu dari tadi gelisah, sebenarnya bukan karena nilai saja. Jenny masih bisa saja untuk santai dengan nilainya. Tapi tadi ia baru saja menerima kenyataan bahwa ada seorang pria tampan melihat nilainya! Okay, mungkin itu berlebihan. Seharusnya ia biasa saja karena nilai itu adalah hasil dari jerih payahnya bukan akibat menyontek dari sebelah kanan dan kirinya. Iya, seharusnya ia harus sedikit…bangga.

Jenny tidak menjawab pertanyaan Shella, ia hanya menerungkup diatas meja dengan menghentakan kakinya kencang-kencang dilantai.

“Memangnya berapa nilaimu?” tanya Shella lagi. Entahlah kenapa hari ini Seara begitu banyak bertanya. Itu terlalu berisik bagi Jenny apalagi ia bertanya mengenai MATEMATIKA. Itu hal yang sangat ia benci. Sangat.

Jenny mengangkat kepalanya kemudian mengambil kertas dari tasnya dan menunjukannya tepat didepan mata Shella. Mungkin ia sedang malas untuk menyebutkan nominal nilainya itu.

“Waw” mata Shella membelalak. Sebenarnya Jenny tau, sahabatnya itu pasti sedang terkejut melihat Jenny yang tak pernah ada peningkatan dalam nilainya.

“Ehem, baiklah.. aku tak akan bertanya lagi! Tapi izinkan aku tanya sekali lagi..okeh, aku janji untuk yang terakhir. Lalu kenapa kau begitu lesu? Bukankah itu hal yang biasa?”

Jenny menarik nafas. Ia masih bisa menjaga emosinya untuk Shella kali ini. Padahal tangannya sudah sangat gatal ingin mencekik leher Shella agar tidak berbicara lagi.

“Tidak, bukan.. bukan masalah itu. Mungkin ini agak sedikit konyol, tapi aku..” Jenny menghentikan kata-katanya setelah ia melihat seorang pelayan di cafeteria mengantarkan 2 gelas cappuccino dan makanan kecil. Mencegah agar pelayan itu tidak menguping apa yang sedang ia bicarakan bersama Shella. Dan tentu saja, gadis itu telah menyimpan kembali kertas jawaban beserta nilai ulangan matematika tadi kedalam tas-nya. Intinya ia tak mau ada seorang pun yang tau ia lemah di matematika!

“Terima kasih” ucap Shella setelah pelayan itu memberikan pesanan mereka. Setelah situasi aman, Jenny kembali membuka mulutnya dan meneruskan kata-katanya tadi. “Eum, sampai mana tadi? Ahya.. aku.. hanya tidak ingin orang-orang tau aku bodoh dalam matematika. Kau juga pasti tidak mau kan kalau temanmu itu dikucilkan dikelas hanya karena nilai jelek itu”

“Oh..” Shella mengangguk mengerti tapi kemudian ia bertanya lagi. “Kenapa? Bukankah-”

“Marcus” potong Jenny cepat. “Marcus?” Shella tambah heran.

“Dia melihat nilai dewa-ku itu” jawab Jenny singkat, ia menekankan kata dewa dikalimatnya yang artinya jauh berbanding terbalik dengan aslinya. “Hahahaha… jadi itu” Shella tertawa geli mendengar jawaban Jenny. Shella merasa Jenny terlalu percaya diri. Pria macam-macam Marcus tak akan pernah melakukan hal yang tidak penting begitu.

“Kau tenang saja, Marcus tidak akan membocorkan nilai dewa itu” kata Shella masih dengan tersenyum geli. “Yah, semoga” tanggap Jenny malas. “Oh.. aku tidak suka topik ini! kita ganti topik sekarang juga!” protes Jenny.

Shella menggoyangkan telunjuknya sok intelek kemudian ia menunjuk kearah belakang Jenny, seolah menyuruh gadis itu untuk menoleh.

“Hah? Apa?” Jenny heran. “Lihat gadis itu” suruh Shella dengan matanya. Arah pandang Jenny mengikuti Shella yang sedang melihat seorang gadis. Ia membuka mata lebar-lebar ketika ia melihat gadis itu berjalan kearahnya. Gadis itu.. cantik. Sangat cantik. Ia mempunyai senyuman yang amat sangat mematikan bagi para pria, rambutnya yang hitam tergerai punggungnya. Membuat aura gadis itu semakin terlihat seperti seorang.. Dewi. Iya, seorang dewi atau mungkin Princess. Apalagi didukung dengan pakaian yang sangat amat feminism dan sangat cocok dengan lekuk tubuhnya yang sempurna. Jenny pun hampir menelan ludah melihat mahluk itu melintas dihadapannya. Untunglah, Jenny masih normal.

Jenny sempat melihat gadis dewi itu melihat kearahnya sekilas. Dan beberapa detik kemudian gadis dewi itu memilih tempat duduk dimeja tepat didepan meja mereka. Gadis dewi itu menarik kursi dan duduk disana setelah menyibakan sedikit rambutnya kebelakang.

“Hoy!!” Shella melambaikan tangannya didepan wajah Jenny yang sedari tadi menatap gadis dewi itu  tanpa berkedip. “Kau sudah melihatnya kan? Bagaimana menurutmu?” tanya Shella pada Jenny yang sepertinya masih belum terlalu konek akibat pesona sang dewi.

“Goddess” jawab Jenny singkat. Sepertinya Jenny benar-benar sudah terlalu silau karena melihat melihat aura sang dewi itu. Shella tersenyum lalu mengangguk. “Hem, tentu saja. Dia itu kekasih Marcus Cavendish” terang Shella kemudian menyeruput cappuccino miliknya.

UHUK! Jenny yang juga sedang meneguk cappuccino-nya harus mendapat resiko tersedak akibat pernyataan Shella.

“HAH???? Siapa??? Dia kekasih Marcus Cavendish? Marcus yang sombong tingkat dewa itu??!!!” kata kaget sedikit berteriak tidak percaya. Shella saja hampir terlonjak kaget mendengar teriakannya.

“Jenny Smith! Pelankan sedikit suaramu!! Bagaimana kalau sang Goddess tau kita membicarakannya?” Shella mencoba mengontrol emosi Jenny karena Shella atau bahwa gadis dewi itu sedang melirik ke mejanya.

“Oke..” timpal Jenny “Sekarang kau ceritakan padaku, kenapa kau bisa tau mereka berpacaran? Dan kenapa aku bisa tidak tau?”

“Em, sepertinya kau benar-benar ingin tau yaa?” suara Shella begitu menggoda dan begitu menggelitik ditelinga Jenny. Menjijikan -_-

“Kau terlalu sibuk dengan urusanmu dan tidak peduli kan..honey~ hahaha…” kata Shella. Kemudian menjelaskan

“Aku mendengar dari gosip saja sih. Mereka berdua berpacaran sejak dua minggu yang lalu, aku juga bingung kenapa bisa terjadi. Tapi yang jelas, sepertinya Marcus yang begitu mencintainya” jawab Shella sedikit panjang.

“Oh” Jenny membulatkan mulutnya. Hanya itu yang bisa ia balas pada Shella. Rasanya hatinya terlalu malas untuk memberi komentar tetang gadis dewi itu. Ah, biasa saja.. tidak begitu dewi kok. Gumam Jenny dalam hati sambil melihat kearah gadis yang berada dibelakang Seara.

“Well, dia pasti punya nama kan? Aku tidak sudi memanggilnya dengan sebutan Goddess terus menerus” Jenny bertanya pada Shella. Padahal sebenarnya ia memang ingin tau nama gadis itu. Tapi alasan itu cukup tepat. Panggilan Goddess itu tampaknya terlalu berlebihan.

“Hahaha.. alasanmu diterima”

“Aku tidak sedang beralasan!”

“Iya, iya.. she’s Joanna Louis. Satu jurusan dengan kita, tapi menurutku dia gadis yang pintar. Kudengar ia sudah bisa menguasai bahasa diatas basic –aku lupa namanya-itu, dan aku sama sekali belum bisa bahasa itu”

“Really?” tanya Jenny menaikan alis, ia tampak tak percaya dengan pernyataan Shella yang sepertinya terlalu berlebihan. “Kau tidak melebih-lebihkan kan?”

Shella menggeleng.

Yah, memang sih.. gadis itu jauh sekali denganku

Sekarang Jenny mengangguk. Ia mengakui bahwa ia sangat tidak sebanding dengan Joanna Louis. Sangat tidak sebanding. Apalagi jika membandingkan dengan otak. Otak standar Jenny tak akan mampu menyaingi Joanna.

“Sepertinya ia sedang menunggu Marcus”

“Menyedihkan sekali menunggu pria” timpal Jenny sinis kemudian menyesap cappuccino-nya. Shella hanya tersenyum mendengar itu.

“Sang dewa dari dewi datang” ucap Shella diiringi oleh pandangan mata yang menjurus kearah si dewa. Marcus Cavendish. Siapa yang tidak kenal pria ini? Pria yang sempat membuat Jenny kesal siang ini. Tapi pria ini juga yang telah membuatnya sinis kepada Joanna. Marcus adalah pria yang menurut gadis-gadis paling tampan sejurusan. Berlebihan? Memang. Jenny juga sedikit tidak setuju dengan pendapat teman-temannya yang sepertinya sudah menjadi penggemar si sombong Marcus itu. Selain otaknya yang pintar ia juga dikagumi karena karya-karya tulisnya yang selalu diacungi jempol oleh para dosen pembimbing. Mungkin sebetulnya Jenny agak sedikit iri dengan Marcus. Jenny sangat ingat kalau ia pernah berkata pada pria itu. “Bisakah kau mentransfer sedikiiiiiiiiiiit saja isi otakmu padaku? Aku akan mentraktirmu setiap hari jika kau memberikannya”

Bodoh bukan?

Marcus yang sedang berjalan santai ke meja Joanna mendapat tatapan dari beberapa pasang mata di café itu. Dan tentu saja semua tatapan itu ia dapat dari gadis-gadis. Tapi Marcus hanya berjalan dengan gaya cool-nya tanpa mempedulikan mata-mata kagum itu. Ia menarik kursi dihadapannya dan duduk tepat didepan Joanna.

Jenny hanya memutar bola matanya muak melihat kelakuan pria itu.

“Kurasa aku mual dan ingin pergi dari sini” kata Jenny yang sudah akan menyambar tas dan peralatannya untuk pergi dari tempat itu. Tapi Shella hanya memelototinya untuk tetap tinggal.

“Hish.. aku muak dengan Prince and the Princess itu Shella!”

“Duduk!” perintah Shella. Bagaikan tersihir, gadis itu menuruti kata-kata Seara dan akhirnya kembali duduk dibangkunya setelah menggerutu pastinya.

“Hei, mereka sangat cocok kan?” Shella tersenyum tidak jelas. Sementara Jenny hanya menggeleng cepat “Tidak! Aku muak!” balas Jenny ketus.

Walaupun sedikit muak, mau tidak mau ia harus melihat pemandangan dibelakang Shella. Ia bisa melihat Marcus dan Joanna dengan jelas dari sana. “Hem..” Jenny memandang Joanna dengan tatapan tidak biasa. Ia merasa, sepertinya ia sama sekali tidak asing dengan wajah itu. Tapi ia juga lupa dimana ia pernah melihat Joanna.

“Kenapa sepertinya aku merasa aku pernah melihat Joanna ya?” Jenny berkata.

“Dimana? Mungkin kau salah orang”

“Tidak, ia sama sekali tidak asing dimataku”

“Kau itu kan pelupa” timpal Shella santai.

“Aish.. aku yakin sekali itu Joanna” Jenny mengacak rambutnya kesal.

Jenny masih terus memandangi Marcus dan Joanna yang terlihat sedang berbincang. Entah kenapa gadis itu mulai tertarik dengan pembicaraan Marcus dan Joanna ketika ia mendengar kata ‘Putus’ dari mulut Marcus.

Jenny menyingkirkan anak rambutnya kebelakang telinga dan membuka telinga lebar-lebar agar apa yang barusan ia dengar benar. Karena kini, Marcus dan Joanna tampak seperti beradu argument. Mereka sama-sama egois dan tidak ada yang mau mengalah.

“Aku ingin kita sampai disini saja”

“Kita baru dua minggu berpacaran. Kenapa kau mau memutuskanku begitu saja? Aku tidak ingin kita begitu cepat, kau bisa menghancurkan reputasiku sebagai The Goddess”

“Aku tidak peduli dengan reputasi atau apapun. Yang kuinginkan adalah terlepas darimu”

“Apa?”

Jenny hanya menggeleng mendengar perbincangan sengit mereka. Cukup seru, pikirnya. Ia agak sedikit lebih tertarik untuk disini lebih lama.

“Aish.. dasar tidak punya harga diri” gumamnya tidak sengaja. Shella yang mendengar gumaman Jenny lalu bertanya “Apa? Siapa maksudmu?”

“Bukan. Bukan hehehe”

PLAKK!!!

Jenny terkejut ketika mendengar suara tamparan itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Joanna akan menampar wajah Marcus seperti itu. Kini ia bisa melihat Marcus memegangi pipi kanannya yang terkena tamparan Joanna. Mata Jenny membulat melihat Marcus dalam keadaan menyedihkan begitu. Seluruh mata kini tertuju pada bangku Marcus dan Joanna. Dengan refleks Jenny maju dari mejanya dan menghampiri meja sepasang kekasih itu.

“Jenny.. kau mau kemana?” Shella menarik tangan gadis itu mencoba mencegah. Namun itulah Jenny. Ia tidak bisa dicegah. “Jenny Smith! Kembali!” teriak Shella.

“Hei Nona! Apa kau tidak bisa mendengar bahwa Marcus telah memutuskanmu hah? Seharusnya wanita mempunyai harga diri yang tinggi. Kenapa kau marah –marah padanya padahal kau yang salah?!” kata Jenny ketus setelah tiba di tengah Marcus dan Joanna yang sudah berdiri dari tadi. Entah kenapa hatinya merasa tergerak melihat hal ini. Ia tidak bisa membiarkan sikap tidak adil dan keegoisan yang ada didiri sang dewi ini.

“Kau siapa ikut campur urusan kami?” tanya Joanna yang sudah menatap tajam kedua mata Jenny. “Aku bukan ikut campur urusan kalian. Tapi apakah aku bisa berdiam diri melihat sifatmu yang begitu egois huh? Apakah pantas menyebut dirimu dengan sebutan Goddess? Kau bahkan sama sekali tidak pantas untuk menjadi seorang wanita Ms. Louis” cecar Jenny panjang lebar. Ia benar-benar tidak suka dengan Joanna. Kilauan cantik dari Joanna Louis yang beberapa menit lalu ia lihat memudar akibat ulah Joanna sendiri.

