ini sequel dari You've Fallen for Me, yang belom baca silakan klik disini :)
Author : Icha Elias or Ummu Aisyah (@mrseliasstyles on twitter)Cast : Nilanos Watson, Ardeki Garside and all other
ini sequel dari You've Fallen for Me, yang belom baca silakan klik disini :)and this story is purely mine, please don’t take anything from here.
Happy read ^^
Nila mempercepat langkah kakinya dikoridor kampus. Kakinya belum sama sekali berhenti berjalan. Ia terus menaiki berpuluh-puluh anak tangga. Oh God, ini jam pertama! Dan ia sudah terlambat sama sekali. Sekarang tepat pukul delapan pagi, sedangkan kelas dimulai pada jam tujuh pagi tadi. Melihat keterlambatannya, pasti ia tidak akan diperbolehkan masuk kelas.
Nafas Nila terengah-engah, ia lelah. Terang saja, sudah tiga lantai ia lalui dan sekarang masih harus menaiki tangga lagi untuk lantai selanjutnya. Gila.
Terlihat beberapa mahasiswa lain melakukan hal yang sama seperti Nila. Berlari untuk mengejar waktu. Ada beberapa dari mereka yang tidak boleh masuk ke kelas. Tapi dalam prinsip Nila, ia lebih baik terlambat daripada absen!
Akhirnya, gadis itu berhasil berada didepan kelasnya. Jantungnya berdetak cepat setelah ia mengintip dari tempatnya berdiri ada seorang dosen yang sedang memberikan materi dikelasnya. Ia sempat menangkap Liona temannya yang terlihat sedang memperhatikan mata kuliah itu. Ia juga sempat melihat seorang pria. “Huh.. bukan waktunya untuk melihat dia” ucapnya dalam hati.
Gadis itu merapihkan bajunya kemudian mengetuk pintu selembut mungkin agar masih terlihat sopan. Ia membuka pintunya dan memasukan kepalanya terlebih dahulu. “Excuse me sir, May i?” tanya Nila takut-takut. Ia mengeluarkan jurus andalannya yaitu mengeluarkan tampang melasnya. Biasanya, jika Nila terlambat ia akan melakukan itu dan berhasil. But, Mr. Underhill is the Killer lecture in this college. Jangan harap, ia akan berhasil.
“Ehem... Ms. Watson? Kemana saja kau?” tanya pria tambun itu mengeluarkan aura angkernya
“Well, keterlambatan bus. Hehehe” jawab Nila sok santai. Padahal sebenarnya ia sangat amat takut. Ia mengalihkan pandangannya kepada Liona sebentar dengan tatapan ‘Kill-me-now’
“Jam berapa sekarang?”
“Eum, jam setengah delapan sir.” Nila menjawab sambil menundukan kepalanya. Ia sudah pasrah. Ia pasti akan dicecar oleh dosen gila ini.
“Kau menyadari kesalahmu ‘kan?”
Nila mengangguk pelan. Seperti anak kecil yang sedang dimarahi oleh orang tuanya. Ia sudah membuang rasa malunya ketika sudah berada dihadapan Mr. Underhill. Ia bisa melihat seluruh perhatian orang-orang sekelas terpaku padanya.
“Baiklah, aku akan memberikanmu tugas untuk membayar keterlambatanmu”
“Hah? Tugas? Lalu? Aku boleh...?”
“Yes, sit down. I don’t want see you to late again later”
“Oh... yeah... you’re the best lecture sir!!! Thank you!!!” kata Nila terkejut kesenangan.
Ia langsung berjalan riang kearah bangku disamping Liona dan mengedipkan sebelah matanya pada temannya itu.
Ia mengalihkan pandangan kearah kirinya. Dan, ia terlibat eye-contact dengan Ardeki. Yeah, kekasihnya. Ia sangat yakin Ardeki pasti melihatnya saat sedang didepan kelas tadi.
*
“Well, hari ini aku akui Dewi Fortuna, Dewi Kwan im dan segala dewi sedang berada dipihakmu.. you know? Mr. Underhill tidak mungkin memberikan lampu hijau pada mahasiswa yang terlambat except you!” komentar Liona ketika mereka berjalan keluar dari kelas dan menuju ke cafetaria di kampus mereka.
“Really? How lucky i am” tanggap Nila sambil tersenyum. “Yeah, walau aku harus mendapat bonus tugas dari dosen botak itu” lanjutnya melihat beberapa soal yang harus ia kerjakan sendirian. Dalam satu kelas, hanya ia sendiri yang mendapat tugas itu!
“Hahahaha!” Liona tertawa kemudian menepuk pundak sahabatnya. “Kau bisa minta tolong Marcus untuk menyelesaikan itu. Ia bisa mengerjakan semua tugasmu dalam waktu beberapa jam”
“Ya, tidak sepertiku.. mungkin, membutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan soal matematika ini” ujar Nila sambil memegang kertas soal itu dengan tampang sok jijik.
