Tittle : My Real Princess
Author : Icha Elias or Ummu Aisyah (@eliasicha on twitter)
Length : Series
Cast : Jenny Smith, Marcus Cavendish and all others
PS : cerita bersambung pertama gue, mohon dikomen.. maaf jelek banget m(_ _)m *deep bow*
“Huh~” Jenny mendesah kasar ketika melihat dosen matematikanya telah berjalan meninggalkan kelasnya. Begitu membosankan pikirnya. Ia begitu kesal ketika dosennya itu menjejalkan beberapa rumus-rumus matematika yang sangat amat tidak ia mengerti. Matematika merupakan salah satu pelajaran paling ia benci diantara semua pelajaran. Bahkan ia berani bersumpah, kalau ia akan menghapus pelajaran matematika jika ia sudah menjadi orang penting nanti. Pikiran yang begitu kekanakan bukan? -_-
“Ayo kita pergi dari sini, aku rasa aku ingin muntah” kata Jenny mendramatisir. “Kau terlalu berlebihan Jen” balas Shella.
Jenny sudah membereskan beberapa bukunya dimeja untuk dimasukkan kedalam tas-nya. Tapi tiba-tiba hal yang paling ia takutkan terjadi. “Tunggu, kalian jangan pergi dulu.. aku akan memberikan nilai matematika dari Mr. Underhill kemarin” kata Marcus yang berhasil menghentikan langkah kedua gadis itu. “WHAT????? Nilai? Nilai apa?” Jenny terkaget bukan main mendengar Marcus mengatakan ‘Nilai Matematika’ barusan. “Nilai ulangan matematika kemarin” jawab Shella. Keringat dingin membanjiri tubuh Jenny. Layaknya melihat hantu, ia sangat amat takut melihat nilainya dilihat oleh orang lain. Dan kali ini Marcus bilang, ia akan membagikan nilai? Dan apa artinya? Itu artinya, Marcus akan mengetahui kebodohannya dalam menghitung.
“Shella Wild” panggil Marcus kemudian memberikan selembar kertas nilai untuk Shella. Shella hanya tersenyum dan berkata “Terima Kasih”
Jenny yang berada disamping Seara hanya gelagapan dan mengacak-acak rambutnya. Ia sungguh tidak sabar untuk merebut kertas nilainya dari cengkraman Marcus agar ia tak melihat nilainya.
“Jenny Smith” panggil pria itu namun pandangan matanya tertuju pada kertas yang ia pegang –milik Jenny- alisnya berkerut melihat angka yang tertulis disana. “Hah? Dua puluh?” ucapnya. Jenny berjalan kearah Marcus dengan kesal dan merebut kertas miliknya dari cengkraman tangan Marcus. “HEH! Kenapa kau seenaknya melihat nilai orang hah??” cecar Jenny tak sabar. “Nilaimu dua puluh huh? Wow, aku baru kali ini melihat nilai sekecil itu” ujar Marcus tanpa ekspresi yang sama sekali tidak merasa bersalah. Apa dia bilang? Ia baru pertama kali melihat nilai begini?
Jenny hanya melemparkan pandangan kesal padanya. “Sombong sekali kau! Memangnya berapa nilaimu huh? Aku yakin pasti tidak berbeda jauh dariku kan?” balas Jenny tak mau kalah. “Kau benar-benar ingin tau nilaiku?” tanya Marcus, Jenny mengangguk yakin.
“Ehem.. Sembilan puluh lima” ucap Marcus penuh penekanan. Jenny tau, nada itu adalah nada mengejek karena nilainya sangat jauh berbeda. Sebenarnya Jenny sangat amat tau bahwa pria itu selalu sempurna disetiap mata kuliah, apalagi dengan Matematika. Bisa dibilang Marcus adalah satu-satunya pria yang akur dengan Matematika dikelasnya. Dan bodohnya! Kenapa gadis itu malah bertanya berapa nilai ulangan yang didapat Marcus. Jenny menghela nafas mencoba merendam amarah didirinya.
“Well, nilaiku masih lumayan meningkat dari sebelumnya” kata Jenny pelan. Ia mencoba membela dirinya didepan Marcus. “Meningkat?” Marcus mengangkat alisnya. Dalam hatinya ia berkata. Segitu meningkat? Bagaimana nilai dia sebelumnya. Tanpa disadari Marcus tersenyum tipis melihat kelakuan gadis dihadapannya.
“Kenapa tersenyum begitu?!”
“Tidak tidak..” Marcus menggeleng masih dengan tersenyum memandang Jenny. “Oya, tolong jangan beritahu siapapun nilaiku ini ya” bisik Jenny diteling Marcus.
“Pentingkah orang bertanya nilai meningkatmu itu?”