Joanna geram mendengar Jenny mengatakan hal itu langsung didepan matanya. Ia mengangkat tangan kanannya bersiap untuk menampar wajah gadis itu. Tapi sebuah tangan seorang pria menahannya. “Jangan sembarangan menampar orang Joanna!” Marcus yang sedari tadi diam kini angkat bicara dan menahan tangan Joanna.

“Kenapa kau malah membelanya? Dia yang membuat keributan ini!” tukas Joanna tak mau disalahkan.

“Apa? Apa kau tidak sadar bahwa keramaian ini adalah ulahmu? Apakah kau tidak dengar kalau aku sudah memutuskan hubungan kita!” kata Marcus tajam. Joanna lalu melepas cengkraman Marcus ditangannya.

“Hei Marcus! Kenapa kau tidak membalas menampar dia? Dia kan sudah menamparmu” komentar Jenny yang masih berada diantara Marcus dan Joanna.

“Maaf, Ms. Smith kurasa kau memang terlalu mencampuri urusan kami”

“Apa?” Jenny melongo mendengar Marcus yang tadi ia bela malah mengatakan hal begini pada dirinya. Ia sama sekali tidak menyangka.

Shella yang hanya diam dari tadi dan cuma menyaksikan kini menghampiri ketiga orang itu dan menarik tangan Jenny dari tempat itu.

“Sedang apa kau disini. Ayo, kita pergi” bisik Shella yang sudah meraih tangan kiri Jenny dan menariknya.

“Kau itu menyebalkan sekali sih! Seharusnya aku tidak membelamu! Dasar pria sombong!!” gerutu Jenny pada Marcus kesal. Shella yang masih mencobanya menarik gadis itu dari kejauhan jadi kesusahan.

“Hish! Lepaskan aku Shella! Aku ingin mencabik-cabik Marcus!! Awas kauuu Mr. Cavedish!” omel Jenny tanpa henti, ia tak bisa berhenti mengomel sampai Shella membawanya pergi jauh dari café itu.

Sementara Joanna hanya tersenyum sinis melihat kepergian Jenny yang ditarik dengan susah payah oleh Shella. “Dasar gadis bodoh!” ejeknya, ia merasa puas setelah ia merasa ia menang dari Jenny.

“Setidaknya kau lebih memalukan darinya. Jenny benar. Seharusnya kau tak pantas untuk dijuluki Goddess.. Terima kasih atas pelajaran yang sudah kudapat darimu Ms. Louis” sahut Marcus kemudian ia berjalan meninggalkan Joanna setelah berkata “Cukup sampai disini, kuharap aku tidak melihatmu lagi” katanya diselingi senyuman. Marcus berlalu tanpa mempedulikan Joanna yang memanggil namanya berulang kali.

***

“Aaaaaaaaaaaaaaa” teriakan Jenny membahana keseluruh bagian rumah. Ia butuh sebuah tempat untuk melampiaskan kekesalannya. Ia ingin berteriak lebih kencang dari ini. Bagaimana bisa gadis itu dibuat kesal dua kali oleh Marcus Cavendish hari ini. Dan sekarang Jenny mulai curiga bahwa Marcus mempunyai hobi untuk membuatnya kesal setengah mati. Sekarang ia hanya bisa meninju bantal-bantal di ranjang tidurnya untuk melampiaskan kekesalannya.

Pertama, Jenny telah dibuat malu oleh Marcus karena nilai Matematika-nya yang sama sekali tidak mencapai setengah. Sejujurnya, nyali Jenny sudah menciut saat Marcus melihat nilainya. Dan kedua, Jenny telah dibuat malu oleh Marcus karena ia telah menjatuhkan harga dirinya di depan Joanna Louis. Gadis berjulukan Goddess itu. Bukan itu saja, tadi ia dipermalukan di café. It’s okay, kalau itu bukan café dan tidak dilihat banyak orang. Oh god, ia merasa sudah tidak punya cadangan wajah untuk dipakai saat ke café nanti.

“Jenny.. apa yang terjadi diatas?” tanya Ibunya yang sudah mengetuk pintu kamarnya. Mungkin ibunya terkejut mendengar suara teriakan anaknya tadi hingga wanita itu mengecek keatas.

“Tidak apa, Mom.. aku sedang.. berlatih.. yeah, berlatih menyanyi hehe” ujar Jenny beralasan tanpa beranjak dari tempatnya.

“Oh, baiklah.. kau lanjutkan saja”

“Oke”

Huf.. untung saja.

Jenny menghembuskan nafas lega ketika ibunya sudah menurunni tangga untuk kembali kelantai bawah. “Baiklah, mungkin besok aku harus menutup telinga rapat-rapat. Karena pasti banyak yang membicarakanku di cafeteria” ucapnya akhirnya kemudian kembali naik keatas tempat tidurnya.

***

Jenny berjalan ragu-ragu untuk masuk kedalam kampusnya. Ia sudah memikirkan apa saja yang akan terjadi. Menjadi gosip di universitasnya bukanlah hal yang bagus. Apalagi ia dikenal sebagai mahasiswi biasa saja dan tidak spesial bila dilihat dari manapun. Ia tidak cantik, tidak pintar, ceroboh dan tidak terkenal. Sangat amat biasa. Tanpa ada kelebihan dalam dirinya.

Dan kemarin ia sudah mencampuri urusan yang seharusnya tidak ia campuri. Semalam Jenny menyadari kesalahannya. Ia muak terhadap sikap Joanna tapi kenapa ia malah mencampuri urusannya. Oh.. kenapa ia begitu bodoh kemarin. Apakah ia harus meminta maaf pada Marcus? Ia harus berkata kalau ia menyesal? Jenny menggeleng cepat. Tidak, tidak akan! Aku tidak akan pernah minta maaf.

Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri ia sama sekali tidak akan meminta maaf pada Marcus. Bahkan ia sudah agak malas untuk melihat wajah Marcus. Ia tak mau. Sama sekali tidak mau! Tapi mau bagaimana lagi? Jenny tak mungkin bisa menghindar dari Marcus, mereka satu kelas. Tapi Jenny juga tak yakin Marcus akan menyapa lebih dulu. Apalagi setelah kejadian kemarin.

“Jenny….” Sebuah tangan menepuk bahu Jenny dan membuat gadis itu sedikit tergelak. “Hish.. kau ini mengagetkanku saja siiiih!” kata Jenny setelah berbalik dan melihat ternyata Seara lah yang telah melakukan hal itu.

“Hehehe. Sedang apa kau disini? Kenapa tidak masuk kedalam?” tanya Shella heran, tidak biasanya Jenny berada diluar kampus begini.

“Aku.. aku benar-benar malas untuk ikut kelas-kelas hari ini. Aku berniat pindah kuliah saja!”

“Apa???? Kenapa?? Lalu bagaimana denganku?”

“Azz.. aku benar-benar tak tau harus berekspresi apa nanti jika bertemu dengan Marcus” jawab Jenny to the point. “Hooww.. ternyata itu. Kau tidak perlu berekspresi macam-macam. Pasti karena hal kemarin kan?” tebak Shella.

Jenny mengangguk tanpa pikir panjang. “Yes. Aku benar-benar terlihat bodoh didepan Joanna”

“Tidak juga, justru Joanna telah menghancurkan julukannya sendiri. Dan kata-katamu ada benarnya juga. Seorang Goddess tak akan pernah berkata tanpa berpikir seperti kemarin kan?”

Jenny menaikan sudut-sudut bibirnya perlahan. Benar, jika ia benar seorang dewi. Ia pasti akan menjaga imej atau selalu terlihat anggun dalam keadaan apapun walaupun keadaan kepepet.

“Kau benar!” Jenny memamerkan jejeran gigi rapihnya pada Shella yang juga ikut tersenyum.

“Hahaha. Ayolah kita kekelas”

Mereka berdua berjalan menuju gedung dan kelas mereka dengan santai. Baru saja sampai didepan kelas Jenny sudah sangat yakin pasti Marcus sudah berada dikelas. Anak rajin seperti dia selalu datang tepat waktu.

Shella masuk kedalam kelas lebih dulu diikuti oleh Jenny dibelakangnya.

Dan tanpa diduga sebelumnya oleh Jenny. Marcus berada didepan pintu sebelum ia masuk kedalam. Alhasil, mereka berdua berhadapan dan mata mereka bertemu untuk beberapa detik. Saat itu juga Jenny merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. ia tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya saat berhadapan dengan seorang Marcus. Baru kali ini ia melihat wajah Marcus dengan begitu jelas dihadapannya.

Melihat Marcus yang tepat berada diwajahnya Jenny hanya mengeluarkan ekspressi tidak suka padanya lalu membuang muka padanya. Ekspressi yang sangat jutek yang pernah ia keluarkan. Mungkin sekarang Marcus berpikir bahwa Jenny telah sakit hati karena hal kemarin.

Jenny mempercepat langkahnya dan duduk dibangku disamping Shella. Ia bisa melihat kelas masih sepi. Tak ada siapapun kecuali Jenny, Shella dan tentunya Marcus didalam kelas.

“Jen..” panggil Shella tiba-tiba “Hm?” sahut Jenny agak malas.

“Antar aku ke toilet. Hehehe”

“Tidak mau! Toilet kan diujung sana, sama sekali tidak jauh! Kenapa harus diantar. Pergi sana!” kata Jenny jutek. Shella yang mendengar itu hanya mengerucutkan bibirnya. “Ish, sebentar saja”

“Tidak, Shella..”

“Hih.. yasudah aku pergi sendiri”

“Nah, begitu lebih bagus..” kata Jenny sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

Shella berjalan cepat kearah pintu kelas kemudian berlalu. Dan sekarang  yang tersisa didalam kelas hanyalah Jenny dan Marcus. Memang otak Jenny agak sedikit mengalami keterlambatan. Ia baru menyadari ia sedang berdua disebuah ruangan dengan pria yang sama sekali tidak ia inginkan kehadirannya. Bodoh! Kenapa aku baru sadar! Kalau begini lebih baik aku ikut Shella tadi. Sesalnya dalam hati.

“Hhh..” desahnya kasar setelah melihat Marcus yang sedang duduk diujung dengan headset yang tersangkut dikedua telinganya. Sekali lagi Jenny mencibir lalu melipat tangannya dimeja dan menerungkupkan kepalanya diatas.

Tanpa Jenny sadari, Marcus menoleh kearah Jenny sejenak kemudian membuka mulutnya. Ia ingin berbicara sesuatu dengan gadis itu.

“Jen..” panggilnya hati-hati. Jenny mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang telah memanggilnya disaat ia sedang berada dalam posisi dewanya. Dan ia hampir saja tersedak air ludah melihat Marcus yang sedang melihat kearahnya. Ternyata pria itu yang barusan memanggilnya.

“Apa?” tanya Jenny ketus dengan muka jutek andalannya.

“Aku minta maaf..” ucap Marcus pelan. Apa? Apa Jenny tidak salah dengar? Barusan seorang Marcus mengatakan kata maaf. Sebelumnya ia belum pernah mendengar ini dari mulut pria itu.

“Apa?” Jenny masih belum merubah konten katanya dari tadi.

“Eum, aku sadar aku salah.. ternyata kau benar kemarin” kata Marcus lagi

“Apa? Bukankah aku hanya seorang tidak penting yang ikut campur?” balas Jenny memutar balikan perkataan Marcus kemarin.

“Intinya aku sudah meminta maaf padamu” jawabnya dingin. Benar-benar pria yang tidak mau kalah. Disaat seperti ini pun Marcus masih bisa sombong dan angkuh! Jenny tak henti-hentinya berkutat kesal didalam hati. Ingin sekali ia mencekik pria itu dari belakang mumpung kelas masih sepi. Tapi itu hal yang tidak mungkin kan?

***

Enam puluh menit sudah berlalu, tapi Jenny masih tetap bosan. Ia hanya menopang kepalanya dengan tangannya tanpa menatap lurus ke papan tulis. Berkali-kali gadis itu melihat kearah arloji.

“Ck. Ayolah bergerak! Kenapa dari tadi waktu tidak habis-habis sih?” kesalnya melihat ke arloji ditangannya. Sesekali gadis itu mencoret-coret buku catatannya yang masih rapi karena tidak pernah ia pelajari dengan gambaran-gambaran tidak jelas. “Ayolah Sir, aku sudah pegal duduk melulu” keluhnya sambil merenggangkan sedikit otot lehernya.

Kini mata Jenny berjalan menyusuri seluruh isi kelas. Ia mendengus melihat hampir seluruh isi kelas melihat kearah papan tulis. Semua. Termasuk pria yang baru saja menghentikan pandangannya. Marcus Cavendish. Ia terlihat sangat amat memerhatikan papan tulis dan mendengarkan penjelasan dosen.

Pelajaran Matematika, sepertinya pelajaran ini salah satu pelajaran yang ia suka. Jenny bisa melihat pria itu begitu gigih dalam matematika. Marcus pun selalu maju kedepan saat ada soal yang bahkan belum dimengerti oleh para teman-temannya dikelas. Mungkin selain tampan itulah kelebihan Marcus. Ia pintar dan sangat pandai hampir disemua pelajaran. Tak jarang banyak para gadis yang menyukai dan mengaguminya. Tapi Jenny sedikit merasa aneh, kenapa pria itu malah memilih Joanna sebagai kekasihnya. Apa ia tidak bisa memilih yang lebih baik?

Jenny mengerjapkan matanya berkali-kali agar ia mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia tak mau tertangkap basah oleh Marcus, hingga Marcus telah membuatnya malu untuk ketiga kalinya. Tapi memang tidak bisa ia pungkiri Marcus tampan, sangat. Namun kesombongannya membuat ketampanannya kadang tak ada artinya bagi Jenny.

“Ms. Smith” sebuah suara menggema memanggil nama akhirnya. Jenny mendongak dan membulatkan matanya melihat Mr. Underhill guru matematika laki-laki yang horror memanggilnya. Jenny menelan ludah dengan susah.

 “Yes, Sir” Jenny mencoba bersikap senormal mungkin dan tak terlihat salah tingkah didepan teman-temannya. Apakah sekarang seluruh kelas melihatnya?

“Maju kedepan, aku ingin berbicara sedikit denganmu”

Mati kau Jenny Smith! Kutuknya dalam hati.

“Oh, baik” kata Jenny akhirnya. Ia sempat meminta pandangan memohon pada Shella yang berada disampingnya setelah ia beranjak dari tempat duduknya. Ia takut ia tak akan kembali dengan selamat. Okay, itu berlebihan.

