Kamis, 17 Mei 2012

Under The Sun

Diposting oleh Icha Elias di 06.39
Ini adalah karya yang aku ikut sertakan kedalam lomba GSMG kemarin, dan ternyata. karya ini belum bisa membawa aku dalam kemenangan hahahah XD

selamat membaca ya ^^

Cast : you can find it ;)

Kedamaian?

Apakah arti dari satu kata itu? Aku bahkan sudah tidak bisa mengatakan kata itu dengan lancar. Aku tidak bisa lagi membayangkan kedamaian ada dalam diri kami saat ini. Sangat tidak bisa.

Saat bunyi senapan menjadi lagu kami setiap hari dan setiap detik. Saat aku mendengar teriak-teriakan diluar sana. Aku hanya bisa menangis. Aku hanya bisa berlutut digubukku dengan memeluk kedua lututku. Aku sangat takut.
Banyak sekali orang-orang asing berkulit putih mendobrak pintu rumah kami dan menghancurkan seisi rumah dengan seenaknya. Disitu aku hanya bisa bersembunyi. Seperti aku lah satu-satunya orang yang tidak berguna sementara semua pria melawan dengan segenap raga untuk melindungi desa dan tanah air kami.

“Hentikan!!!!!!!” teriakku kencang. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan, keringat dingin mengaliri seluruh tubuhku. Air mata sudah mengaliri dan membasahi pipiku berkali-kali. Aku menatap pria berkulit putih yang bertubuh besar dihadapanku ini dengan tatapan kasar. Ia sedang mengarahkan sebuah senapan kearahku. Ia akan membunuhku.

“Why? Are you scary little girl?” tanyanya dengan aksen bahasanya yang jelas aku tidak mengerti. Ia menurunkan senjata besarnya dan menghampiri dan meraih daguku kasar.
“Lepas....” rintihku padanya. Wajahku masih memandangnya kasar. Karena aku tidak peduli! Yang aku inginkan hanyalah kedamaian. Aku ingin aku dan adik kecilku hidup dalam kedamaian. Jika ia ingin membunuhku, bunuhlah aku sekarang! Tapi, yang aku inginkan hanyalah membuat mereka menghentikan aksi gila mereka.

Pria berkulit putih itu masih melihatku dengan tatapan tajamnya. Aku sedikit berharap ia akan melepaskanku, walaupun aku tau aku tak akan pernah aman meskipun sekarang ia membebaskanku.

“What’s your name?” dia bertanya.

“Desi” jawabku, aku masih sedikit mengerti bahasa yang ia katakan barusan. Meskipun aku tak fasih. “Please, Let me go” kataku terbata. Berharap ia akan melepaskanku.

“Well, Desi”

Ia melepaskan cengkraman tangannya dari daguku. Nafasku masih memburu, aku tak bisa menahan semua amarahku. Tapi aku tau aku tak akan bisa meluapkan semua amarah ini. Aku hanya bisa mengemis meminta ia melepaskanku, karena itulah yang aku bisa lakukan.

“Baiklah Desi, aku membiarkan kau pergi.. pergilah sebelum petugas lain melihatmu” katanya tersenyum.

Apa? Apa katanya barusan? Ia membiarkan aku pergi? Aku tidak percaya!
Aku sangat berterima kasih dengan orang berkulit putih ini. Tanpa pikir panjang aku beranjak dari tempatku terduduk tadi dan berlari. “Terima kasih” ucapku dengan bahasa indonesia. Aku yakin, pria itu pasti mengerti.

Aku berjalan cepat sampil berhati-hati agar tak ada petugas menyeramkan dari para penjajah berkulit putih itu melihatku

“Mr. George” panggil seseorang. Aku menghentikan langkahku, aku mencoba menguping pembicaraan antara orang yang memanggil tadi dengan pria eropa yang menolongku tadi.

“This room is empty” kata pria yang menolongku. Ternyata dia bernama George.
Mr. George.

“We should go from here” tambah Mr. George lalu berjalan keluar pintu.
Hatiku mencelos. Ia menolongku lagi. Itu artinya ia membiarkanku benar-benar pergi dari sini dengan selamat. Satu pelajaran yang sedang kuambil saat ini. Tak semua penjajah itu berhati jahat. Dan aku tak pernah tau apa yang ada dipikiran semua penjajah itu. Mungkinkah itu juga karena keterpaksaan?