“Aishh.. kau ini!” gerutu Jenny kesal. Bagus, hari ini ia sudah dibuat kesal setengah mati oleh pria yang menjadi idola dikampusnya ini. Dengan sebal, gadis itu berjalan menjauh dari Marcus dengan gerutuan panjang pendek kemudian menarik Shella dari kelas yang telah membuatnya mumet itu. Sementara pria itu hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
***
Jenny menghempaskan tubuhnya dikursi cafeteria kampusnya diikuti dengan Shella tentunya. Mereka berdua telah memesan dua buah cappuccino untuk menemani istirahat mereka. Shella yang sedang membaca komik bisa melihat sebuah raut tak enak yang dikeluarkan oleh sahabatnya.
“Hei, kenapa wajahmu jelek begitu?” tanyanya langsung, Shella hanya memberikan ekspressi herannya setelah membawa embel-embel ‘jelek’ dikalimat pertanyaannya tadi.
“Aish, memang kapan aku cantik?”
“Aku serius! Apa karena nilaimu?” tebak Shella. Sebetulnya tebakan Shella sangat amat benar. Itulah yang membuat gadis itu dari tadi gelisah, sebenarnya bukan karena nilai saja. Jenny masih bisa saja untuk santai dengan nilainya. Tapi tadi ia baru saja menerima kenyataan bahwa ada seorang pria tampan melihat nilainya! Okay, mungkin itu berlebihan. Seharusnya ia biasa saja karena nilai itu adalah hasil dari jerih payahnya bukan akibat menyontek dari sebelah kanan dan kirinya. Iya, seharusnya ia harus sedikit…bangga.
Jenny tidak menjawab pertanyaan Shella, ia hanya menerungkup diatas meja dengan menghentakan kakinya kencang-kencang dilantai.
“Memangnya berapa nilaimu?” tanya Shella lagi. Entahlah kenapa hari ini Seara begitu banyak bertanya. Itu terlalu berisik bagi Jenny apalagi ia bertanya mengenai MATEMATIKA. Itu hal yang sangat ia benci. Sangat.
Jenny mengangkat kepalanya kemudian mengambil kertas dari tasnya dan menunjukannya tepat didepan mata Shella. Mungkin ia sedang malas untuk menyebutkan nominal nilainya itu.
“Waw” mata Shella membelalak. Sebenarnya Jenny tau, sahabatnya itu pasti sedang terkejut melihat Jenny yang tak pernah ada peningkatan dalam nilainya.
“Ehem, baiklah.. aku tak akan bertanya lagi! Tapi izinkan aku tanya sekali lagi..okeh, aku janji untuk yang terakhir. Lalu kenapa kau begitu lesu? Bukankah itu hal yang biasa?”
Jenny menarik nafas. Ia masih bisa menjaga emosinya untuk Shella kali ini. Padahal tangannya sudah sangat gatal ingin mencekik leher Shella agar tidak berbicara lagi.
“Tidak, bukan.. bukan masalah itu. Mungkin ini agak sedikit konyol, tapi aku..” Jenny menghentikan kata-katanya setelah ia melihat seorang pelayan di cafeteria mengantarkan 2 gelas cappuccino dan makanan kecil. Mencegah agar pelayan itu tidak menguping apa yang sedang ia bicarakan bersama Shella. Dan tentu saja, gadis itu telah menyimpan kembali kertas jawaban beserta nilai ulangan matematika tadi kedalam tas-nya. Intinya ia tak mau ada seorang pun yang tau ia lemah di matematika!
“Terima kasih” ucap Shella setelah pelayan itu memberikan pesanan mereka. Setelah situasi aman, Jenny kembali membuka mulutnya dan meneruskan kata-katanya tadi. “Eum, sampai mana tadi? Ahya.. aku.. hanya tidak ingin orang-orang tau aku bodoh dalam matematika. Kau juga pasti tidak mau kan kalau temanmu itu dikucilkan dikelas hanya karena nilai jelek itu”
“Oh..” Shella mengangguk mengerti tapi kemudian ia bertanya lagi. “Kenapa? Bukankah-”
“Marcus” potong Jenny cepat. “Marcus?” Shella tambah heran.
“Dia melihat nilai dewa-ku itu” jawab Jenny singkat, ia menekankan kata dewa dikalimatnya yang artinya jauh berbanding terbalik dengan aslinya. “Hahahaha… jadi itu” Shella tertawa geli mendengar jawaban Jenny. Shella merasa Jenny terlalu percaya diri. Pria macam-macam Marcus tak akan pernah melakukan hal yang tidak penting begitu.
“Kau tenang saja, Marcus tidak akan membocorkan nilai dewa itu” kata Shella masih dengan tersenyum geli. “Yah, semoga” tanggap Jenny malas. “Oh.. aku tidak suka topik ini! kita ganti topik sekarang juga!” protes Jenny.
Shella menggoyangkan telunjuknya sok intelek kemudian ia menunjuk kearah belakang Jenny, seolah menyuruh gadis itu untuk menoleh.