“Apa kau mengerti apa yang ada di papan tulis?” tanyanya dengan gaya horror yang melekat didalam tubuhnya.

“Tidak” jawab Jenny cepat.

 “Kenapa?”

“Karena aku memang tidak bisa” jawabnya polos

“Kenapa kau bilang kalau kau tidak bisa?”

“Karena aku tidak bisa, Sir”

“Okay, sebenarnya aku harus bilang kepadamu Ms. Smith.. sepertinya kau butuh privat dalam pelajaranku” ucap Mr. Underhill dan membuat Jenny membelalakan matanya.

“Hah? Private?!!” Jenny terkejut bukan main. Ada pelajarannya dikampus saja ia sama sekali tidak mengerti ataupun tertarik. Apalagi ia harus mendapat tambahan atau privat matematika!

“Tapi kurasa aku terlalu sibuk untuk mengajarmu Ms. Smith..” Jenny langsung mendesah lega mendengarnya. “Heheh kau tidak perlu mengajariku atau memberikan aku privat, Sir. Aku janji aku akan lebih banyak berlatih dirumah” Jenny mencoba meyakinkan Mr. Underhill. Dan ia berharap ia akan berhasil.

“Baiklah, tapi sepertinya kau butuh seorang teman untuk mengajarkanmu”

“Oh tentu, Sir. Aku akan belajar bersama Shella”

“Tidak. Tidak dengan Shella” Mr. Underhill tersenyum, senyuman yang terlihat licik dan mengejek kepada Jenny.

“Apa? Lalu?” Jenny semakin heran, ia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari tujuan dosen botak nan tambun itu.

“Mr. Cavendish yang akan mengajarkanmu” ujar dosen itu. Dan entah mengapa Jenny merasa dunia ini terasa seperti sudah dipecah belah. Ia terkejut bukan main. Lebih terkejut daripada ia menonton film horror, lebih terkejut dari apapun!

“Tapi Sir, begitu banyak teman-temanku kenapa harus Marcus? Kenapa bukan Jessica? Dia pintar kan? Waktu pelajar dimensi dia pernah membantuku dan aku berhasil mengerjakannya, hanya saja aku sudah lupa sekarang.. aduuhh.. kumohon jangan dia” pinta Jenny dengan pandangan memohon. Ia memasang muka polos nan melasnya didepan Mr. Underhill berharap pria itu akan memberikan keringanan dan membiarkan Seara untuk mengajarkannya.

“Mr.Cavendish memiliki nilai sempurna dalam matematika. Kenapa kau tidak mau diajarkan olehnya?”

“Ada sedikit masalah. Dan aku juga bisa menjamin dia juga pasti tidak mau mengajarkanku”

“Seharusnya kau bisa membedakan mana urusan pribadi dan kuliah Ms. Smith”

“Bukan bukaaan. Itu sama sekali bukan masalah pribadi, Sir. Oh.. ayolah.. aku mohon”

Mr. Underhill menggeleng. “Dugaanmu salah Ms. Smith. Ia sangat bersedia untuk mengajarkanmu kapanpun.. bukan begitu Mr. Cavendish?”

“Yes, Mr. Underhill”

Apa? Suara siapa itu? Jangan bilang kalauu..

Buru-buru Jenny menolehkan kepalanya kebelakangnya dan ternyata benar. Oh God! Marcus Cavendish sedari tadi berada dibelakang Jenny dan bisa dipastikan pria itu mendengar apapun yang dikatakan Jenny kepada Mr. Underhill. Jenny, kau bodoh atau ceroboh?

Jenny menepuk jidatnya sendiri dengan tangannya.                                         

“Bodoh!” gerutunya kesal.

“Sejak kapan kau berada dibelakangku?!” tanya Jenny ketus. “Sejak aku mendengar kata pribadi yang keluar dari mulutmu” jawab Marcus lalu menyeringai pada Jenny.

“Jenny kau benar-benar bodoh!!” rutuknya pada dirinya sendiri. “Iya. Jenny kau benar-benar bodoh!” kata Marcus mengulang kata-kata Jenny.

“BERISIK KAU!!”

TBC

leave a comment please :)

Kamis, 17 Mei 2012

One Direction - Save You Tonight

Diposting oleh Icha Elias di 07.01 0 komentar
[All]
I, I wanna save you
Wanna save your heart tonight
He'll only break ya
Leave you torn apart, oh

[Liam]
It's a quarter to three can't sleep at all
He's so overrated
If you told me to jump, I'd take the fall
And he wouldn't take it

[Harry]
All that you want's under your nose, yeah
You should open your eyes but they stay closed, closed

[All]
I, I wanna save you
Wanna save your heart tonight
He'll only break ya
Leave you torn apart, oh

[All]
I can't be no superman,
But for you I'll be super human

[All]
I, I wanna save ya, save ya, save ya tonight

[Zayn]
Oh now you're at home
And he don't call
Cause he don't adore ya
To him you are just another doll
And I tried to warn ya

[Harry]
What you want, what you need
Has been right here, yeah
I can see that you're holding back those tears, tears

[All]
I, I wanna save you
Wanna save your heart tonight
He'll only break ya
Leave you torn apart, oh

[All]
I can't be no superman,
But for you I'll be super human

[All]
I, I wanna save ya, save ya, save ya tonight

[Louis]
Up, up and away
I'll take you with me
Up, up and away
I'll take you with me

[All]
I, I wanna save you
Wanna save your heart tonight
He'll only break ya
Leave you torn apart, oh

[All]
I can't be no superman,
But for you I'll be super human

[All]
I, I wanna save ya, save ya, save ya tonight
I wanna save ya, save ya, save ya tonight
I wanna save ya, save ya, save ya tonight


credit : http://www.azlyrics.com/lyrics/onedirection/saveyoutonight.html

ya, itu lagu dari SUAMI SUAMI GUE ONE DIRECTION!! hahahahha XD

Under The Sun

Diposting oleh Icha Elias di 06.39 0 komentar
Ini adalah karya yang aku ikut sertakan kedalam lomba GSMG kemarin, dan ternyata. karya ini belum bisa membawa aku dalam kemenangan hahahah XD

selamat membaca ya ^^

Cast : you can find it ;)

Kedamaian?

Apakah arti dari satu kata itu? Aku bahkan sudah tidak bisa mengatakan kata itu dengan lancar. Aku tidak bisa lagi membayangkan kedamaian ada dalam diri kami saat ini. Sangat tidak bisa.

Saat bunyi senapan menjadi lagu kami setiap hari dan setiap detik. Saat aku mendengar teriak-teriakan diluar sana. Aku hanya bisa menangis. Aku hanya bisa berlutut digubukku dengan memeluk kedua lututku. Aku sangat takut.
Banyak sekali orang-orang asing berkulit putih mendobrak pintu rumah kami dan menghancurkan seisi rumah dengan seenaknya. Disitu aku hanya bisa bersembunyi. Seperti aku lah satu-satunya orang yang tidak berguna sementara semua pria melawan dengan segenap raga untuk melindungi desa dan tanah air kami.

“Hentikan!!!!!!!” teriakku kencang. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan, keringat dingin mengaliri seluruh tubuhku. Air mata sudah mengaliri dan membasahi pipiku berkali-kali. Aku menatap pria berkulit putih yang bertubuh besar dihadapanku ini dengan tatapan kasar. Ia sedang mengarahkan sebuah senapan kearahku. Ia akan membunuhku.

“Why? Are you scary little girl?” tanyanya dengan aksen bahasanya yang jelas aku tidak mengerti. Ia menurunkan senjata besarnya dan menghampiri dan meraih daguku kasar.
“Lepas....” rintihku padanya. Wajahku masih memandangnya kasar. Karena aku tidak peduli! Yang aku inginkan hanyalah kedamaian. Aku ingin aku dan adik kecilku hidup dalam kedamaian. Jika ia ingin membunuhku, bunuhlah aku sekarang! Tapi, yang aku inginkan hanyalah membuat mereka menghentikan aksi gila mereka.

Pria berkulit putih itu masih melihatku dengan tatapan tajamnya. Aku sedikit berharap ia akan melepaskanku, walaupun aku tau aku tak akan pernah aman meskipun sekarang ia membebaskanku.

“What’s your name?” dia bertanya.

“Desi” jawabku, aku masih sedikit mengerti bahasa yang ia katakan barusan. Meskipun aku tak fasih. “Please, Let me go” kataku terbata. Berharap ia akan melepaskanku.

“Well, Desi”

Ia melepaskan cengkraman tangannya dari daguku. Nafasku masih memburu, aku tak bisa menahan semua amarahku. Tapi aku tau aku tak akan bisa meluapkan semua amarah ini. Aku hanya bisa mengemis meminta ia melepaskanku, karena itulah yang aku bisa lakukan.

“Baiklah Desi, aku membiarkan kau pergi.. pergilah sebelum petugas lain melihatmu” katanya tersenyum.

Apa? Apa katanya barusan? Ia membiarkan aku pergi? Aku tidak percaya!
Aku sangat berterima kasih dengan orang berkulit putih ini. Tanpa pikir panjang aku beranjak dari tempatku terduduk tadi dan berlari. “Terima kasih” ucapku dengan bahasa indonesia. Aku yakin, pria itu pasti mengerti.

Aku berjalan cepat sampil berhati-hati agar tak ada petugas menyeramkan dari para penjajah berkulit putih itu melihatku

“Mr. George” panggil seseorang. Aku menghentikan langkahku, aku mencoba menguping pembicaraan antara orang yang memanggil tadi dengan pria eropa yang menolongku tadi.

“This room is empty” kata pria yang menolongku. Ternyata dia bernama George.
Mr. George.

“We should go from here” tambah Mr. George lalu berjalan keluar pintu.
Hatiku mencelos. Ia menolongku lagi. Itu artinya ia membiarkanku benar-benar pergi dari sini dengan selamat. Satu pelajaran yang sedang kuambil saat ini. Tak semua penjajah itu berhati jahat. Dan aku tak pernah tau apa yang ada dipikiran semua penjajah itu. Mungkinkah itu juga karena keterpaksaan?

Aku langsung berlari tanpa berlama-lama ditempat itu. Saat berada diluar, aku bisa merasakan dan melihat banyak sekali orang-orang yang terkapar tak berdaya dengan bersimpah darah disekitarku.

Begitu banyak asap-asap dari kobaran api yang menyala disekelilingku. Aku menutup mulutku yang terbuka. Air mata kembali mengalir deras dari mataku.
Aku terisak hebat. Aku kembali terduduk sambil menahan sebelah tanganku ditanah. Dadaku sesak. Kenapa desaku seperti ini? Ya Tuhan, aku benar-benar ingin hidup tenang. Ingin hidup didalam kedamaian bersama seluruh penduduk di desa ini dan keluargaku.

Kumohon hentikan semua ini.

Sudah berbondong-bondong orang mengorbankan nyawanya untuk membela negaranya. Jasa pahlawan-pahlawan ini tak akan pernah bisa untuk dibalaskan.
Keluargaku sudah habis. Hanya aku yang tersisa diantara mereka.

Ayah...

Ibu...

Adik kecilku....

Aku merindukan mereka, kehidupan tenang tak bisa mereka rasakan.
Aku mengepalkan tanganku menggenggam semua amarah disana. Aku ingin sekali menghancurkan mereka, memberi mereka pelajaran, membuat mereka kapok dan mengembalikan mereka ke negaranya.

Namun apalah dayaku?

Aku hanyalah seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang sama sekali tidak berdaya. Seorang gadis yang bisanya hanya meminta tolong dan hanya bisa menangis.

Aku berlari dengan tergopoh-gopoh. Mencari-cari dimana orang-orang.

“Dimana tempat pengungsiannya?” tanyaku pada diri sendiri. Aku mencari-cari kesemua tempat disekitar. Untunglah, para penjajah sudah pergi dari sini. Mungkin mereka sedang ketempat lain untuk mencari mangsa.

Desaku tidak pantas untuk menjadi makanan mereka!

Aku menghembuskan nafas lega ketika melihat seorang pria seumuranku dan ia adalah salah satu temanku yang masih selamat.

“Arya!!” panggilku kencang. Ia menoleh kearahku. Aku memeluk tubuh pria itu dan melepaskannya beberapa detik kemudian.

“Desi, kamu enggak apa-apa?” tanya Arya. Aku menggeleng.

“Aku enggak apa-apa” jawabku mengeluarkan air mata.
Raut gelisah yang tadinya terlihat kini memudar dari wajahnya. Aku semakin lega melihat salah seorang temanku disini.

Terima kasih Tuhan.

Kemudian ia mengajakku mengungsi kesebuah tenda pengungsian yang tak jauh dari tempat kami bertemu. Disana banyak sekali orang-orang yang masih selamat. Setelah desa kami diserang oleh orang asing yang tidak dikenal. Semua barang-barang dan harta kami habis di bom oleh mereka. Harta yang tersisa dari kami adalah baju yang sedang melekat pada tubuh kami sekarang.

Di tempat pengungsian aku memakan makanan seadanya. Aku melahap semua makanan dengan cepat. Sudah beberapa hari ini aku tidak makan. Arya hanya melihatku yang sedang makan dengan tersenyum lalu ia mengelus puncak kepalaku.
Sore pun tiba. Aku sedang duduk dibawah sebuah pohon didekat bukit didesaku. Aku memandang kearah   , tempat dimana matahari terbenam. Rasanya sangat tentram. Desa dan negeriku ini benar-benar sangat indah ketika aku melihat matahari warna oranye itu menenggelamkan wujudnya. Setidaknya, Aku bisa merasakan ketenangan walaupun sedikit.

Aku tersenyum masih sambil menatap kearah  .

Aku berpikir, andaikan aku adalah matahari. Yang memberikan cahaya kehidupan untuk semua orang di dunia. Untuk memberi hari dan memberi semangat pada mereka. Mungkinkah aku bisa menjadi seorang penyelamat desa ini. Aku memukul kepalaku dan menertawakan khayalanku sendiri.

“Bodoh! Itu hal yang sangat tidak mungkin ‘kan?” kataku tertawa perih.

“Apa yang tidak mungkin?” tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat familiar ditelingaku. Itu Arya, ia ikut duduk dibawah pohon bersamaku.


Aku menggeleng lalu tersenyum. Entahlah, kenapa setiap aku berada didekat Arya. Aku selalu ingin tersenyum walaupun seperih apapun hatiku.

“Apakah aku bisa jadi kaya matahari?” tanyaku pada Arya. Ia menolehkan kepalanya kearahku.
“Hah?” dia tidak mengerti.