Aku langsung berlari tanpa berlama-lama ditempat itu. Saat berada diluar, aku bisa merasakan dan melihat banyak sekali orang-orang yang terkapar tak berdaya dengan bersimpah darah disekitarku.

Begitu banyak asap-asap dari kobaran api yang menyala disekelilingku. Aku menutup mulutku yang terbuka. Air mata kembali mengalir deras dari mataku.
Aku terisak hebat. Aku kembali terduduk sambil menahan sebelah tanganku ditanah. Dadaku sesak. Kenapa desaku seperti ini? Ya Tuhan, aku benar-benar ingin hidup tenang. Ingin hidup didalam kedamaian bersama seluruh penduduk di desa ini dan keluargaku.

Kumohon hentikan semua ini.

Sudah berbondong-bondong orang mengorbankan nyawanya untuk membela negaranya. Jasa pahlawan-pahlawan ini tak akan pernah bisa untuk dibalaskan.
Keluargaku sudah habis. Hanya aku yang tersisa diantara mereka.

Ayah...

Ibu...

Adik kecilku....

Aku merindukan mereka, kehidupan tenang tak bisa mereka rasakan.
Aku mengepalkan tanganku menggenggam semua amarah disana. Aku ingin sekali menghancurkan mereka, memberi mereka pelajaran, membuat mereka kapok dan mengembalikan mereka ke negaranya.

Namun apalah dayaku?

Aku hanyalah seorang gadis berumur tujuh belas tahun yang sama sekali tidak berdaya. Seorang gadis yang bisanya hanya meminta tolong dan hanya bisa menangis.

Aku berlari dengan tergopoh-gopoh. Mencari-cari dimana orang-orang.

“Dimana tempat pengungsiannya?” tanyaku pada diri sendiri. Aku mencari-cari kesemua tempat disekitar. Untunglah, para penjajah sudah pergi dari sini. Mungkin mereka sedang ketempat lain untuk mencari mangsa.

Desaku tidak pantas untuk menjadi makanan mereka!

Aku menghembuskan nafas lega ketika melihat seorang pria seumuranku dan ia adalah salah satu temanku yang masih selamat.

“Arya!!” panggilku kencang. Ia menoleh kearahku. Aku memeluk tubuh pria itu dan melepaskannya beberapa detik kemudian.

“Desi, kamu enggak apa-apa?” tanya Arya. Aku menggeleng.

“Aku enggak apa-apa” jawabku mengeluarkan air mata.
Raut gelisah yang tadinya terlihat kini memudar dari wajahnya. Aku semakin lega melihat salah seorang temanku disini.

Terima kasih Tuhan.

Kemudian ia mengajakku mengungsi kesebuah tenda pengungsian yang tak jauh dari tempat kami bertemu. Disana banyak sekali orang-orang yang masih selamat. Setelah desa kami diserang oleh orang asing yang tidak dikenal. Semua barang-barang dan harta kami habis di bom oleh mereka. Harta yang tersisa dari kami adalah baju yang sedang melekat pada tubuh kami sekarang.

Di tempat pengungsian aku memakan makanan seadanya. Aku melahap semua makanan dengan cepat. Sudah beberapa hari ini aku tidak makan. Arya hanya melihatku yang sedang makan dengan tersenyum lalu ia mengelus puncak kepalaku.
Sore pun tiba. Aku sedang duduk dibawah sebuah pohon didekat bukit didesaku. Aku memandang kearah   , tempat dimana matahari terbenam. Rasanya sangat tentram. Desa dan negeriku ini benar-benar sangat indah ketika aku melihat matahari warna oranye itu menenggelamkan wujudnya. Setidaknya, Aku bisa merasakan ketenangan walaupun sedikit.

Aku tersenyum masih sambil menatap kearah  .

Aku berpikir, andaikan aku adalah matahari. Yang memberikan cahaya kehidupan untuk semua orang di dunia. Untuk memberi hari dan memberi semangat pada mereka. Mungkinkah aku bisa menjadi seorang penyelamat desa ini. Aku memukul kepalaku dan menertawakan khayalanku sendiri.

“Bodoh! Itu hal yang sangat tidak mungkin ‘kan?” kataku tertawa perih.

“Apa yang tidak mungkin?” tiba-tiba aku mendengar suara yang sangat familiar ditelingaku. Itu Arya, ia ikut duduk dibawah pohon bersamaku.