“Hah? Apa?” Jenny heran. “Lihat gadis itu” suruh Shella dengan matanya. Arah pandang Jenny mengikuti Shella yang sedang melihat seorang gadis. Ia membuka mata lebar-lebar ketika ia melihat gadis itu berjalan kearahnya. Gadis itu.. cantik. Sangat cantik. Ia mempunyai senyuman yang amat sangat mematikan bagi para pria, rambutnya yang hitam tergerai punggungnya. Membuat aura gadis itu semakin terlihat seperti seorang.. Dewi. Iya, seorang dewi atau mungkin Princess. Apalagi didukung dengan pakaian yang sangat amat feminism dan sangat cocok dengan lekuk tubuhnya yang sempurna. Jenny pun hampir menelan ludah melihat mahluk itu melintas dihadapannya. Untunglah, Jenny masih normal.
Jenny sempat melihat gadis dewi itu melihat kearahnya sekilas. Dan beberapa detik kemudian gadis dewi itu memilih tempat duduk dimeja tepat didepan meja mereka. Gadis dewi itu menarik kursi dan duduk disana setelah menyibakan sedikit rambutnya kebelakang.
“Hoy!!” Shella melambaikan tangannya didepan wajah Jenny yang sedari tadi menatap gadis dewi itu tanpa berkedip. “Kau sudah melihatnya kan? Bagaimana menurutmu?” tanya Shella pada Jenny yang sepertinya masih belum terlalu konek akibat pesona sang dewi.
“Goddess” jawab Jenny singkat. Sepertinya Jenny benar-benar sudah terlalu silau karena melihat melihat aura sang dewi itu. Shella tersenyum lalu mengangguk. “Hem, tentu saja. Dia itu kekasih Marcus Cavendish” terang Shella kemudian menyeruput cappuccino miliknya.
UHUK! Jenny yang juga sedang meneguk cappuccino-nya harus mendapat resiko tersedak akibat pernyataan Shella.
“HAH???? Siapa??? Dia kekasih Marcus Cavendish? Marcus yang sombong tingkat dewa itu??!!!” kata kaget sedikit berteriak tidak percaya. Shella saja hampir terlonjak kaget mendengar teriakannya.
“Jenny Smith! Pelankan sedikit suaramu!! Bagaimana kalau sang Goddess tau kita membicarakannya?” Shella mencoba mengontrol emosi Jenny karena Shella atau bahwa gadis dewi itu sedang melirik ke mejanya.
“Oke..” timpal Jenny “Sekarang kau ceritakan padaku, kenapa kau bisa tau mereka berpacaran? Dan kenapa aku bisa tidak tau?”
“Em, sepertinya kau benar-benar ingin tau yaa?” suara Shella begitu menggoda dan begitu menggelitik ditelinga Jenny. Menjijikan -_-
“Kau terlalu sibuk dengan urusanmu dan tidak peduli kan..honey~ hahaha…” kata Shella. Kemudian menjelaskan
“Aku mendengar dari gosip saja sih. Mereka berdua berpacaran sejak dua minggu yang lalu, aku juga bingung kenapa bisa terjadi. Tapi yang jelas, sepertinya Marcus yang begitu mencintainya” jawab Shella sedikit panjang.
“Oh” Jenny membulatkan mulutnya. Hanya itu yang bisa ia balas pada Shella. Rasanya hatinya terlalu malas untuk memberi komentar tetang gadis dewi itu. Ah, biasa saja.. tidak begitu dewi kok. Gumam Jenny dalam hati sambil melihat kearah gadis yang berada dibelakang Seara.
“Well, dia pasti punya nama kan? Aku tidak sudi memanggilnya dengan sebutan Goddess terus menerus” Jenny bertanya pada Shella. Padahal sebenarnya ia memang ingin tau nama gadis itu. Tapi alasan itu cukup tepat. Panggilan Goddess itu tampaknya terlalu berlebihan.
“Hahaha.. alasanmu diterima”
“Aku tidak sedang beralasan!”
“Iya, iya.. she’s Joanna Louis. Satu jurusan dengan kita, tapi menurutku dia gadis yang pintar. Kudengar ia sudah bisa menguasai bahasa diatas basic –aku lupa namanya-itu, dan aku sama sekali belum bisa bahasa itu”
“Really?” tanya Jenny menaikan alis, ia tampak tak percaya dengan pernyataan Shella yang sepertinya terlalu berlebihan. “Kau tidak melebih-lebihkan kan?”
Shella menggeleng.
Yah, memang sih.. gadis itu jauh sekali denganku
Sekarang Jenny mengangguk. Ia mengakui bahwa ia sangat tidak sebanding dengan Joanna Louis. Sangat tidak sebanding. Apalagi jika membandingkan dengan otak. Otak standar Jenny tak akan mampu menyaingi Joanna.
“Sepertinya ia sedang menunggu Marcus”
“Menyedihkan sekali menunggu pria” timpal Jenny sinis kemudian menyesap cappuccino-nya. Shella hanya tersenyum mendengar itu.