“Pertanyaan yang aneh ya? Tapi aku pengen jadi kaya matahari. Dia bisa ngasih kehidupan bagi semua orang didunia ini, dia bisa memberi cahaya penyemangat untuk orang dipagi hari” ucapku

“Hahaha” Arya tertawa. Ya, aku tau itu kata-kata terbodoh yang pernah aku katakan.

“Kalau itu bukan hal yang tidak mungkin. Kau tau tentang tak ada sesuatu yang tidak mungkin ‘kan? Semua hal bisa saja terjadi, jika kita berusaha. Kita harus persatukan tekad dan keberanian kita jika ingin terjadi sesuatu hal yang tidak mungkin itu menjadi mungkin” ujar Arya. Matanya menatap langsung ke mataku. Aku merasakan ketenangan ketika ia menatapku.

“Mungkin?” aku bertanya lagi.

“Iya, mungkin” 

“Kalau begitu, aku bisa menyelamatkan desa kita dari semua orang asing itu?” 
Arya terdiam, ia seperti tidak punya kata-kata untuk dijawab.

“Kalau itu aku tidak tau” katanya mengalihkan pandangannya kearah lain.

“Kenapa? Kau bilang kita bisa membuat semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin! Kenapa kau jadi patah semangat sekarang!! Kau baru saja mengatakan kalau aku bisa melakukan semua itu jika aku mempersatukan tekad dan keberanianku, itu berarti kita bisa membuat perdamaian dan persatuan ‘kan? Tak ada yang tidak mungkin! Itu yang baru kamu bicarakan kan Ar?” aku tidak tahan, darahku seakan bergejolak ketika aku mengatakan hal itu. Aku marah ketika Arya putus semangat.

“Keadaan ini sangat berbeda, Desi” jawabnya padaku. Air mataku mengalir. Seakan desa ini sama sekali tak punya harapan untuk kembali seperti dulu.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku hampir putus asa.

“Pindah ke desa lain. Tak ada yang bisa kita lakukan lagi disini” jawab Arya dengan suara datar.

Apa? Pindah ke desa lain dan meninggalkan desa ini?

“Aku tidak mau” jawabku sambil menangis. “Seluruh wilayah didesa kita sudah habis di bom, Desi! Ini adalah satu-satunya tempat yang aman. Dan kita akan aman selamanya disini! Aku yakin besok pasti para orang asing itu akan menemukan kita disini” kata Arya menjelaskan.
Aku hanya menangis, air mata semakin menuruni pipiku. Semakin aku menyekanya, semakin air mata itu jatuh kepipiku.

“Aku tidak mau! Aku punya banyak alasan mengapa aku tidak mau! Aku akan tetap disini. Aku tak akan ikut kau atau kalian semua pindah kedesa lain!!” ketusku lalu beranjak pergi meninggalkan Arya sendirian disana.


Aku berjalan kembali kearah pengungsian. Aku melayangkan pandangan keseluruh arah ditempat ini.

Mereka tertidur dimana-mana, mereka terlihat menyedihkan dengan pakaian lusuh dan suram mereka. Sama sepertiku. Wajahku yang lusuh dan kotor juga sama seperti mereka. Banyak sekali perjuangan yang sudah pahlawan pahlawan itu korbankan untuk desa dan negeri ini! Tapi sekarang kita harus merelakan desa ini untuk orang asing dan pindah ke desa lain. Aku benar-benar tidak bisa membiarkan ini.

Aku kembali sesenggukan melihat pemandangan ini.

Aku menangis sambil menyandarkan kepalaku kebelakang tembok. Aku tidak bisa melupakan semua kenangan sedih ataupun senang ketika aku berada didesa ini.
Aku terus menangis hingga aku tertidur dengan posisi menyandarkan kepalaku. 


Keesokan harinya.

Aku terbangun dengan mendengar suara ribut-ribut. Aku mengumpulkan seluruh nyawaku setelah aku terbangun karena suara bising itu.

“Ada apa ini?” tanyaku terkejut melihat keributan disekitarku. Aku langsung berdiri dari tempatku dan menolehkan pandangan kesegala arah. Suara tembakan dari senapan kembali kudengar ditelingaku. Suara yang membuatku trauma.
Seseorang laki-laki berlari kearahku dan itu Arya. Ia terlihat ketakutan, nafasnya memburu.
“Desi, kita harus pergi dari sini! Mereka sudah menemukan tempat pengungsian kita” katanya yang tanpa babibu langsung menarik tanganku.

“Apa? La...lalu”
Ia menarikku berlari menjauhi tempat yang sudah dipenuhi dengan asap dari bom dan senapan ini.

Kami sudah berlari tapi nihil lawan kami adalah orang asing bersenjata senapan. Kami tidak akan pernah berhasil dengan tangan kosong dan akupun sudah lelah dengan kakiku ini. Dan akupun jatuh tersungkur karena tersandung oleh sebuah batu. Kakiku semakin sakit.

“Arrghhh” ringisku kesakitan. Arya menghampiriku dengan khawatir ia berkata

“Kamu enggak apa-apa? Masih bisa lari?” tanya Arya

“Sakit, aku enggak bisa lari” jawabku menahan rasa sakit dipergelangan kakiku.

“Apa yang sedang kalian lakukan disini?” tanya seorang asing dengan bahasa indonesia yang fasih. Aku dan Arya mendongakan kepala.
Bagus, kami tertangkap.

“Mencoba melarikan diri anak muda?” tanyanya lagi. Orang asing terlihat jauh berbeda dengan Mr. George. Tampangnya sangat menyeramkan. Ia tersenyum licik pada kami. Ia seperti ingin menaikkan senapannya kearah kami.
Arya membelalakan matanya dan menarikku, kami mulai berlari sebelum pria asing itu menembak kami. Mau tidak mau aku melangkahkan kakiku yang terasa sangat amat sakit ini.
Dan

“Dooorrrr!!!” bunyi itu terasa terngiang ditelingaku. Suara yang biasa kudengar dari jauh kini terdengar sangat amat jelas ditelingaku. Suara yang begitu kencang dan sangat amat bergema. Semua jadi terasa pelan bagiku, aku menoleh kearah Arya. Genggaman tangannya terasa melemah. Peluru dari senapan itu masuk kebahunya. Ia tersungkur kebawah tanah.
Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku meneriaki namanya.

“Arya!!”
Ia masih sadar, hanya saja matanya terlihat sangat ketakutan dan sangat kesakitan.

“Pergi dari sini...pergi kearah barat, disitu ada helikopter yang akan bawa kamu pindah ke tempat yang aman. Cepet!” suruhnya dengan meringis kesakitan. Aku menggeleng sambil menangis dan meraih kepala pria itu dan meletakkannya dipangkuanku. “Pergi bodoh!” suruhnya lagi.
Kata ‘Bodoh’ pernah ia katakan untuk mengejekku sewaktu desa kami masih tenang dan sebelum kericuhan ini datang. Aku merindukan masa itu.

“Aku enggak akan ninggalin kamu”

“Tapi...”
Sebelum Arya menyelesaikan kata-katanya, pria asing yang tadi menembak Arya kini sudah berada dihadapan kami. Ia terlihat akan menghabisi kami.
Aku menggeleng pada pria asing itu sambil mengeluarkan air mata.
“Kumohon jangan...” pintaku mengemis. Sungguh aku tidak bisa melihat Arya kesakitan seperti ini. Dan aku juga tidak bisa membiarkan seluruh warga desaku sengsara seperti ini. Aku ingin mereka hidup dengan tenang dan kedamaian. Dengan persaudaraan dan kedamaian di indonesia ini.

Aku menangis sedih. Aku menangis sambil memeluk Arya yang masih tidak berdaya dengan luka parah dibahunya.

Pria asing dihadapan kami semakin mantap untuk menarik pelatuk dari senapannya. Ia mengarahkan pistol itu kearahku.

“Sebelum kau membunuhku dengan pistolmu itu. Bolehkah aku bertanya? Apakah kau punya tempat kelahiran? Apakah kau punya tempat tinggal? Apakah kalian semua punya negara? Aku ingin mengatakan ini sejak lama pada kalian! Kalian seperti manusia yang sama sekali tidak punya rasa kemanusiaan sedikitpun! Apakah kalian tidak berpikir kalau kalian berada di posisi kami saat ini? Kalian berada didesa kalian dan orang asing seenaknya mengambil alih dan membunuh seisi desa seakan kalian membunuh seekor nyamuk?!!! Warga desa ini adalah manusia yang punya hak hidup! Kalian sama sekali tidak berhak untuk melakukan mereka seperti ini!” kataku panjang lebar sambil terisak. Aku tidak peduli lagi. Aku sudah mengatakan apa yang aku rasakan sekarang! Aku hanya ingin mengatakan apa yang aku ingin katakan!
Aku terdiam sejenak sambil menghapus air mata dipipi yang sudah semakin membasahi wajahku.

“Desa ini bagaikan seorang ibu bagiku. Desa ini bagaikan orang tua bagiku. Negara ini juga, aku sangat mencintai negara ku seperti aku mencintai keluargaku yang sudah meninggal karena kalian. Karena didesa inilah aku tumbuh besar, karena desa inilah aku bisa mengetahui apa arti kata persaudaraan dan kedamaian yang kurindukan saat ini. Yang bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya damai dan tenang bersama seluruh warga ini. Warga desaku yang sudah kalian habisi” lanjutku masih dengan terisak. Aku tak bisa menahan rasa jengahku karena ulah mereka. Aku tak peduli jika setelah ini aku akan mati tertembak karena senapan mereka. Aku hanya ingin desaku kembali. Aku ingin hidup tenang ditempat kelahiranku.
Wajah pria asing dihadapanku itu datar, ia tak mengatakan apa-apa setelah mendengar semua kata demi kata yang keluar dari mulutku barusan. Aku bisa merasakan Arya meraih tanganku dan kembali menggenggamnya. Seolah kami berdua pasrah dengan apa yang telah kami lakukan. Kami telah berjuang untuk desa ini mati-matian.

Hening sejenak. Aku masih menangis sesenggukan. Aku juga tidak mengerti kenapa suasana disini menjadi hening karena kata-kataku. Aku bahkan tak mendengar bunyi senapan lagi. Mereka seperti mendengarkan apa yang kukatakan.
Brak!! Bunyi senapan jatuh. Aku mendongakan kepalaku dan melihat kearah pria asing itu.
Ia jatuh tertunduk kelantai. “I can’t...i can’t kill them” ucapnya menahan tangis. Pria asing itu ingin menangis?

“Cukup sudah! Aku tidak ingin melihat kalian menyerang desa ini lagi! Bebaskan mereka!” perintah seseorang yang sepertinya ketua dari mereka semua.
Apa? Apa yang barusan mereka katakan? Mereka bilang kami dibebaskan?
Air mata keperihan yang kurasakan kini berubah menjadi air mata kebahagiaan yang sudah berada diujung mata. Aku melihat Arya yang sudah tersenyum melihatku

“Kau berhasil” bisiknya, keadaannya melemah. Tuhan, tolong selamatkan dia.
Beberapa detik kemudian terdengar sorakan dari seluruh orang yang ada disini dan disambut dengan senyuman bahagia yang luar biasa. Sekarang kami bisa merasakan sebuah ketenangan dan kebahagian yang tak terhingga.

Aku tak bisa melukiskan kebahagiaan ini. Sebuah ketidakmungkinan ini sekarang menjadi mungkin! Ah bukan mungkin, tapi menjadi iya!

Aku bisa melihat banyak petugas medis yang mulai terjun kelapangan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Dan Arya pun mulai dibawa oleh petugas medis untuk diberikan perawatan.

Aku tersenyum manis dan lega.
Persaudaraan dan perdamaian di indonesia dan didesaku. Ya, aku akan menjadikan desa dan negaraku menjadi negara yang harmonis dan damai.

FIN


setelah anda membaca ...

harap... tampar saya -_______________-

karya bulukan begini masa mau dibawa ke lomba XD hahahahaha

mau dikata apa!!! wkwkwk

yaudah makasih udah baca :) :)

tunggu karya saya selanjutnya ya.. semoga bisa lebih baik lagi.. amin :')

Greyson Chance - Unfriend You

Diposting oleh Icha Elias di 06.24 0 komentar
lagi suka banget lagunya si encen nih yang unfriend you wkwk

"Unfriend You"


I really thought you were the one
It was over before it begun
It's so hard for me to walk away
But I know I can't stay

You're beautiful and crazy too
Maybe that's why I fell into you
Even though you would pretend to be
You were never with me

So it's over yeah we're through, so I'm a unfriend you
You're the best liar ever knew, so I'll unfriend you
Cause I should have known, right from the start
I'm deleting you right from my heart
Yeah it's over, my last move is to unfriend you

I thought in time that you could change
And my time and love would heal the pain
And I didn't want this day to come
But now all I feel is numb

So it's over yeah we're through, so I'm a unfriend you
You're the best liar ever knew, so I'm a unfriend you
Cause I should have known, right from the start
I'm deleting you right from my heart
Yeah it's over, my last move is to unfriend you

You come on to everybody
Everybody all the time
You give up to anybody
What I thought was only mine

Oh oh oh
Oh oh oh
Oooooooh

So it's over yeah we're through, so I'm a unfriend you
You're the best liar ever knew, so I'm a unfriend you
'Cause I should have known, right from the start
That you didn't have a human heart
Yeah it's over my last move is to unfriend you
Unfriend you

Yeah yeah yeah yeah
Woah ohh
Oh oh oh
Oh oh oh
So I'm a unfriend you
Oh oh oh
Oh oh oh
So I'm a unfriend you

You're Mine

Diposting oleh Icha Elias di 05.48 0 komentar

ini sequel dari You've Fallen for Me, yang belom baca silakan klik disini :)
Author : Icha Elias or Ummu Aisyah (@mrseliasstyles on twitter)

Cast : Nilanos Watson, Ardeki Garside and all other

ini sequel dari You've Fallen for Me, yang belom baca silakan klik disini :)and this story is purely mine, please don’t take anything from here.
Happy read ^^



Nila mempercepat langkah kakinya dikoridor kampus. Kakinya belum sama sekali berhenti berjalan. Ia terus menaiki berpuluh-puluh anak tangga. Oh God, ini jam pertama! Dan ia sudah terlambat sama sekali. Sekarang tepat pukul delapan pagi, sedangkan kelas dimulai pada jam tujuh pagi tadi. Melihat keterlambatannya, pasti ia tidak akan diperbolehkan masuk kelas.

Nafas Nila terengah-engah, ia lelah. Terang saja, sudah tiga lantai ia lalui dan sekarang masih harus menaiki tangga lagi untuk lantai selanjutnya. Gila.
Terlihat beberapa mahasiswa lain melakukan hal yang sama seperti Nila. Berlari untuk mengejar waktu. Ada beberapa dari mereka yang tidak boleh masuk ke kelas. Tapi dalam prinsip Nila, ia lebih baik terlambat daripada absen!