Aku menggeleng lalu tersenyum. Entahlah, kenapa setiap aku berada didekat Arya. Aku selalu ingin tersenyum walaupun seperih apapun hatiku.

“Apakah aku bisa jadi kaya matahari?” tanyaku pada Arya. Ia menolehkan kepalanya kearahku.
“Hah?” dia tidak mengerti.

“Pertanyaan yang aneh ya? Tapi aku pengen jadi kaya matahari. Dia bisa ngasih kehidupan bagi semua orang didunia ini, dia bisa memberi cahaya penyemangat untuk orang dipagi hari” ucapku

“Hahaha” Arya tertawa. Ya, aku tau itu kata-kata terbodoh yang pernah aku katakan.

“Kalau itu bukan hal yang tidak mungkin. Kau tau tentang tak ada sesuatu yang tidak mungkin ‘kan? Semua hal bisa saja terjadi, jika kita berusaha. Kita harus persatukan tekad dan keberanian kita jika ingin terjadi sesuatu hal yang tidak mungkin itu menjadi mungkin” ujar Arya. Matanya menatap langsung ke mataku. Aku merasakan ketenangan ketika ia menatapku.

“Mungkin?” aku bertanya lagi.

“Iya, mungkin” 

“Kalau begitu, aku bisa menyelamatkan desa kita dari semua orang asing itu?” 
Arya terdiam, ia seperti tidak punya kata-kata untuk dijawab.

“Kalau itu aku tidak tau” katanya mengalihkan pandangannya kearah lain.

“Kenapa? Kau bilang kita bisa membuat semua hal yang tidak mungkin menjadi mungkin! Kenapa kau jadi patah semangat sekarang!! Kau baru saja mengatakan kalau aku bisa melakukan semua itu jika aku mempersatukan tekad dan keberanianku, itu berarti kita bisa membuat perdamaian dan persatuan ‘kan? Tak ada yang tidak mungkin! Itu yang baru kamu bicarakan kan Ar?” aku tidak tahan, darahku seakan bergejolak ketika aku mengatakan hal itu. Aku marah ketika Arya putus semangat.

“Keadaan ini sangat berbeda, Desi” jawabnya padaku. Air mataku mengalir. Seakan desa ini sama sekali tak punya harapan untuk kembali seperti dulu.

“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanyaku hampir putus asa.

“Pindah ke desa lain. Tak ada yang bisa kita lakukan lagi disini” jawab Arya dengan suara datar.

Apa? Pindah ke desa lain dan meninggalkan desa ini?

“Aku tidak mau” jawabku sambil menangis. “Seluruh wilayah didesa kita sudah habis di bom, Desi! Ini adalah satu-satunya tempat yang aman. Dan kita akan aman selamanya disini! Aku yakin besok pasti para orang asing itu akan menemukan kita disini” kata Arya menjelaskan.
Aku hanya menangis, air mata semakin menuruni pipiku. Semakin aku menyekanya, semakin air mata itu jatuh kepipiku.

“Aku tidak mau! Aku punya banyak alasan mengapa aku tidak mau! Aku akan tetap disini. Aku tak akan ikut kau atau kalian semua pindah kedesa lain!!” ketusku lalu beranjak pergi meninggalkan Arya sendirian disana.


Aku berjalan kembali kearah pengungsian. Aku melayangkan pandangan keseluruh arah ditempat ini.

Mereka tertidur dimana-mana, mereka terlihat menyedihkan dengan pakaian lusuh dan suram mereka. Sama sepertiku. Wajahku yang lusuh dan kotor juga sama seperti mereka. Banyak sekali perjuangan yang sudah pahlawan pahlawan itu korbankan untuk desa dan negeri ini! Tapi sekarang kita harus merelakan desa ini untuk orang asing dan pindah ke desa lain. Aku benar-benar tidak bisa membiarkan ini.

Aku kembali sesenggukan melihat pemandangan ini.

Aku menangis sambil menyandarkan kepalaku kebelakang tembok. Aku tidak bisa melupakan semua kenangan sedih ataupun senang ketika aku berada didesa ini.
Aku terus menangis hingga aku tertidur dengan posisi menyandarkan kepalaku. 


Keesokan harinya.

Aku terbangun dengan mendengar suara ribut-ribut. Aku mengumpulkan seluruh nyawaku setelah aku terbangun karena suara bising itu.