“Sang dewa dari dewi datang” ucap Shella diiringi oleh pandangan mata yang menjurus kearah si dewa. Marcus Cavendish. Siapa yang tidak kenal pria ini? Pria yang sempat membuat Jenny kesal siang ini. Tapi pria ini juga yang telah membuatnya sinis kepada Joanna. Marcus adalah pria yang menurut gadis-gadis paling tampan sejurusan. Berlebihan? Memang. Jenny juga sedikit tidak setuju dengan pendapat teman-temannya yang sepertinya sudah menjadi penggemar si sombong Marcus itu. Selain otaknya yang pintar ia juga dikagumi karena karya-karya tulisnya yang selalu diacungi jempol oleh para dosen pembimbing. Mungkin sebetulnya Jenny agak sedikit iri dengan Marcus. Jenny sangat ingat kalau ia pernah berkata pada pria itu. “Bisakah kau mentransfer sedikiiiiiiiiiiit saja isi otakmu padaku? Aku akan mentraktirmu setiap hari jika kau memberikannya”
Bodoh bukan?
Marcus yang sedang berjalan santai ke meja Joanna mendapat tatapan dari beberapa pasang mata di café itu. Dan tentu saja semua tatapan itu ia dapat dari gadis-gadis. Tapi Marcus hanya berjalan dengan gaya cool-nya tanpa mempedulikan mata-mata kagum itu. Ia menarik kursi dihadapannya dan duduk tepat didepan Joanna.
Jenny hanya memutar bola matanya muak melihat kelakuan pria itu.
“Kurasa aku mual dan ingin pergi dari sini” kata Jenny yang sudah akan menyambar tas dan peralatannya untuk pergi dari tempat itu. Tapi Shella hanya memelototinya untuk tetap tinggal.
“Hish.. aku muak dengan Prince and the Princess itu Shella!”
“Duduk!” perintah Shella. Bagaikan tersihir, gadis itu menuruti kata-kata Seara dan akhirnya kembali duduk dibangkunya setelah menggerutu pastinya.
“Hei, mereka sangat cocok kan?” Shella tersenyum tidak jelas. Sementara Jenny hanya menggeleng cepat “Tidak! Aku muak!” balas Jenny ketus.
Walaupun sedikit muak, mau tidak mau ia harus melihat pemandangan dibelakang Shella. Ia bisa melihat Marcus dan Joanna dengan jelas dari sana. “Hem..” Jenny memandang Joanna dengan tatapan tidak biasa. Ia merasa, sepertinya ia sama sekali tidak asing dengan wajah itu. Tapi ia juga lupa dimana ia pernah melihat Joanna.
“Kenapa sepertinya aku merasa aku pernah melihat Joanna ya?” Jenny berkata.
“Dimana? Mungkin kau salah orang”
“Tidak, ia sama sekali tidak asing dimataku”
“Kau itu kan pelupa” timpal Shella santai.
“Aish.. aku yakin sekali itu Joanna” Jenny mengacak rambutnya kesal.
Jenny masih terus memandangi Marcus dan Joanna yang terlihat sedang berbincang. Entah kenapa gadis itu mulai tertarik dengan pembicaraan Marcus dan Joanna ketika ia mendengar kata ‘Putus’ dari mulut Marcus.
Jenny menyingkirkan anak rambutnya kebelakang telinga dan membuka telinga lebar-lebar agar apa yang barusan ia dengar benar. Karena kini, Marcus dan Joanna tampak seperti beradu argument. Mereka sama-sama egois dan tidak ada yang mau mengalah.
“Aku ingin kita sampai disini saja”
“Kita baru dua minggu berpacaran. Kenapa kau mau memutuskanku begitu saja? Aku tidak ingin kita begitu cepat, kau bisa menghancurkan reputasiku sebagai The Goddess”
“Aku tidak peduli dengan reputasi atau apapun. Yang kuinginkan adalah terlepas darimu”
“Apa?”
Jenny hanya menggeleng mendengar perbincangan sengit mereka. Cukup seru, pikirnya. Ia agak sedikit lebih tertarik untuk disini lebih lama.
“Aish.. dasar tidak punya harga diri” gumamnya tidak sengaja. Shella yang mendengar gumaman Jenny lalu bertanya “Apa? Siapa maksudmu?”
“Bukan. Bukan hehehe”
PLAKK!!!
Jenny terkejut ketika mendengar suara tamparan itu. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Joanna akan menampar wajah Marcus seperti itu. Kini ia bisa melihat Marcus memegangi pipi kanannya yang terkena tamparan Joanna. Mata Jenny membulat melihat Marcus dalam keadaan menyedihkan begitu. Seluruh mata kini tertuju pada bangku Marcus dan Joanna. Dengan refleks Jenny maju dari mejanya dan menghampiri meja sepasang kekasih itu.
“Jenny.. kau mau kemana?” Shella menarik tangan gadis itu mencoba mencegah. Namun itulah Jenny. Ia tidak bisa dicegah. “Jenny Smith! Kembali!” teriak Shella.
“Hei Nona! Apa kau tidak bisa mendengar bahwa Marcus telah memutuskanmu hah? Seharusnya wanita mempunyai harga diri yang tinggi. Kenapa kau marah –marah padanya padahal kau yang salah?!” kata Jenny ketus setelah tiba di tengah Marcus dan Joanna yang sudah berdiri dari tadi. Entah kenapa hatinya merasa tergerak melihat hal ini. Ia tidak bisa membiarkan sikap tidak adil dan keegoisan yang ada didiri sang dewi ini.