Akhirnya, gadis itu berhasil berada didepan kelasnya. Jantungnya berdetak cepat setelah ia mengintip dari tempatnya berdiri ada seorang dosen yang sedang memberikan materi dikelasnya. Ia sempat menangkap Liona temannya yang terlihat sedang memperhatikan mata kuliah itu. Ia juga sempat melihat seorang pria. “Huh.. bukan waktunya untuk melihat dia” ucapnya dalam hati.

Gadis itu merapihkan bajunya kemudian mengetuk pintu selembut mungkin agar masih terlihat sopan. Ia membuka pintunya dan memasukan kepalanya terlebih dahulu. “Excuse me sir, May i?” tanya Nila takut-takut. Ia mengeluarkan jurus andalannya yaitu mengeluarkan tampang melasnya. Biasanya, jika Nila terlambat ia akan melakukan itu dan berhasil. But, Mr. Underhill is the Killer lecture in this college. Jangan harap, ia akan berhasil.

“Ehem... Ms. Watson? Kemana saja kau?” tanya pria tambun itu mengeluarkan aura angkernya

“Well, keterlambatan bus. Hehehe” jawab Nila sok santai. Padahal sebenarnya ia sangat amat takut. Ia mengalihkan pandangannya kepada Liona sebentar dengan tatapan ‘Kill-me-now’

“Jam berapa sekarang?”

“Eum, jam setengah delapan sir.” Nila menjawab sambil menundukan kepalanya. Ia sudah pasrah. Ia pasti akan dicecar oleh dosen gila ini.

“Kau menyadari kesalahmu ‘kan?”
Nila mengangguk pelan. Seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh orang tuanya. Ia sudah membuang rasa malunya ketika sudah berada dihadapan Mr. Underhill. Ia bisa melihat seluruh perhatian orang-orang sekelas terpaku padanya.

“Baiklah, aku akan memberikanmu tugas untuk membayar keterlambatanmu”

“Hah? Tugas? Lalu? Aku boleh...?”

“Yes, sit down. I don’t want see you to late again later”

“Oh... yeah... you’re the best lecture sir!!! Thank you!!!” kata Nila terkejut kesenangan.
Ia langsung berjalan riang kearah bangku disamping Liona dan mengedipkan sebelah matanya pada temannya itu.
Ia mengalihkan pandangan kearah kirinya. Dan, ia terlibat eye-contact dengan Ardeki. Yeah, kekasihnya. Ia sangat yakin Ardeki pasti melihatnya saat sedang didepan kelas tadi.

*

“Well, hari ini aku akui Dewi Fortuna, Dewi Kwan im dan segala dewi sedang berada dipihakmu.. you know? Mr. Underhill tidak mungkin memberikan lampu hijau pada mahasiswa yang terlambat except you!” komentar Liona ketika mereka berjalan keluar dari kelas dan menuju ke cafetaria di kampus mereka.

“Really? How lucky i am” tanggap Nila sambil tersenyum. “Yeah, walau aku harus mendapat bonus tugas dari dosen botak itu” lanjutnya melihat beberapa soal yang harus ia kerjakan sendirian. Dalam satu kelas, hanya ia sendiri yang mendapat tugas itu!

“Hahahaha!” Liona tertawa kemudian menepuk pundak sahabatnya. “Kau bisa minta tolong Marcus untuk menyelesaikan itu. Ia bisa mengerjakan semua tugasmu dalam waktu beberapa jam”

“Ya, tidak sepertiku.. mungkin, membutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan soal matematika ini” ujar Nila sambil memegang kertas soal itu dengan tampang sok jijik.
Liona hanya mengangguk.

“Oh ya, kenapa aku tidak minta tolong pada Henry Stewart saja ya? Hahahahahaha” ejek Nila pada Liona. Liona hanya mencemberutkan ekspresi mukanya. “Shut up!”

“Hohoho”

“Oke, aku tak suka topik ini. Lebih baik ceritakan hubunganmu dengan Ardeki. Berjalan semakin baik ‘huh?”

“Not really, as usual”

“Why?”

"I dont know”

“Ah! Membingungkan sekali sih! Seharusnya kau itu sedang masa bahagia saat ini”

“I’m not married Lio, tidak ada masa bahagia!”

“Oh iya iya” Liona mengangguk mengiyakan.

“Eh, kau tidak makan siang bersamanya?” tanya Liona heran. Biasanya, dua orang yang sedang berpacaran pasti akan makan bersama kan? Tapi, tidak dengan Nila dan kekasihnya Ardeki.

“Tidak, aku tidak mau. Kalau aku dengannya kau bagaimana?”

“Tidak usah pedulikan aku, aku bisa bergabung dengan Jessie kan?”

“Aku tidak mau”

“Why?”

“Aku tidak mau meninggalkanmu Liona~”

“Ow~ that’s so sweet Nila.........” timpal Liona sambil tertawa.

“Liona!!” terdengar sebuah teriakan memanggil nama Liona saat mereka baru saja ingin masuk kedalam sebuah cafetaria.

“Oh my god! Henry Stewart???!! She’s calling for you?” Nila terkejut bukan main. Liona hanya tersenyum-senyum tidak jelas disamping Nila. Pria itu sedikit berlari untuk menghampiri mereka berdua.

Liona mengangkat sebelah tangannya, melambaikan tangan pada Henry.

“Ya, he’s Henry. The Asistant of Chemical Laboratorium”

“You didn’t told me about him? Kau tidak pernah menceritakan kau sudah berhubungan baik dengan dia? Hey!” Nila merasa sangat geregetan, ia mencubit pinggang Liona sedikit kesal.
“Hehehe, i’ll talk to you later” Liona tersenyum senang. “Okay”


“Hai...” sapa Henry ketika ia sudah berada diantara Nila dan Liona.

“Hai..” balas Nila tersenyum. “Eum..Nila, this is Henry. Chemical Laboratorium Asitent. Kak, this is Nila. She’s my classmate and she’s my great friend” ujar Liona memperkenalkan mereka berdua.

“Nice to know you, kak”

“Me too” balas Henry tersenyum. “Um, Liona. Bagaimana dengan?”
“Oh..yeah..” Liona tampak sedikit gelagapan didepan Henry. Namun, ia sebisa mungkin mengontrol dirinya agar tidak terlihat salah tingkah.
Nila hanya melayangkan pandangan heran.

“Aku harus pergi bersama kak Henry. Kau tidak keberatan?”

“Oh... ofcourse no!” kata Nila, dalam hatinya ia terlonjak kegirangan. Finally, Liona bersama Henry! Jangan bilang, kalau mereka berdua sudah menjadi pasangan kekasih sekarang.

“Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang?” tanya Henry.

“Sure..” Nila mengiyakan. Gadis itu menatap Liona senang, Liona hanya mengedipkan sebelah matanya.

“You did it Liona!” bisik Nila. “Wish me luck” kata Liona sebelum ia beranjak dari hadapan Nila.

Sekarang, Nila bisa melihat Liona dan Henry pergi menjauhinya. Ia terus menatap punggung temannya yang semakin menjauh bersama pria itu. Ia senang sekali. Temannya sepertinya begitu bahagia saat ini. Ia tak peduli saat ini ia harus makan siang sendirian, yang penting sahabatnya bahagia.


Nila membalikan tubuhnya, ia merasa tidak lapar. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak jadi ke cafetaria sendirian. Lagipula, ia juga sedang ingin sendirian.

Nila berjalan sendirian kearah taman. Setelah sampai disana, ia langsung mencari tempat duduk kosong yang menghadap kearah waterfall. Untunglah taman tidak begitu ramai siang ini, hanya ada beberapa orang yang sedang berpacaran disekelilingnya. Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya ditempat duduk. Ia duduk sambil menutup sejenak matanya, merasakan angin sejuk membelai rambutnya.

Ia kemudian menatap kearah waterfall yang jatuh kedalam kolam dibawahnya. Air yang begitu bening. Bunyi air jatuh itu benar-benar membuat hati Nila menjadi jauh lebih baik.
Ia melengkungkan sebuah senyuman dibibirnya.
Ia menaikan kedua kakinya diatas bangku dan memeluk lututnya sambil memandang waterfall itu dikedua bola matanya. Ia bisa melihat apa yang pernah ia lakukan bersama Ardeki didekat waterfall beberapa minggu yang lalu. Ia masih sangat ingat hal itu. Saat Liona berbohong padanya dan berkata bahwa Ardeki kecelakaan dan membuat ia gelagapan. Padahal, Nila sudah sangat amat cemas. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau pria itu benar-benar kecelakaan.

Nila tertawa kecil. Betapa bodohnya ia saat itu. Kenapa ia tidak tau kalau ia sedang dibohongi?
Dan satu lagi, ia masih bisa membayangkan didekat jembatan di waterfall sana. Ia dan Ardeki sedang berpelukan. Ardeki bisa membuktikan dengan pelukannya ia bisa membuat Nila lebih baik dan membuktikan kehangatan dirinya. Hanya dengan memutar memorinya saja, ia bisa merasakan ketenangan yang luar biasa. Ia juga masih memakai sebuah gelang sederhana berbentuk lucu pemberian Ardeki, ia sangat suka melihat benda itu dikaitkan dipergelangan tangannya yang kecil.

Tapi hari ini, gadis itu belum sama sekali menyapa atau berbicara dengan Ardeki. Ia sedang malas. Atau mungkin ia sedang unmood.
Merasa sedikit bosan, ia mengambil sebuah notebook dan sebuah pensil dari tasnya. Kemudian ia seperti sedang menulis sesuatu disana.  Atau menggambar mungkin.
Sesekali gadis itu mengalihkan matanya kedepan kearah waterfall kemudian kembali berkutat dengan buku catatannya. Ia sudah merindukan hobinya, yaitu menggambar. Kekanakan memang, tapi itulah hobinya. Selain photography tentu.

“What are you doing?” tiba-tiba suara bass khas seorang pria menganggetkannya, suara itu terdengar tepat ditelinga kiri gadis itu.

“Oh gosh!!” Nila terlonjak kaget. Ternyata, pria itu adalah Ardeki. Ia sekarang sudah berada dibelakang tempat duduknya.

“Sedang apa kau?” tanya Nila ketus. “Kenapa? Tidak boleh?”
Nila diam kemudian menjawab “Bukan sih..”

“Kemana pacar keduamu itu?”
Nila mengerutkan alisnya heran “Siapa?”

“Liona” jawab Ardeki tersenyum mengejek. “Pacar kedua? What the hell you said?”

“Hahaha, i’m kidding!”

“She’s my best friend, Mr. Garside. You get it wrong! Don’t make me mad, I’m in unmood now” omel Nila jutek, ia pura-pura mengeluarkan ekspressi marahnya pada pria itu.

“No, i don’t. I said i’m kidding. Right?” kata Ardeki yang mulai mengetahui Nila yang ngambek. Nila terdiam sambil terus menggambar di buku catatannya.

“Nila, please. It was a joke”

“Hahaha, got you. I’m kidding too”

“Huh... i think you’re serious”
Nila tersenyum pada Ardeki saat ia mengatakan itu. “Sedang menulis apa?” Ardeki mendekatkan wajahnya kearah Nila, mencoba mengintip apa yang sedang ditulis oleh gadis itu.

“No! It’s just....nothing! forget it”

“Let me see” pinta Ardeki pada Nila. “No! I won’t give this notebook to you”
Nila menggeser sedikit posisinya dari Ardeki, ia takut pria itu akan mengintip. Ardeki menatapnya dengan tatapan curiga.

“What’s that? You’ve a secret?”

“No, it’s not a secret. Just...unimportant thing” ujar Nila mencoba mencari alasan.

“Give it to me, then”

“I won’t”

“Oke, you win”  Ardeki mengangkat tangannya menyerah. Ia memang harus mengalah saat ini. Nila buru-buru memasukan buku catatan dan pensilnya kedalam tasnya. Dalam adu mulut, Ardeki selalu kalah. Teka, itulah sifat Nila. Tapi, itulah salah satu yang membuat pria itu jatuh cinta padanya. Sifat kekanakkan dan ketekaan Nila membuatnya susah untuk melupakan gadis itu. Ia selalu nyaman berada didekat Nila seperti sekarang ini. Adu mulut, jauh lebih menyenangkan daripada ia harus beromantis ria seperti pasangan lainnya.

“Kau sendiri disini dari tadi?”

“Ya, Liona sedang pergi bersama Henry. Aku malas makan siang lalu aku kesini” jelas Nila singkat.

“Wah, jahat sekali best friendmu itu?” ejek Ardeki. “Kau itu iri padaku karena kau tidak punya sahabat sebaik dia ‘kan?” balas Nila tak mau kalah.
Beginilah, cara berpacaran mereka. Selalu saja berargumen.

“Hahahaa” Ardeki hanya bisa tertawa melihat Nila yang begitu tak ingin kalah.
Nila hanya tersenyum.

“Kenapa kau bisa terlambat tadi?” tanya Ardeki tiba-tiba. Nila menolehkan wajahnya kearahnya. “Aku kesiangan”

“Kenapa tidak memintaku menjemputmu?”

“Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri lagipula”

“Tapi dalam keadaan seperti itu seharusnya kau menghubungiku”

“Aku bisa menjaga diriku sendiri, aku juga tidak ingin merepotkanmu”

“Ya...” jawab Ardeki singkat. Mendengar nada itu, Nila merasakan nada kekecewaan. “Kenapa?” tanya Nila.

“Apanya?”

“Kau marah?”
Ardeki menggeleng. Lalu tersenyum manis pada Nila. Saat itu juga Nila meleleh. Ia tau, bahwa ia sangat menyukai senyum pria ini. Lalu kenapa sekarang Ardeki malah tersenyum seperti ini pada gadis itu?
Ini membuatnya sangat tersiksa. Terpana lebih tepatnya.
Beberapa menit mereka duduk disana sambil sesekali mengobrol. Tanpa terasa ada sebuah rintik-rintik air jatuh membasahi tanah. Nila dan Ardeki menengadah tangan dan melihat keatas langit. “Is this rain?” tanya Nila.

“Sepertinya” jawab Ardeki. “Ayo kita berteduh disana” ajak Ardeki menarik tangan Nila. Nila masih melihat kearah langit diatas sambil tersenyum lebar.

“Waw.. Hujan” katanya kagum.

“Sedang apa kau? Ayo kita berteduh”
Nila menepis tangan Ardeki dan ia malah berjalan lebih dekat ke waterfall. Ia sudah lama menantikan saat seperti ini. Saat dimana ia bisa kehujanan seperti ini.
Sementara Ardeki masih susah payah menutupi seluruh badannya dengan tas atau tangannya untuk mencegah agar kepalanya tidak kebasahan.