“Ada apa ini?” tanyaku terkejut melihat keributan disekitarku. Aku langsung berdiri dari tempatku dan menolehkan pandangan kesegala arah. Suara tembakan dari senapan kembali kudengar ditelingaku. Suara yang membuatku trauma.
Seseorang laki-laki berlari kearahku dan itu Arya. Ia terlihat ketakutan, nafasnya memburu.
“Desi, kita harus pergi dari sini! Mereka sudah menemukan tempat pengungsian kita” katanya yang tanpa babibu langsung menarik tanganku.

“Apa? La...lalu”
Ia menarikku berlari menjauhi tempat yang sudah dipenuhi dengan asap dari bom dan senapan ini.

Kami sudah berlari tapi nihil lawan kami adalah orang asing bersenjata senapan. Kami tidak akan pernah berhasil dengan tangan kosong dan akupun sudah lelah dengan kakiku ini. Dan akupun jatuh tersungkur karena tersandung oleh sebuah batu. Kakiku semakin sakit.

“Arrghhh” ringisku kesakitan. Arya menghampiriku dengan khawatir ia berkata

“Kamu enggak apa-apa? Masih bisa lari?” tanya Arya

“Sakit, aku enggak bisa lari” jawabku menahan rasa sakit dipergelangan kakiku.

“Apa yang sedang kalian lakukan disini?” tanya seorang asing dengan bahasa indonesia yang fasih. Aku dan Arya mendongakan kepala.
Bagus, kami tertangkap.

“Mencoba melarikan diri anak muda?” tanyanya lagi. Orang asing terlihat jauh berbeda dengan Mr. George. Tampangnya sangat menyeramkan. Ia tersenyum licik pada kami. Ia seperti ingin menaikkan senapannya kearah kami.
Arya membelalakan matanya dan menarikku, kami mulai berlari sebelum pria asing itu menembak kami. Mau tidak mau aku melangkahkan kakiku yang terasa sangat amat sakit ini.
Dan

“Dooorrrr!!!” bunyi itu terasa terngiang ditelingaku. Suara yang biasa kudengar dari jauh kini terdengar sangat amat jelas ditelingaku. Suara yang begitu kencang dan sangat amat bergema. Semua jadi terasa pelan bagiku, aku menoleh kearah Arya. Genggaman tangannya terasa melemah. Peluru dari senapan itu masuk kebahunya. Ia tersungkur kebawah tanah.
Aku tidak bisa meninggalkannya. Aku meneriaki namanya.

“Arya!!”
Ia masih sadar, hanya saja matanya terlihat sangat ketakutan dan sangat kesakitan.

“Pergi dari sini...pergi kearah barat, disitu ada helikopter yang akan bawa kamu pindah ke tempat yang aman. Cepet!” suruhnya dengan meringis kesakitan. Aku menggeleng sambil menangis dan meraih kepala pria itu dan meletakkannya dipangkuanku. “Pergi bodoh!” suruhnya lagi.
Kata ‘Bodoh’ pernah ia katakan untuk mengejekku sewaktu desa kami masih tenang dan sebelum kericuhan ini datang. Aku merindukan masa itu.

“Aku enggak akan ninggalin kamu”

“Tapi...”
Sebelum Arya menyelesaikan kata-katanya, pria asing yang tadi menembak Arya kini sudah berada dihadapan kami. Ia terlihat akan menghabisi kami.
Aku menggeleng pada pria asing itu sambil mengeluarkan air mata.
“Kumohon jangan...” pintaku mengemis. Sungguh aku tidak bisa melihat Arya kesakitan seperti ini. Dan aku juga tidak bisa membiarkan seluruh warga desaku sengsara seperti ini. Aku ingin mereka hidup dengan tenang dan kedamaian. Dengan persaudaraan dan kedamaian di indonesia ini.

Aku menangis sedih. Aku menangis sambil memeluk Arya yang masih tidak berdaya dengan luka parah dibahunya.

Pria asing dihadapan kami semakin mantap untuk menarik pelatuk dari senapannya. Ia mengarahkan pistol itu kearahku.