“Kau siapa ikut campur urusan kami?” tanya Joanna yang sudah menatap tajam kedua mata Jenny. “Aku bukan ikut campur urusan kalian. Tapi apakah aku bisa berdiam diri melihat sifatmu yang begitu egois huh? Apakah pantas menyebut dirimu dengan sebutan Goddess? Kau bahkan sama sekali tidak pantas untuk menjadi seorang wanita Ms. Louis” cecar Jenny panjang lebar. Ia benar-benar tidak suka dengan Joanna. Kilauan cantik dari Joanna Louis yang beberapa menit lalu ia lihat memudar akibat ulah Joanna sendiri.
Joanna geram mendengar Jenny mengatakan hal itu langsung didepan matanya. Ia mengangkat tangan kanannya bersiap untuk menampar wajah gadis itu. Tapi sebuah tangan seorang pria menahannya. “Jangan sembarangan menampar orang Joanna!” Marcus yang sedari tadi diam kini angkat bicara dan menahan tangan Joanna.
“Kenapa kau malah membelanya? Dia yang membuat keributan ini!” tukas Joanna tak mau disalahkan.
“Apa? Apa kau tidak sadar bahwa keramaian ini adalah ulahmu? Apakah kau tidak dengar kalau aku sudah memutuskan hubungan kita!” kata Marcus tajam. Joanna lalu melepas cengkraman Marcus ditangannya.
“Hei Marcus! Kenapa kau tidak membalas menampar dia? Dia kan sudah menamparmu” komentar Jenny yang masih berada diantara Marcus dan Joanna.
“Maaf, Ms. Smith kurasa kau memang terlalu mencampuri urusan kami”
“Apa?” Jenny melongo mendengar Marcus yang tadi ia bela malah mengatakan hal begini pada dirinya. Ia sama sekali tidak menyangka.
Shella yang hanya diam dari tadi dan cuma menyaksikan kini menghampiri ketiga orang itu dan menarik tangan Jenny dari tempat itu.
“Sedang apa kau disini. Ayo, kita pergi” bisik Shella yang sudah meraih tangan kiri Jenny dan menariknya.
“Kau itu menyebalkan sekali sih! Seharusnya aku tidak membelamu! Dasar pria sombong!!” gerutu Jenny pada Marcus kesal. Shella yang masih mencobanya menarik gadis itu dari kejauhan jadi kesusahan.
“Hish! Lepaskan aku Shella! Aku ingin mencabik-cabik Marcus!! Awas kauuu Mr. Cavedish!” omel Jenny tanpa henti, ia tak bisa berhenti mengomel sampai Shella membawanya pergi jauh dari café itu.
Sementara Joanna hanya tersenyum sinis melihat kepergian Jenny yang ditarik dengan susah payah oleh Shella. “Dasar gadis bodoh!” ejeknya, ia merasa puas setelah ia merasa ia menang dari Jenny.
“Setidaknya kau lebih memalukan darinya. Jenny benar. Seharusnya kau tak pantas untuk dijuluki Goddess.. Terima kasih atas pelajaran yang sudah kudapat darimu Ms. Louis” sahut Marcus kemudian ia berjalan meninggalkan Joanna setelah berkata “Cukup sampai disini, kuharap aku tidak melihatmu lagi” katanya diselingi senyuman. Marcus berlalu tanpa mempedulikan Joanna yang memanggil namanya berulang kali.
***
“Aaaaaaaaaaaaaaa” teriakan Jenny membahana keseluruh bagian rumah. Ia butuh sebuah tempat untuk melampiaskan kekesalannya. Ia ingin berteriak lebih kencang dari ini. Bagaimana bisa gadis itu dibuat kesal dua kali oleh Marcus Cavendish hari ini. Dan sekarang Jenny mulai curiga bahwa Marcus mempunyai hobi untuk membuatnya kesal setengah mati. Sekarang ia hanya bisa meninju bantal-bantal di ranjang tidurnya untuk melampiaskan kekesalannya.
Pertama, Jenny telah dibuat malu oleh Marcus karena nilai Matematika-nya yang sama sekali tidak mencapai setengah. Sejujurnya, nyali Jenny sudah menciut saat Marcus melihat nilainya. Dan kedua, Jenny telah dibuat malu oleh Marcus karena ia telah menjatuhkan harga dirinya di depan Joanna Louis. Gadis berjulukan Goddess itu. Bukan itu saja, tadi ia dipermalukan di café. It’s okay, kalau itu bukan café dan tidak dilihat banyak orang. Oh god, ia merasa sudah tidak punya cadangan wajah untuk dipakai saat ke café nanti.
“Jenny.. apa yang terjadi diatas?” tanya Ibunya yang sudah mengetuk pintu kamarnya. Mungkin ibunya terkejut mendengar suara teriakan anaknya tadi hingga wanita itu mengecek keatas.