“Apa yang kau lakukan?!! Kau bisa sakit!” teriak Ardeki cemas melihat Nila yang sedang kehujanan disana.

“Aku suka hujan”

“Tapi bukan begini juga caramu menunjukannya!” omel Ardeki. Ia langsung menghampiri Nila tanpa mempedulikan tubuhnya yang sudah kebasahan.

“Ayo kesana!”

“Aku tidak mau! Kesana saja sendiri” kata Nila ketus. Ia tak ingin diganggu. Yang ada dipikirannya saat ini adalah mandi hujan. Pasti akan sangat romantis. Ya, walaupun pria dihadapannya itu tidak mau.

“Lagipula bajumu sudah basah semua, lebih baik kita mandi hujan saja” tambah Nila. Memang benar, baju pria itu sudah basah semua sama seperti Nila. Nila menyadari wajah Ardeki yang berubah menjadi sedikit khawatir.

“Tidak usah khawatir, aku tidak akan sakit kok” ucap Nila sambil merentangkan tangannya untuk merasakan air yang jatuh ketubuhnya. Ia selalu merasa tenang jika melihat hujan jatuh ketanah. Seakan itu semua bisa menghapus rasa sakit ataupun ketakutan jika saat itu ia sedang merasakannya. Dan suara hujan yang begitu deras mengalun ditelinganya membuat hatinya merasa aman.

“Kau pasti berpikir, aku menyukai hujan karena terlalu banyak nonton drama romantis kan? Kau salah, aku memang menyukai hujan sejak aku masih kecil. Aku bahkan sama sekali tidak suka drama romantis yang menggunakan hujan sebagai alat untuk membuat adegan manis. Aneh kan? Tapi aku tidak tau. Well, intinya aku menyukai hujan” jelas Nila panjang lebar. Padahal Ardeki belum mengatakan apapun dari tadi.

Ardeki hanya bisa tersenyum memandang Nila yang sedang kegirangan seperti anak kecil. Ia bisa melihat bagaimana ekspresi lucu gadis itu saat ia mengatakan ia menyukai hujan dan menjelaskan mengapa dirinya menyukai hal bodoh itu. Padahal hampir setiap orang tidak menyukai datangnya hujan yang dianggapnya sangat amat merepotkan. Mereka harus membawa payung untuk menutupi tubuh mereka agar tidak basah dan sakit. Tapi berbeda dengan Nila, ia takkan membawa benda pelindung itu untuk dirinya. Ia akan dengan senang hati berlari-lari dibawah hujan.

“Rain, please... don’t touch my girl. She’s mine” gumam Ardeki pelan. Nila mengerutkan keningnya dan berkata

“Kau ini bicara apasih?”

“Aku hanya tidak ingin kau sakit”

“Tenang saja, hujan tak akan membuatku sakit. Kami sudah berteman kok” ucap Nila asal.
“Hahaha. Kau ini benar-benar lucu ya!” Ardeki tertawa lagi. Nila memanyunkan bibirnya sebal. Wajahnya terlihat semakin menggemaskan.
Mereka menghabiskan hari mereka dengan mandi hujan ditaman kampus. Hari yang menyenangkan bagi Nila maupun Ardeki. Mereka main kejar-kejar, Hide and seek (petak umpet) hanya berdua, lalu setelah itu mereka duduk sambil bercerita pengalaman mereka masing-masing. Terlihat sangat biasa, namun bagi mereka ini adalah The best day ever!
Kalau boleh jujur, Nila dan Ardeki sudah sama-sama merasakan pusing dikepala mereka. Namun mereka tak sama sekali mempedulikannya hingga hujan mereda. Rintik-rintik air itu semakin lama semakin mengecil. Walaupun tubuh mereka berdua masih lumayan basah.

Untung saja, disekitar kampus sudah tak ada orang sama sekali. Hanya tinggal mereka berdua. Mungkin karena hujan para mahasiswa jadi malas untuk mengikuti jam berikutnya dan memilih untuk belajar dirumah saja.


Ardeki memberikan jaketnya untuk Nila pakai saat mereka sudah sampai diparkiran. Mengingat udara masih cukup dingin apalagi mereka habis kehujanan tadi.
Nila menggelengkan kepalanya ketika Ardeki menyodorkan jaket miliknya.

“Kau bagaimana?” tanya Nila

“Aku masih punya jaket cadangan. Pakai saja” suruh Ardeki pada Nila. Walaupun gadis itu masih tetap keukeuh untuk tidak memakainya. Sampai akhirnya Ardeki mendesah dan berjalan kearah belakang tubuh Nila dan memakaikan jaket itu kepundak Nila. Dan mau tidak mau, Nila tak bisa mengelak lagi. Ia memasang jaket itu ketubuh mungilnya.

“Pakai, atau aku akan marah padamu” ancam Ardeki. Mendengar itu Nila hanya bisa mencibir
“Cish, memangnya kau berani marah padaku?”
Ardeki tertawa “Jadi kau mau mengatakan aku ini pria cengeng begitu?”

“Aku tidak mengatakan itu ‘kan? Haha”
Mereka berdua tertawa sejenak. Hingga Ardeki berkata saat ia sudah menyiapkan motornya
“Naik, aku akan mengantarmu pulang”

*


Nila turun dari motor setelah mereka berdua sudah sampai didepan rumahnya dan ia langsung menatap pria yang masih duduk diatas motornya dengan helm yang menutupi sebagian wajahnya. Ardeki melepaskan helmnya lalu turun dan berdiri tepat dihadapan gadis itu. Nila mengernyit heran.

“What? Kenapa turun? Aku bisa masuk sendiri kok” tanya Nila dengan tampang polosnya. Ardeki hanya bisa tersenyum melihat gadis itu. Pria itu berjalan semakin mendekat kearah Nila. Jantung Nila terasa lebih berat. Entah kenapa ia jadi lupa caranya bernafas untuk beberapa detik.

Ardeki semakin memperkecil jarak diantara mereka. Apa yang akan ia lakukan? Nila belum siap. Sama sekali belum siap. Pria itu meraih pinggang Nila dan menariknya kedalam pelukannya. Sebenarnya ia tau bahwa Nila sedang panik dan ketakutan atas dirinya. Ia kemudian melepaskan pelukannya dan mendengar Nila berucap pelan “Don’t”

Ardeki tersenyum datar dan menatap Nila langsung dimatanya. Mata mereka bertemu untuk beberapa menit dan menciptakan hening diantara mereka. Tak ada yang saling memulai untuk memecahkan keheningan. Hingga tiba-tiba Ardeki berkata “This is the best day ever, Jangan lupakan hari ini ya” ucapnya lembut lalu mengacak rambut Nila dan mengecup dahinya lembut.

“Good night” katanya memberi salam untuk terakhir kalinya pada malam ini. Nila masih membatu ditempatnya berdiri. Entahlah, ia merasa dirinya susah untuk digerakkan saat ini. Terlebih lagi setelah gadis itu diberi sebuah kiss on her forehead. Ia sama sekali tidak bisa menyangkal kalau ia sedang ‘dying’ didalam. Nila melambaikan tangannya pada Ardeki yang sudah menjauhinya dengan membawa motornya.

Nila tersenyum lebar didepan rumahnya. Ia seperti seorang bodoh yang sedang tersenyum sendiri. Katakan saja ia gila karena mungkin itu yang akan dipikiran orang jika ada yang melihat dia. Dengan melangkah riang gadis itu berjalan memasuki rumahnya.

Yeah, this is the best day ever!
Dalam hatinya ia sangat menyetujui ucapan Ardeki untuk apa yang telah terjadi pada hari ini.

*


Nila berjalan memasuki ruangan kelasnya. Ini masih pukul 7.00 pagi, dan gedung kampusnya masih terasa sepi. Entah kenapa dengan sangat tidak biasa ia datang lebih dulu daripada temannya Liona. Tapi baguslah, ia tidak akan berurusan dengan Mr. Underhill lagi. Sudah cukup ia dilempari soal-soal matematika oleh dosen itu. Dan sekarang, ia kapok!

Dikelas hanya ada beberapa orang saja. Nila lebih memilih untuk menunggu sahabatnya daripada berbincang dengan teman sekelasnya yang sudah datang. Tapi kemudian ia teringat sesuatu lalu memanggil seorang pria.

“Marcus” panggilnya pada seorang pria yang duduk didekat jendela. Marcus menolehkan kepalanya lalu bertanya “What?”

Nila beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Marcus.

“Can you help me?”

“Help for what?”

“Kau tau aku sedang dapat tugas dari Mr. Underhill, dan aku ingin kau menolongku. Aku lemah dalam matematika. Can you?”

Marcus terlihat berpikir sejenak. Kemudian tersenyum. “Mau bayar berapa?” tanya Marcus bercanda “No! Kau perhitungan sekali sih!”

“Hahaha aku hanya beranda. Okay, i’ll help you then”

“Great, aku temui kau nanti” Nila tersenyum girang. “Thanks before”

Dengan tersenyum giran, Nila langsung kembali duduk dibangkunya. Dan tak lama kemudian Liona datang lalu bergabung bersamanya.

Nila bisa melihat gadis yang baru datang itu sedang gusar. Liona mendengus kasar. Terlihat sekali bahwa ia tidak dalam mood yang baik.

“Hey, kenapa kau terlihat kacau begitu?” tanya Nila mengerutkan keningnya.

“Nothing” jawabnya singkat. “Don’t lie to me”

“Yeah, memang tidak ada apa-apa”

“Bohong! Ceritakan padaku”

“Yes, i’ll but not now okay? Aku harus menyegarkan otakku dulu untuk mata kuliah hari ini” jawab Liona

“Oke, terserah kau mau cerita kapanpun. Eh tapi bukankah kau seharusnya senang setelah pergi bersama Henry kemarin?”

“Yeah.. tapi... Ahhhh sudahlah!!!!” Liona mengacak-acak rambutnya gusar. Sepertinya ia benar-benar sedang tidak mood dan tidak ingin diganggu dulu. Nila lebih memilih diam daripada ia harus terkena omelan Liona.


*

Setelah beberapa jam Liona dan Nila mengikuti dua mata kuliah, akhirnya mereka mengistirahatkan otak mereka ke cafetaria di kampusnya.

Nila bisa mendengar Liona sedang mendongeng tentang apa yang telah terjadi padanya kemarin. Dia bercerita panjang lebar hingga matanya pun mulai memerah. Seperti ingin menangis.

“Dan aku menjambak rambut gadis itu. Well, aku tak akan mulai jika dia tidak menyentuhku! Tapi dia menamparku duluan. Hey, siapa yang tidak marah ditampar oleh gadis lenjeh seperti dia. Dia bilang aku mengambil Henry darinya! Aku tidak merasa karena aku memang tidak melakukannya! Dan akhirnya, kami bertengkar dikamar mandi. Untung saja kamar mandi itu sepi...” Liona bercerita panjang tentang dirinya. Nila hanya mendengar dengan setia dan mengangguk sambil sesekali bertanya pada Liona untuk memperjelas.

“Lalu bagaimana dengan Henry?”

“Aku meninggalkan dia, aku langsung pulang tanpa menghiraukan dia lagi. Siapa sangka pria kutu buku seperti dia bisa playboy seperti itu”

“Dia tidak playboy, Lio. Menurutku sih gadis itu memang yang terlalu over padanya. Positife thinking!”

Liona terdiam sejenak. “Ya, memang dia bilang gadis itu ex-girlfriendnya”

“Nah, kau sudah dengar sendiri ‘kan? Berbaikanlah, aku pikir kalian akan jadi sepasang kekasih dalam waktu dekat”

“Tidak mau..” Liona memanyunkan bibirnya dan kembali menelungkupkan wajahnya dimeja cafe.
“Itu terserah mu saja. Aku hanya memberi saran”
Mereka terdiam sejenak. Sepertinya Liona sedang benar-benar tidak mood. Hingga pelayan datang menghampiri mereka dan memberikan pesanan. Nila mengucapkan terima kasih pada pelayan itu.

Liona mengernyitkan dahinya. Melihat Nila dengan heran.

“Hey, dimana gelangmu? Kau tidak pakai?” tanya Liona.

“Ada disini-” kata-kata Nila terputus ketika ia tak merasakan sebuah gelang ditersangkut ditangannya. Ia kaget lalu melihat Liona dengan panik. “Tidak ada!”

“Seharusnya ada disini. Aku tidak pernah melepaskan gelangku itu”

“Kau yakin kau sudah memakainya sejak dirumah tadi?” tanya Liona

“Aku selalu memakainya Liona” jawab Nila yang sedang membongkar seluruh isi tasnya. Berharap benda itu ada ditasnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kalau benda itu benar-benar hilang. Mungkin saja, Ardeki akan marah. Itu salah satu benda yang berharga bagi gadis itu.

“Oh god” Nila meringis panik, ia masih mencari dengan teliti benda itu didalam tasnya.

“Apa mungkin benda itu terjatuh? Kau mau kita kembali kekelas untuk mencarinya?”
Nila mengangguk. Tanpa basa-basi lagi, mereka berdua langsung berdiri dan berjalan ke kelas mereka.

Liona ikut membantu mencari benda berwarna perak itu disegala penjuru sudut setelah mereka sudah tiba dikelas yang mereka pakai tadi. Nila mengacak rambutnya kesal. Sekarang Nila lah yang terlihat kacau.

“Aduh bagaimana kalau benar-benar hilang? Ardeki pasti akan marah” kata Nila putus asa. Liona menghampirinya dan mengelus bahunya. “Kita akan terus mencarinya. Kau bisa ingat-ingat lagi? Apa yang kau lakukan kemarin? Mungkin saja jatuh ditempat yang masih bisa kita jangkau”

“Kemarin?”

Nila memutar memorinya kembali. Ia tak ingat apa-apa, yang ada didalam otaknya hanyalah memori bahagia yang kemarin ia lalui bersama Ardeki. Atau mungkin karena terlalu senang bermain bersama pria itu, ia jadi tidak sadar gelangnya terjatuh?

“Pasti ditempat kemarin” ucap Nila pelan. “Apa?”

“Kemarin aku sempat kehujanan ditaman dekat waterfall. Mungkin saja gelang itu jatuh disana”
Liona menaikan alisnya “Mungkin saja, ayo kita kesana” Liona langsung menariknya keluar dari kelas lalu berlari kearah waterfall yang jaraknya lumayan sangat jauh dari kelas itu.
Sekitar beberapa menit kemudian. Nila dan Liona tiba tepat ditaman kampus mereka. Tempat itu sudah tidak basah seperti kemarin. Nila melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit. Ia mencari dengan sangat teliti, seolah tak mau ketinggalan seinchi pun.