“Sebelum kau membunuhku dengan pistolmu itu. Bolehkah aku bertanya? Apakah kau punya tempat kelahiran? Apakah kau punya tempat tinggal? Apakah kalian semua punya negara? Aku ingin mengatakan ini sejak lama pada kalian! Kalian seperti manusia yang sama sekali tidak punya rasa kemanusiaan sedikitpun! Apakah kalian tidak berpikir kalau kalian berada di posisi kami saat ini? Kalian berada didesa kalian dan orang asing seenaknya mengambil alih dan membunuh seisi desa seakan kalian membunuh seekor nyamuk?!!! Warga desa ini adalah manusia yang punya hak hidup! Kalian sama sekali tidak berhak untuk melakukan mereka seperti ini!” kataku panjang lebar sambil terisak. Aku tidak peduli lagi. Aku sudah mengatakan apa yang aku rasakan sekarang! Aku hanya ingin mengatakan apa yang aku ingin katakan!
Aku terdiam sejenak sambil menghapus air mata dipipi yang sudah semakin membasahi wajahku.

“Desa ini bagaikan seorang ibu bagiku. Desa ini bagaikan orang tua bagiku. Negara ini juga, aku sangat mencintai negara ku seperti aku mencintai keluargaku yang sudah meninggal karena kalian. Karena didesa inilah aku tumbuh besar, karena desa inilah aku bisa mengetahui apa arti kata persaudaraan dan kedamaian yang kurindukan saat ini. Yang bahkan aku sudah lupa bagaimana rasanya damai dan tenang bersama seluruh warga ini. Warga desaku yang sudah kalian habisi” lanjutku masih dengan terisak. Aku tak bisa menahan rasa jengahku karena ulah mereka. Aku tak peduli jika setelah ini aku akan mati tertembak karena senapan mereka. Aku hanya ingin desaku kembali. Aku ingin hidup tenang ditempat kelahiranku.
Wajah pria asing dihadapanku itu datar, ia tak mengatakan apa-apa setelah mendengar semua kata demi kata yang keluar dari mulutku barusan. Aku bisa merasakan Arya meraih tanganku dan kembali menggenggamnya. Seolah kami berdua pasrah dengan apa yang telah kami lakukan. Kami telah berjuang untuk desa ini mati-matian.

Hening sejenak. Aku masih menangis sesenggukan. Aku juga tidak mengerti kenapa suasana disini menjadi hening karena kata-kataku. Aku bahkan tak mendengar bunyi senapan lagi. Mereka seperti mendengarkan apa yang kukatakan.
Brak!! Bunyi senapan jatuh. Aku mendongakan kepalaku dan melihat kearah pria asing itu.
Ia jatuh tertunduk kelantai. “I can’t...i can’t kill them” ucapnya menahan tangis. Pria asing itu ingin menangis?

“Cukup sudah! Aku tidak ingin melihat kalian menyerang desa ini lagi! Bebaskan mereka!” perintah seseorang yang sepertinya ketua dari mereka semua.
Apa? Apa yang barusan mereka katakan? Mereka bilang kami dibebaskan?
Air mata keperihan yang kurasakan kini berubah menjadi air mata kebahagiaan yang sudah berada diujung mata. Aku melihat Arya yang sudah tersenyum melihatku

“Kau berhasil” bisiknya, keadaannya melemah. Tuhan, tolong selamatkan dia.
Beberapa detik kemudian terdengar sorakan dari seluruh orang yang ada disini dan disambut dengan senyuman bahagia yang luar biasa. Sekarang kami bisa merasakan sebuah ketenangan dan kebahagian yang tak terhingga.

Aku tak bisa melukiskan kebahagiaan ini. Sebuah ketidakmungkinan ini sekarang menjadi mungkin! Ah bukan mungkin, tapi menjadi iya!

Aku bisa melihat banyak petugas medis yang mulai terjun kelapangan untuk menolong mereka yang membutuhkan. Dan Arya pun mulai dibawa oleh petugas medis untuk diberikan perawatan.

Aku tersenyum manis dan lega.
Persaudaraan dan perdamaian di indonesia dan didesaku. Ya, aku akan menjadikan desa dan negaraku menjadi negara yang harmonis dan damai.

FIN


setelah anda membaca ...

harap... tampar saya -_______________-

karya bulukan begini masa mau dibawa ke lomba XD hahahahaha

mau dikata apa!!! wkwkwk

yaudah makasih udah baca :) :)

tunggu karya saya selanjutnya ya.. semoga bisa lebih baik lagi.. amin :')

0 komentar:

Posting Komentar

 

Icha's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review