“Tidak apa, Mom.. aku sedang.. berlatih.. yeah, berlatih menyanyi hehe” ujar Jenny beralasan tanpa beranjak dari tempatnya.
“Oh, baiklah.. kau lanjutkan saja”
“Oke”
Huf.. untung saja.
Jenny menghembuskan nafas lega ketika ibunya sudah menurunni tangga untuk kembali kelantai bawah. “Baiklah, mungkin besok aku harus menutup telinga rapat-rapat. Karena pasti banyak yang membicarakanku di cafeteria” ucapnya akhirnya kemudian kembali naik keatas tempat tidurnya.
***
Jenny berjalan ragu-ragu untuk masuk kedalam kampusnya. Ia sudah memikirkan apa saja yang akan terjadi. Menjadi gosip di universitasnya bukanlah hal yang bagus. Apalagi ia dikenal sebagai mahasiswi biasa saja dan tidak spesial bila dilihat dari manapun. Ia tidak cantik, tidak pintar, ceroboh dan tidak terkenal. Sangat amat biasa. Tanpa ada kelebihan dalam dirinya.
Dan kemarin ia sudah mencampuri urusan yang seharusnya tidak ia campuri. Semalam Jenny menyadari kesalahannya. Ia muak terhadap sikap Joanna tapi kenapa ia malah mencampuri urusannya. Oh.. kenapa ia begitu bodoh kemarin. Apakah ia harus meminta maaf pada Marcus? Ia harus berkata kalau ia menyesal? Jenny menggeleng cepat. Tidak, tidak akan! Aku tidak akan pernah minta maaf.
Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri ia sama sekali tidak akan meminta maaf pada Marcus. Bahkan ia sudah agak malas untuk melihat wajah Marcus. Ia tak mau. Sama sekali tidak mau! Tapi mau bagaimana lagi? Jenny tak mungkin bisa menghindar dari Marcus, mereka satu kelas. Tapi Jenny juga tak yakin Marcus akan menyapa lebih dulu. Apalagi setelah kejadian kemarin.
“Jenny….” Sebuah tangan menepuk bahu Jenny dan membuat gadis itu sedikit tergelak. “Hish.. kau ini mengagetkanku saja siiiih!” kata Jenny setelah berbalik dan melihat ternyata Seara lah yang telah melakukan hal itu.
“Hehehe. Sedang apa kau disini? Kenapa tidak masuk kedalam?” tanya Shella heran, tidak biasanya Jenny berada diluar kampus begini.
“Aku.. aku benar-benar malas untuk ikut kelas-kelas hari ini. Aku berniat pindah kuliah saja!”
“Apa???? Kenapa?? Lalu bagaimana denganku?”
“Azz.. aku benar-benar tak tau harus berekspresi apa nanti jika bertemu dengan Marcus” jawab Jenny to the point. “Hooww.. ternyata itu. Kau tidak perlu berekspresi macam-macam. Pasti karena hal kemarin kan?” tebak Shella.
Jenny mengangguk tanpa pikir panjang. “Yes. Aku benar-benar terlihat bodoh didepan Joanna”
“Tidak juga, justru Joanna telah menghancurkan julukannya sendiri. Dan kata-katamu ada benarnya juga. Seorang Goddess tak akan pernah berkata tanpa berpikir seperti kemarin kan?”
Jenny menaikan sudut-sudut bibirnya perlahan. Benar, jika ia benar seorang dewi. Ia pasti akan menjaga imej atau selalu terlihat anggun dalam keadaan apapun walaupun keadaan kepepet.
“Kau benar!” Jenny memamerkan jejeran gigi rapihnya pada Shella yang juga ikut tersenyum.
“Hahaha. Ayolah kita kekelas”
Mereka berdua berjalan menuju gedung dan kelas mereka dengan santai. Baru saja sampai didepan kelas Jenny sudah sangat yakin pasti Marcus sudah berada dikelas. Anak rajin seperti dia selalu datang tepat waktu.
Shella masuk kedalam kelas lebih dulu diikuti oleh Jenny dibelakangnya.
Dan tanpa diduga sebelumnya oleh Jenny. Marcus berada didepan pintu sebelum ia masuk kedalam. Alhasil, mereka berdua berhadapan dan mata mereka bertemu untuk beberapa detik. Saat itu juga Jenny merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. ia tidak bisa menjelaskan bagaimana rasanya saat berhadapan dengan seorang Marcus. Baru kali ini ia melihat wajah Marcus dengan begitu jelas dihadapannya.
Melihat Marcus yang tepat berada diwajahnya Jenny hanya mengeluarkan ekspressi tidak suka padanya lalu membuang muka padanya. Ekspressi yang sangat jutek yang pernah ia keluarkan. Mungkin sekarang Marcus berpikir bahwa Jenny telah sakit hati karena hal kemarin.
Jenny mempercepat langkahnya dan duduk dibangku disamping Shella. Ia bisa melihat kelas masih sepi. Tak ada siapapun kecuali Jenny, Shella dan tentunya Marcus didalam kelas.