“Bagaimana?” Tanya Liona. Nila menggeleng. “Tidak ada” matanya memerah. Sepertinya ia akan menangis. “Apa yang harus aku katakan kalau dia tanya?” Nila bertanya bingung.
“Aku tidak tau, bagaimana kalau beli gelang yang sama persis dan sejenis? Jadi tidak akan ketauan”

Nila menggeleng. “Tidak mungkin”
Liona langsung memeluk tubuh Nila untuk menenangkannya. “Ssshhh.. jangan nangis! Kalau Ardeki melihat bagaimana?!”

“Aku tidak nangis!”
Liona nyengir mendengar pernyataan Nila. Padahal sudah jelas matanya merah tadi. “Well, what should we do now?”

“Kita tidak mungkin menemukan benda sekecil itu ditempat sebesar kampus kita ini” lanjut Liona.
Liona benar, itu tidak mungkin sama sekali. Gelang itu pasti sudah berlari terbawa arus hujan atau hancur dan tak akan mungkin ditemukan.

“Kau benar”

“Lalu?”

“A-aku..aku tidak tau” jawabnya. Liona bisa melihat wajah kebingungan sahabatnya itu. Nila mendengus kasar.

“Kalian membuat diri kalian terlihat seperti lesbian, kalian tau itu?”
 sebuah suara familiar mengagetkan Nila dan Liona. Suara itu terkekeh setelah mengatakan hal yang membuat kedua gadis itu kesal. Liona melemparkan tatapan pembunuh pada Liona.

“Dan kau membuat dirimu terlihat seperti tidak punya sopan santun!” balas Liona ketus. Nila hanya tertawa kecil.

“Waw, calm down” Ardeki semakin tertawa mendapatkan cecaran dari Liona. Nila hanya menggelengkan kepalanya pada mereka berdua.

“Baiklah, sepertinya aku harus pergi dari sini. Aku tak mau mengganggu” kata Liona lalu meraih tasnya dan pergi menjauhi mereka berdua.

“Aku temui kau dikelas Lio” teriak Nila, Liona mengangguk dari kejauhan sebelum menghilang dari pandangan Nila.


“Gadis itu kenapa sih?” tanya Ardeki sambil bergidik ngeri. “Kau tau Liona galak ‘kan?”

“Iyasih, apa ada pria yang tahan bersamanya?”
Nila menginjak kaki Ardeki dengan cukup keras. “Aw!!” Ardeki meringis kencang. “Berhenti meledeknya!!”

“Ya ya ya”

“Sedang apa kau disini?” tanya Ardeki pada Nila. “Aaa.. hanya sedang..” Nila memutar otaknya, mencoba mencari alasan yang tepat.

“Sedang?”

“Em..men-mencari udara segar” ucap Nila gelagapan. Ardeki hanya mengangguk “Oh”
Nila mendengus pelan. Untunglah ia tidak curiga.
Mereka berdua kemudian duduk ditempat kemarin. Namun tiba-tiba Ardeki tertawa. “Kau gila?” Nila menaikan alisnya melihat pria itu tiba-tiba tertawa.

“No, hanya saja aku merasa bodoh saat melihat tempat ini. Kemarin benar-benar hari yang mengesankan”

Nila hanya diam, ia tidak tau harus berkata apa. Mulutnya terasa malas untuk digerakkan. Ia bingung, apa benar kemarin hari yang mengesankan? Bukankah karena kemarin ia jadi kehilangan gelang pemberian Ardeki?
Dan yang paling bodoh adalah kenapa ia baru sadar ia kehilangan benda itu siang tadi?
Nila menundukan kepalanya bingung.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Ardeki yang mulai menangkap ada sesuatu yang tidak beres. “Ya, aku tidak apa-apa” Nila memaksakan sebuah lengkungan senyum dibibirnya.

“Aku hanya bingung dengan tugas yang diberikan Mr. Underhill padaku kemarin” jawab Nila. Mungkin saja alasan ini bisa ia gunakan untuk menimpah kebohongannya.

“Ohya, aku lupa kalau kau punya tugas. Mau kubantu?”

“Tidak perlu, aku sudah meminta Marcus untuk membantuku”
Ardeki mengernyit. “Marcus?” katanya.

“Yes, why?” Nila balik bertanya. “Kau meminta tolong Marcus? Kenapa?”

“Karena dia ahli dalam matematika, kau tau sendiri ‘kan?”

“Iya aku tau itu, tapi kenapa harus dia?”

“Aku sudah mengatakan alasannya barusan Ardeki. Dia ahli dalam matematika dan mungkin saja dia bisa menyelesai dalam waktu singkat” jelas Nila yang masih menatap Ardeki heran.


“Haha, ya kau benar. Dia pintar, tampan dan idaman semua gadis ‘bukan?” Ardeki berkata dengan nada sedikit sinis. “Hei, ada apa denganmu? Aku hanya minta tolong, tidak lebih”

“Semua gadis-gadis menyukai Marcus, aku tau itu. Tapi setidaknya, kau bisa meminta izin terlebih dahulu padaku ‘kan?”
Nila mulai tidak menyukai situasi ini. Ia bisa melihat ekspresi marah yang terlihat dimata Ardeki. Nila sendiri masih tidak mengerti kenapa pria itu malah marah-marah tidak jelas.

“Kau cemburu?” tanya Nila hati-hati. Ardeki terdiam sejenak, ia tidak menjawab pertanyaan itu selama beberapa detik sampai kemudian Ardeki bertanya.

“Kemana gelangmu?” tanyanya heran. Ia langsung melihat kewajah Nila yang sekarang sudah berubah menjadi panik. Nila membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Ardeki sebiasa mungkin.

“A-aku, aku meninggalkannya dirumah” jawabnya

“Kenapa kau tinggalkan dirumah? Bukankah kusuruh kau untuk memakainya setiap saat?”

“Ya, aku tau itu! tapi aku hanya tak ingin gelang itu hilang” Nila membela dirinya. Padahal Nila sendiri sudah tidak tau dimana gelang itu berada.
Ardeki menatap Nila dengan pandangan menginterogasi. Ia bisa melihat sesuatu yang salah disana. “Kau menghilangkannya?” tanya Ardeki. Nila membulatkan matanya dan berkata “What?”

“Kau menghilangkan gelang itu ‘kan?” Ardeki mengulang pertanyaannya. “Aku tidak bilang aku menghilangkannya”

“Bisakah kau berkata jujur padaku? Aku bisa melihat kau gelisah dan aku tau kau menghilangkannya”

“Ardeki, aku bahkan belum sempat menjawab pertanyaanmu itu!” bentak Nila. Ardeki tersenyum sinis. “Kalau begitu jawab! Jawab pertanyaanku. Kenapa kau menghilangkan benda itu ‘huh? Kau sudah tidak peduli lagi padaku lalu sengaja menghilangkannya begitu saja?” suara Ardeki meninggi dari sebelumnya.

“How could you said that?” Nila tidak percaya kalau Ardeki berkata seperti itu pada dirinya.
“Karena memang itu yang kau lakukan padaku! Kau menghilangkan benda itu dan berlagak seolah tak terjadi apa-apa. Kau meminta Marcus untuk mengerjakan tugasmu sementara aku yang kekasihmu tidak kau anggap sama sekali”

“Itu karena aku tak ingin menyusahkanmu”

“Yeah, aku tau itu. Selalu itu yang kau katakan padaku!”
Pipi Nila terasa memanas. Ia menggigit bibir bawahnya menahan agar air mata tak keluar menjatuhi pipinya.

Ardeki mengangguk “Ya, aku tau itu. Karena mungkin dimatamu aku bukan siapa-siapa” katanya sambil mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Nila sama sekali tidak bisa percaya Ardeki mengatakan hal itu padanya. Ia menganggap dirinya bukan siapa-siapa? Bagaimana bisa? Ia sudah pusing setengah mati untuk mencari gelang pemberian pria itu dan sekarang ia hanya bisa marah-marah pada Nila?

Nila ikut berdiri lalu berkata. “Ya, Aku memang menghilangkan gelang pemberianmu! Aku mencari benda itu keseluruh penjuru kampus ini dan kau mengatakan dengan seenaknya saja kalau aku sengaja menghilangkan benda itu! Aku meminta Marcus mengerjakan tugasku karena memang aku membutuhkannya untuk tugas, bukan untuk bersenang-senang!”

“Ya, karena mungkin Marcus memang jauh lebih sempurna dari pada aku jadi kau bisa meminta bantuannya. Karena dia pintar matematika dan aku hanyalah seorang pria bodoh yang pernah ditertawakan karena matematika. Aku tau itu” kata Ardeki akhirnya. Nila tak bisa menahan air mata yang sudah mendobrak untuk keluar dari kedua bola matanya.

“I better go” Ardeki tersenyum kecil lalu berjalan meninggalkan Nila. Mereka bertengkar. Nila yang tidak tahan pun berkata setengah berteriak “Ya, pergilah. Kau bisa mencari gadis lain yang bisa kau hibur dan membutuhkan bantuanmu. Dan benar, kau hanyalah seorang pria yang menjadi bahan tertawaan saat pelajaran matematika. Aku tau itu semua!”
Nila membelalakan matanya ketika ia melihat Ardeki menoleh kearahnya dan menghentikan langkahnya. Nila menutup mulutnya dengan tangannya. Ardeki memandangnya dengan kaget lalu berkata “Terima kasih”

Saat itu juga air mata jatuh dengan mudahnya membasahi pipi gadis itu. Ia menangis terisak disana. Mulutnya terlalu lepas kendali dan tidak bisa berhenti saat ia mengatakan hal itu pada Ardeki. Nila bahkan bisa merasakan bagaimana sakit hatinya pria itu saat ia mengucapkan kata-kata dalam itu pada Ardeki. Ia merasa menjadi gadis paling bodoh didunia. Bagaimana bisa ia mengatakan kata-kata menusuk itu untuk kekasihnya sendiri!
Nila menghapus cepat-cepat air mata dipipinya dengan tangannya. Air mata itu sudah tidak bisa ia tahan lagi. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Ia kehilangan gelang berharga dan sekarang ia akan kehilangan kekasihnya. Dan itu semua karena ulahnya yang terlalu sembrono. Ia menyesal. Ia tau kata maaf tak akan pernah cukup untuk pria itu.

*
Setelah kejadian pertengkaran itu. Ardeki tidak terlihat saat mata kuliah terakhir kemarin. Nila tidak tau ia kemana. Ia sebenarnya tau kebiasaan buruk pria itu yang suka membolos kuliah jika ada masalah.

Pengecut. Ujar Nila dalam hati. Suasana hati Nila sama sekali tidak enak saat ini. Intinya dia sedang dalam mood yang tidak baik. Ia juga belum menceritakan kejadian kemarin pada Liona. Ia tak ingin menambah beban sahabatnya itu, ia tau Liona juga sedang punya masalah dengan kakak kelas itu. Jadi ia lebih memilih untuk sendiri dulu.

Nila memasuki ruangan kelas dengan sangat lemas. Ia sedang malas untuk mengikuti mata kuliah hari ini. Tapi jika ia diam dirumah, pikiran tentang kejadian kembali menghantui otaknya.
Ia menemukan Marcus duduk ditempat duduknya didekat jendela. Nila langsung menaruh tasnya ditempat duduk yang akan ia duduki nanti dan mengambil kertas lalu menghampiri pria itu dan duduk tepat dihadapannya.

Mungkin ini bissa membuatnya sedikit melupakan kejadian kemarin. Mengerjakan tugas.

“Marcus, bisa kau tolong aku sekarang?” Tanya Nila. Marcus mengangguk kearahnya “Sure”
Marcus mengambil kertas yang berisi soal-soal memusingkan itu dan menjelaskannya pada Nila. Rumus-rumus itu semakin lama semakin memusingkan diotak Nila, ia sama sekali tidak bisa membayangkan jika ia harus mengerjakan ini sendirian tanpa Marcus. Tiba-tiba gadis itu teringat oleh kata-kata Ardeki kemarin. Pria itu tidak menghubungi Nila semalam. Tidak bisa ia pungkiri bahwa ia sedang memikirkan dan mengkhawatirkan gadis itu.

“Kau mengerti?” tanya Marcus. Nila tergelak “Apa?”

Marcus menyipitkan matanya pada Nila “Kau tidak mendengarkanku ya?”

“Dengar kok”

“Lalu tadi?”
Baru saja Nila ingin menjawab pertanyaan Marcus namun seseorang pria membuka pintu kelas dan membuat perhatian keduanya teralih kepria yang sedang berdiri diambang pintu.
Itu Ardeki. Ya, pria itu tentu saja melihat pemandangan yang menurutnya masih terlalu pagi untuk harus ia lihat. Hatinya terasa remuk setelah melihat Nila dan Marcus duduk berdekatan, dengan posisi Marcus berada dihadapan Nila. Memang mereka tidak melakukan apapun, tapi kelas sepi. Bisa saja mereka berdua melakukan sesuatu kan? Tapi mengingat Nila gadis baik-baik jadi ia bisa menampik pikiran itu. Walaupun itu sulit, apalagi otak Ardeki sudah dipenuhi dengan pikiran negatif akan gadis itu.

Bukannya masuk kedalam kelas Ardeki malah berkata “Maaf aku mengganggu kalian, teruskan saja” ucapnya lalu menutup pintu dengan cukup keras dan hampir membantingnya.
Nila menutup matanya ketika ia mendengar bunyi bantingan pintu itu. Marcus mengernyit dan memandang Nila heran. “Ada apa dengan dia?” tanya Marcus pada Nila. Nila menggeleng “Aku tidak tau”

Marcus masih belum percaya lalu menatap Nila yang sedang kacau. “Kalian sedang ada masalah ya?”

“Kenapa tanya?” Nila balik bertanya. “Karena aku ingin tau”

Nila mendengus kasar lalu menatap Marcus. Mungkin Marcus bisa menjadi tempat ia mencurahkan isi hatinya. “Kau mau mendengarkan cerita membosankan aku?” Nila bertanya sekali lagi. Marcus menganggukan kepalanya.

“Jika kau tidak keberatan aku mendengarnya”
Nila mulai menceritakan semua kejadian kemarin. Ia menceritakannya kepada pria yang tadi seharusnya mengajarkannya matematika. Ia menjelaskan semua yang terjadi pada Ardeki dan dirinya kemarin. Marcus sedikit tertawa ketika ia mendengar namanya dalam cerita itu.