“Jen..” panggil Shella tiba-tiba “Hm?” sahut Jenny agak malas.
“Antar aku ke toilet. Hehehe”
“Tidak mau! Toilet kan diujung sana, sama sekali tidak jauh! Kenapa harus diantar. Pergi sana!” kata Jenny jutek. Shella yang mendengar itu hanya mengerucutkan bibirnya. “Ish, sebentar saja”
“Tidak, Shella..”
“Hih.. yasudah aku pergi sendiri”
“Nah, begitu lebih bagus..” kata Jenny sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
Shella berjalan cepat kearah pintu kelas kemudian berlalu. Dan sekarang yang tersisa didalam kelas hanyalah Jenny dan Marcus. Memang otak Jenny agak sedikit mengalami keterlambatan. Ia baru menyadari ia sedang berdua disebuah ruangan dengan pria yang sama sekali tidak ia inginkan kehadirannya. Bodoh! Kenapa aku baru sadar! Kalau begini lebih baik aku ikut Shella tadi. Sesalnya dalam hati.
“Hhh..” desahnya kasar setelah melihat Marcus yang sedang duduk diujung dengan headset yang tersangkut dikedua telinganya. Sekali lagi Jenny mencibir lalu melipat tangannya dimeja dan menerungkupkan kepalanya diatas.
Tanpa Jenny sadari, Marcus menoleh kearah Jenny sejenak kemudian membuka mulutnya. Ia ingin berbicara sesuatu dengan gadis itu.
“Jen..” panggilnya hati-hati. Jenny mengangkat kepalanya untuk melihat siapa yang telah memanggilnya disaat ia sedang berada dalam posisi dewanya. Dan ia hampir saja tersedak air ludah melihat Marcus yang sedang melihat kearahnya. Ternyata pria itu yang barusan memanggilnya.
“Apa?” tanya Jenny ketus dengan muka jutek andalannya.
“Aku minta maaf..” ucap Marcus pelan. Apa? Apa Jenny tidak salah dengar? Barusan seorang Marcus mengatakan kata maaf. Sebelumnya ia belum pernah mendengar ini dari mulut pria itu.
“Apa?” Jenny masih belum merubah konten katanya dari tadi.
“Eum, aku sadar aku salah.. ternyata kau benar kemarin” kata Marcus lagi
“Apa? Bukankah aku hanya seorang tidak penting yang ikut campur?” balas Jenny memutar balikan perkataan Marcus kemarin.
“Intinya aku sudah meminta maaf padamu” jawabnya dingin. Benar-benar pria yang tidak mau kalah. Disaat seperti ini pun Marcus masih bisa sombong dan angkuh! Jenny tak henti-hentinya berkutat kesal didalam hati. Ingin sekali ia mencekik pria itu dari belakang mumpung kelas masih sepi. Tapi itu hal yang tidak mungkin kan?
***
Enam puluh menit sudah berlalu, tapi Jenny masih tetap bosan. Ia hanya menopang kepalanya dengan tangannya tanpa menatap lurus ke papan tulis. Berkali-kali gadis itu melihat kearah arloji.
“Ck. Ayolah bergerak! Kenapa dari tadi waktu tidak habis-habis sih?” kesalnya melihat ke arloji ditangannya. Sesekali gadis itu mencoret-coret buku catatannya yang masih rapi karena tidak pernah ia pelajari dengan gambaran-gambaran tidak jelas. “Ayolah Sir, aku sudah pegal duduk melulu” keluhnya sambil merenggangkan sedikit otot lehernya.
Kini mata Jenny berjalan menyusuri seluruh isi kelas. Ia mendengus melihat hampir seluruh isi kelas melihat kearah papan tulis. Semua. Termasuk pria yang baru saja menghentikan pandangannya. Marcus Cavendish. Ia terlihat sangat amat memerhatikan papan tulis dan mendengarkan penjelasan dosen.
Pelajaran Matematika, sepertinya pelajaran ini salah satu pelajaran yang ia suka. Jenny bisa melihat pria itu begitu gigih dalam matematika. Marcus pun selalu maju kedepan saat ada soal yang bahkan belum dimengerti oleh para teman-temannya dikelas. Mungkin selain tampan itulah kelebihan Marcus. Ia pintar dan sangat pandai hampir disemua pelajaran. Tak jarang banyak para gadis yang menyukai dan mengaguminya. Tapi Jenny sedikit merasa aneh, kenapa pria itu malah memilih Joanna sebagai kekasihnya. Apa ia tidak bisa memilih yang lebih baik?
Jenny mengerjapkan matanya berkali-kali agar ia mengalihkan pandangannya kearah lain. Ia tak mau tertangkap basah oleh Marcus, hingga Marcus telah membuatnya malu untuk ketiga kalinya. Tapi memang tidak bisa ia pungkiri Marcus tampan, sangat. Namun kesombongannya membuat ketampanannya kadang tak ada artinya bagi Jenny.