“Haha. Apakah aku harus bilang padanya kalau aku hanya membantumu mengerjakan tugas?” Marcus masih tertawa. “Tidak perlu, dia pasti akan menganggapmu kalau kau meledeknya”

“Hahaha benar juga. Kau tenang saja, dia pasti akan meminta maaf lagi padamu. Aku yakin sekali. Yah walaupun itu sepenuhnya salahmu karena menghilangkan gelangnya” kata Marcus sambil tersenyum. “Ya, semoga saja” Nila membalas senyuman Marcus.

“Baiklah, aku tau kau pasti tidak bisa konsentrasi untuk mengerjakan tugas ini. Bagaimana kalau aku saja yang mengerjakan?” Marcus menawarkan diri pada Nila. Nila sedikit tidak percaya kalau pria ini barusan menawarkan sesuatu yang mungkin sedang ia harapkan.
“Benarkah?”

“Ya, tapi kau harus bayar dengan secangkir capucino di cafetaria. Bagaimana?”

“Oke” Nila tersenyum lalu mengucapkan terima kasih pada pria itu. Tak diduganya ternyata pria itu lumayan baik juga.


*

“Yeah~ memang sepertinya setiap pria harus punya kecemburuan sosial pada Marcus hahhaa” komentar Liona ketika mereka sudah berada dikoridor kampus setelah jam pelajaran usai. “Tapi itu berlebihan Lio”

“Mungkin, tapi kata-katamu itu memang sudah menyakiti hatinya. You have to apologize honey. Kalau kau tak ingin kehilangan kekasihmu” ucap Liona memberi saran. Nila mengangguk. “Ya, aku akan meminta maaf. Tapi... aku tidak tau kapan. Hubungan kami semakin memburuk”


“Nila!!” suara kencang seorang gadis membuat Nila dan Liona menghentikan langkahnya dan menolehkan kepalanya pada gadis itu.

“Jenny?” gadis yang bernama Jenny itu menghampirinya dengan berlari kecil.

“Hai Nila, Hai Lio” sapa gadis mungil itu pada Nila dan Liona. “Hai” balas Liona dan Nila bersamaan.

“Aku hanya ingin memberikan ini padamu Nila” Jenny memberikan sebuah benda yang ia genggam ditangannya. “Is this yours?” tanya Jenny setelah menunjukan sebuah gelang berwarna perak itu pada Nila. Nila memelototkan matanya tidak percaya.

“Ya! Ini gelangku! Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Nila tidak percaya, ia langsung mengambil gelang itu dari genggaman Jenny. Jenny tertawa. “Kau itu memang ceroboh sekali ya. Aku menemukannya didekat taman kemarin. Untung saja tidak jatuh kedanau” Jenny menjelaskan.

“Bagaimana kau tau itu milik Nila?” Liona bertanya. “Marcus menceritakan padaku kalau Nila kehilangan gelangnya dan kupikir ini milikmu, jadi aku kembalikan” jelas Jenny lagi.

“Oh ya tuhan, kupikir benar-benar sudah menghilang. Thank you so much Jen” ucap Nila berterima kasih. “You’re welcome” jawab Jenny. “Jaga baik-baik gelang itu, jangan sampai hilang lagi” Jenny mengingatkan

“Terima kasih, Jen” Liona ikut memberikan kata terima kasih pada teman sekelasnya itu. “Ya, sama-sama. Aku pergi dulu ya”
Nila dan Liona langsung berteriak bersamaann ketika Jenny sudah pergi menjauhi mereka. Perasaan senang Nila tak bisa ia tutupi sekarang. Gelang itu sudah kembali ditangannya sekarang.


*


Sore pun tiba. Matahari mulai ingin turun dari tempatnya dan terlihat ingin menampilkan sunset di sore hari itu. Nila dan Liona masih belum memilih untuk pulang kerumah mereka. Mereka berdua malah berbaring disebuah rumput hijau dibelakang kampusnya. Ini tempat favorite Nila dan Liona. Mereka selalu menyempatkan diri untuk kesini jika ingin menangkan hati mereka. Tempatnya sangat damai dan asri. Banyak pohon-pohon rindang yang membuat udara disana sangat sejuk dan tenang.

Liona membangkitkan tubuhnya hingga posisinya menjadi duduk. Ia menghembuskan nafas lalu menatap Nila disampingnya. “Lebih baik kita foto-foto saja” Liona mengusulkan. Nila menoleh kearahnya masih dengan posisi berbaring “Kau bawa kamera ‘kan?” tanya Liona. Liona selalu teringat bahwa gadis itu adalah pecinta lomo dan tidak pernah lepas dari kamera lomo-nya.

“Ya, aku bawa” Nila menimpali lalu mengambil sebuah kamera berbentuk unik bernama Holga.
“Well, karena suasana hati kita benar-benar sedang tidak baik. Kurasa kita bisa sedikit berfoto-foto untuk menghapus segala kekesalan kita” ucap Liona. Nila tersenyum. “Mungkin”
Liona langsung menghampiri sebuah pohon didekat sana lalu berpose. “Foto aku disini! Buat aku terlihat cantik yaaa!” perintah Liona sedikit berteriak. Nila hanya mengangguk saja. Jujur saja, ia sedang malas untuk hunting foto saat ini. Walaupun gelang itu sudah ditemukan, ia masih belum bisa berhenti memikirkan pria itu. Ia ingin meminta maaf pada Ardeki, tapi ia terlalu gengsi untuk memulainya. Padahal semua kesalahan ada pada dia.
Nila terus mencari pemandangan yang bagus untuk huntingannya. Ia mengarahkan fokus kameranya itu kesegala arah dan mencoba untuk mencari objek yang bagus. Yah, sekarang ia bisa mengakui kalau suasana hatinya menjadi jauh lebih baik setelah ia memegang kamera lomonya.

“Bagaimana hasilnya?” Liona bertanya sambil menghampiri Nila. Nila menunjukan hasil potretannya kepada Liona “Cukup bagus” komentar Liona.
Tiba-tiba handphone Liona bergetar, ia buru-buru mengambil benda yang menghasilkan getaran itu dari tasnya. Lalu melihat sejenak kedalam layar handphonenya. “Is there something wrong, Lio?” Nila bertanya penasaran melihat ekspresi Liona yang sedang kebingungan. “Eum, i dont know. Henry wants me go to the cafe. Should i come to him?”

Nila mengangguk cepat “Tentu! Kau harus kesana, Lio. Mungkin ia ingin meminta maaf atau mengatakan sesuatu yang penting padamu. Ayo cepat hampiri dia” kata Nila bersemangat. Tapi wajah Liona masih terlihat bingung. “Tapi.. i wont leave you”

“It’s okay babe, i can take care myself”

“Okay. I’ll go to him then”

“Kau harus langsung pulang okay? Jangan pernah katakan kalau kau malas untuk pulang kerumah!” ancam Liona pada Nila, gadis itu hanya tertawa mendengar ancaman Liona. “Yeah, i’ll go home”

“Text me, jika kau sudah sampai dirumah” ujar Liona sebelum ia benar-benar meninggalkan Nila ditempat itu.

Kini Liona sudah pergi menemui Henry, dan sekarang Nila sendirian ditempat itu. Ia kemudian duduk di rerumputan itu kemudian tersenyum sendirian. Ia masih malas untuk pulang kerumah.
Entahlah, Nila memang paling malas untuk berada dirumah. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan tidak jelas bersama teman-temannya.

Ia menatap kearah matahari yang terbenam lalu terkejut melihat sunset yang ada dihadapannya.
Ia meraih kamera lomo-nya lalu mengarahkan fokus kamera itu pada sunset. Warna orange dan merah yang beradu menjadi langit gelap terlihat bagus dikameranya. Ia tidak sabar untuk melihat hasil potretannya dan menunjukannya pada teman-temannya. Ini pasti menjadi salah satu karya terbaiknya selama ia menggunakan kamera lomo.

“Lihat siapa yang belum pulang disini” sebuah suara yang sangat Nila hapal terdengar dibelakangnya. Gadis itu membalikan tubuhnya dan begitu terkejut melihat Ardeki berada disana.

Apa yang dia lakukan disini?

“What are you doing here?” tanya Nila heran. Ia menatap Ardeki bingung. Kenapa pria itu bisa menemukan dirinya disini?

“Memperhatikanmu dan memastikan kau pulang dengan selamat” jawabnya lalu berjalan menghampiri Nila dengan sikap cuek dan santainya.

“Aku bisa menjaga diriku sendiri” Nila menimpalinya dengan jutek. Ardeki tertawa kecil
“Gadis sembrono sepertimu mana bisa menjaga diri sendiri”

“Lebih baik kau pulang daripada disini cuma untuk mengejekku”
Pria itu kembali tertawa mendengar kata-kata dari Nila. Langkah kakinya semakin mendekati Nila. Ia berhenti sejenak lalu melihat mata Nila langsung. Ardeki membuka mulutnya lalu berkata “Aku minta maaf” ucapnya pelan. Nila mengalihkan pandangannya ketanah yang ia pijak.

“Aku tau aku tak seharusnya bersikap bodoh seperti kemarin, aku sangat bertingkah kekanak-kanakan saat itu” Ardeki menjelaskan dengan suara yang pelan, tapi Nila masih bisa mendengar suaranya. Ia terdengar menyesal, Nila sendiri masih belum tau apa yang harus ia jawab.

Sampai akhirnya Nila mendongakan kepalanya dan tersenyum pada Ardeki. Nila bahkan tidak tau bahwa pria itu merasa tersiksa karena tidak melihat senyumannya dalam seharian ini.

“Itu bukan salahmu. Kemarin mulutku terlalu lepas kendali dan mungkin aku terlalu emosi jadi tidak sengaja mengatakan kata-kata itu padamu” jelas Nila dengan suara yang semakin mengecil ditiap katanya.

Ardeki mengacak-acak rambut Nila sambil mengembangkan senyuman dihadapan gadis itu. Harus Nila akui bahwa saat ini ia terpesona oleh Ardeki.

“Ardeki, aku minta maaf” ucap Nila pada Ardeki. “Aku sudah memaafkanmu” balas Ardeki yang masih belum bisa menghapus senyumannya.

“Tadi pagi Liona menghampiriku lalu memberikanku ini” Ardeki berucap sambil membuka sebuah sobekan selembar kertas yang berisi sebuah gambar waterfall dengan dua orang kecil yang sedang bertatapan didekat waterfall itu. Nila membelalakan matanya terkejut. “Darimana kau dapatkan itu? Itukan...”

“Liona memberikan ini padaku, ini yang kau gambar waktu kita bertemu di waterfall waktu itu ‘kan?”

Nila tak bisa menjawab, ia masih kaget. Bagaimana bisa Liona menemukan hasil gambarannya dan memberikan lembaran itu pada Ardeki. Jadi, ini semua rencana Liona? Apakah ia harus menjitak kepala sahabatnya itu besok? Tapi berkat Liona juga hubungan dia dan Ardeki jadi membaik.

“Dan siangnya, Marcus menghampiriku dan menjelaskan semuanya. Kalau dia dan kau itu hanya teman, dan dia hanya bermaksud untuk memberikan bantuan dengan mengerjakan tugasmu. Yaaa, aku mengerti itu semua sekarang” lanjut Ardeki. Nila menatapnya dengan tatapan skeptis “Kau ini juga bodoh sekali sih! Bagaimana bisa berpikir kalau Marcus tertarik padaku?! Aku dan dia hanya teman sekelas! Ingat itu!”

“Ya, tapi aku tak bisa tahan lagi kalau ada pria lain yang mendekatimu” timpal Ardeki santai.

Nila tertawa mendengar kata-kata Ardeki. Ardeki melihat sebuah benda yang tersangkut dilengan Nila. “Kau menemukan gelang itu?”

“Jenny yang menemukannya lalu mengembalikannya padaku” Nila menjelaskan sambil tersenyum kecil. “Baguslah, jangan pernah kau hilangkan itu lagi”
Nila mengangguk pelan masih dengan tersenyum. “Ya, tidak akan”
Langit semakin mulai gelap. Kedua orang itu masih berada ditempat itu dengan perasaan yang mungkin susah untuk diungkapkan. Ardeki menatap kemata gadis itu sekali lagi. Ia mengarahkan tatapan matanya untuk melihat langsung ke bola mata hitam milik Nila. “I love you” ucapnya pada Nila. Ia mengatakan itu dengan intonasi yang jelas. Ardeki meraih pinggang gadis itu dan memeluknya erat tapi lembut. Nila tak bisa berbohong pada dirinya sendiri, ia tidak bisa berbohong kalau dia sangat menyukai saat-saat seperti ini. Ia merindukan saat dimana Ardeki memeluknya lembut dan merasakan waktu akan berputar lebih cepat dari biasanya.

“I love you too” bisik Nila tepat ditelinga Ardeki. Suara gadis itu begitu menggelitik ditelinga Ardeki, dan detik demi detik pelukan Ardeki semakin mengerat, seakan ia tak akan meninggalkan, melepaskan atau membiarkan Nila pergi dari sisinya.

“Remember, you’re mine. Whatever you do and wherever you go” Ardeki membisikan kata-kata itu ditelinga Nila. Nila tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya untuk membuat lengkungan senyuman. Ia merasa nyaman pada saat seperti ini.
Kemudian Ardeki melepaskan pelukannya dan kembali menatap mata gadis itu. Tangan kanannya terulur lalu mengelus pipi Nila pelan dan lembut. Mereka kembali berpandangan, seolah tak ada mereka sangat tidak bisa untuk mengalihkan pandangan kearah lain. Dahi mereka kini bersentuhan, jarak mereka hanya terpaut beberapa senti saja. Kini Ardeki dan Nila bisa merasakan nafas mereka yang memburu.

Then, Ardeki kiss her on the lips and she kiss him back. Bibir mereka berdua bersentuhan. Nila tak bisa melawan, tapi harus ia akui hal ini adalah hal yang pertama kali ia lakukan. She gave her first kiss for Ardeki. Kekasihnya.
Ia bisa merasakan efek roller-coaster berada diperutnya sekarang. Ardeki mengecup pipinya lembut seakan tak ada hari esok. Seakan mereka akan menghabiskan waktu dan hidup mereka disini.

Satu hal yang tak bisa mereka berdua pungkiri adalah mereka berdua mempunyai perasaan yang sama. Walaupun sesuatu yang romantis tak pernah mewarnai kisah cinta mereka. Tapi kini, Nila dan Ardeki merasakan ia lah satu-satunya.

*






Ya, aku tau cerpen ini gabanget... T___T

ini sekuel dari You've Fallen for Me yang aku bikin. maaf banget kalo hasilnya mengecewakan.

terima kasih udah baca :')

leave a comment please :)



 

Icha's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review