“Ms. Smith” sebuah suara menggema memanggil nama akhirnya. Jenny mendongak dan membulatkan matanya melihat Mr. Underhill guru matematika laki-laki yang horror memanggilnya. Jenny menelan ludah dengan susah.
“Yes, Sir” Jenny mencoba bersikap senormal mungkin dan tak terlihat salah tingkah didepan teman-temannya. Apakah sekarang seluruh kelas melihatnya?
“Maju kedepan, aku ingin berbicara sedikit denganmu”
Mati kau Jenny Smith! Kutuknya dalam hati.
“Oh, baik” kata Jenny akhirnya. Ia sempat meminta pandangan memohon pada Shella yang berada disampingnya setelah ia beranjak dari tempat duduknya. Ia takut ia tak akan kembali dengan selamat. Okay, itu berlebihan.
“Apa kau mengerti apa yang ada di papan tulis?” tanyanya dengan gaya horror yang melekat didalam tubuhnya.
“Tidak” jawab Jenny cepat.
“Kenapa?”
“Karena aku memang tidak bisa” jawabnya polos
“Kenapa kau bilang kalau kau tidak bisa?”
“Karena aku tidak bisa, Sir”
“Okay, sebenarnya aku harus bilang kepadamu Ms. Smith.. sepertinya kau butuh privat dalam pelajaranku” ucap Mr. Underhill dan membuat Jenny membelalakan matanya.
“Hah? Private?!!” Jenny terkejut bukan main. Ada pelajarannya dikampus saja ia sama sekali tidak mengerti ataupun tertarik. Apalagi ia harus mendapat tambahan atau privat matematika!
“Tapi kurasa aku terlalu sibuk untuk mengajarmu Ms. Smith..” Jenny langsung mendesah lega mendengarnya. “Heheh kau tidak perlu mengajariku atau memberikan aku privat, Sir. Aku janji aku akan lebih banyak berlatih dirumah” Jenny mencoba meyakinkan Mr. Underhill. Dan ia berharap ia akan berhasil.
“Baiklah, tapi sepertinya kau butuh seorang teman untuk mengajarkanmu”
“Oh tentu, Sir. Aku akan belajar bersama Shella”
“Tidak. Tidak dengan Shella” Mr. Underhill tersenyum, senyuman yang terlihat licik dan mengejek kepada Jenny.
“Apa? Lalu?” Jenny semakin heran, ia benar-benar tidak mengerti apa maksud dari tujuan dosen botak nan tambun itu.
“Mr. Cavendish yang akan mengajarkanmu” ujar dosen itu. Dan entah mengapa Jenny merasa dunia ini terasa seperti sudah dipecah belah. Ia terkejut bukan main. Lebih terkejut daripada ia menonton film horror, lebih terkejut dari apapun!
“Tapi Sir, begitu banyak teman-temanku kenapa harus Marcus? Kenapa bukan Jessica? Dia pintar kan? Waktu pelajar dimensi dia pernah membantuku dan aku berhasil mengerjakannya, hanya saja aku sudah lupa sekarang.. aduuhh.. kumohon jangan dia” pinta Jenny dengan pandangan memohon. Ia memasang muka polos nan melasnya didepan Mr. Underhill berharap pria itu akan memberikan keringanan dan membiarkan Seara untuk mengajarkannya.
“Mr.Cavendish memiliki nilai sempurna dalam matematika. Kenapa kau tidak mau diajarkan olehnya?”
“Ada sedikit masalah. Dan aku juga bisa menjamin dia juga pasti tidak mau mengajarkanku”
“Seharusnya kau bisa membedakan mana urusan pribadi dan kuliah Ms. Smith”
“Bukan bukaaan. Itu sama sekali bukan masalah pribadi, Sir. Oh.. ayolah.. aku mohon”
Mr. Underhill menggeleng. “Dugaanmu salah Ms. Smith. Ia sangat bersedia untuk mengajarkanmu kapanpun.. bukan begitu Mr. Cavendish?”
“Yes, Mr. Underhill”
Apa? Suara siapa itu? Jangan bilang kalauu..
Buru-buru Jenny menolehkan kepalanya kebelakangnya dan ternyata benar. Oh God! Marcus Cavendish sedari tadi berada dibelakang Jenny dan bisa dipastikan pria itu mendengar apapun yang dikatakan Jenny kepada Mr. Underhill. Jenny, kau bodoh atau ceroboh?
Jenny menepuk jidatnya sendiri dengan tangannya.
“Bodoh!” gerutunya kesal.
“Sejak kapan kau berada dibelakangku?!” tanya Jenny ketus. “Sejak aku mendengar kata pribadi yang keluar dari mulutmu” jawab Marcus lalu menyeringai pada Jenny.
“Jenny kau benar-benar bodoh!!” rutuknya pada dirinya sendiri. “Iya. Jenny kau benar-benar bodoh!” kata Marcus mengulang kata-kata Jenny.
“BERISIK KAU!!”
TBC
leave a comment please :)
0 komentar:
Posting Komentar