Liona hanya mengangguk.
“Oh ya, kenapa aku tidak minta tolong pada Henry Stewart saja ya? Hahahahahaha” ejek Nila pada Liona. Liona hanya mencemberutkan ekspresi mukanya. “Shut up!”
“Hohoho”
“Oke, aku tak suka topik ini. Lebih baik ceritakan hubunganmu dengan Ardeki. Berjalan semakin baik ‘huh?”
“Not really, as usual”
“Why?”
"I dont know”
“Ah! Membingungkan sekali sih! Seharusnya kau itu sedang masa bahagia saat ini”
“I’m not married Lio, tidak ada masa bahagia!”
“Oh iya iya” Liona mengangguk mengiyakan.
“Eh, kau tidak makan siang bersamanya?” tanya Liona heran. Biasanya, dua orang yang sedang berpacaran pasti akan makan bersama kan? Tapi, tidak dengan Nila dan kekasihnya Ardeki.
“Tidak, aku tidak mau. Kalau aku dengannya kau bagaimana?”
“Tidak usah pedulikan aku, aku bisa bergabung dengan Jessie kan?”
“Aku tidak mau”
“Why?”
“Aku tidak mau meninggalkanmu Liona~”
“Ow~ that’s so sweet Nila.........” timpal Liona sambil tertawa.
“Liona!!” terdengar sebuah teriakan memanggil nama Liona saat mereka baru saja ingin masuk kedalam sebuah cafetaria.
“Oh my god! Henry Stewart???!! She’s calling for you?” Nila terkejut bukan main. Liona hanya tersenyum-senyum tidak jelas disamping Nila. Pria itu sedikit berlari untuk menghampiri mereka berdua.
Liona mengangkat sebelah tangannya, melambaikan tangan pada Henry.
“Ya, he’s Henry. The Asistant of Chemical Laboratorium”
“You didn’t told me about him? Kau tidak pernah menceritakan kau sudah berhubungan baik dengan dia? Hey!” Nila merasa sangat geregetan, ia mencubit pinggang Liona sedikit kesal.
“Hehehe, i’ll talk to you later” Liona tersenyum senang. “Okay”
“Hai...” sapa Henry ketika ia sudah berada diantara Nila dan Liona.
“Hai..” balas Nila tersenyum. “Eum..Nila, this is Henry. Chemical Laboratorium Asitent. Kak, this is Nila. She’s my classmate and she’s my great friend” ujar Liona memperkenalkan mereka berdua.
“Nice to know you, kak”
“Me too” balas Henry tersenyum. “Um, Liona. Bagaimana dengan?”
“Oh..yeah..” Liona tampak sedikit gelagapan didepan Henry. Namun, ia sebisa mungkin mengontrol dirinya agar tidak terlihat salah tingkah.
Nila hanya melayangkan pandangan heran.
“Aku harus pergi bersama kak Henry. Kau tidak keberatan?”
“Oh... ofcourse no!” kata Nila, dalam hatinya ia terlonjak kegirangan. Finally, Liona bersama Henry! Jangan bilang, kalau mereka berdua sudah menjadi pasangan kekasih sekarang.
“Kalau begitu, kita bisa pergi sekarang?” tanya Henry.
“Sure..” Nila mengiyakan. Gadis itu menatap Liona senang, Liona hanya mengedipkan sebelah matanya.
“You did it Liona!” bisik Nila. “Wish me luck” kata Liona sebelum ia beranjak dari hadapan Nila.
Sekarang, Nila bisa melihat Liona dan Henry pergi menjauhinya. Ia terus menatap punggung temannya yang semakin menjauh bersama pria itu. Ia senang sekali. Temannya sepertinya begitu bahagia saat ini. Ia tak peduli saat ini ia harus makan siang sendirian, yang penting sahabatnya bahagia.
Nila membalikan tubuhnya, ia merasa tidak lapar. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak jadi ke cafetaria sendirian. Lagipula, ia juga sedang ingin sendirian.
Nila berjalan sendirian kearah taman. Setelah sampai disana, ia langsung mencari tempat duduk kosong yang menghadap kearah waterfall. Untunglah taman tidak begitu ramai siang ini, hanya ada beberapa orang yang sedang berpacaran disekelilingnya. Gadis itu langsung menjatuhkan tubuhnya ditempat duduk. Ia duduk sambil menutup sejenak matanya, merasakan angin sejuk membelai rambutnya.
Ia kemudian menatap kearah waterfall yang jatuh kedalam kolam dibawahnya. Air yang begitu bening. Bunyi air jatuh itu benar-benar membuat hati Nila menjadi jauh lebih baik.
Ia melengkungkan sebuah senyuman dibibirnya.
Ia menaikan kedua kakinya diatas bangku dan memeluk lututnya sambil memandang waterfall itu dikedua bola matanya. Ia bisa melihat apa yang pernah ia lakukan bersama Ardeki didekat waterfall beberapa minggu yang lalu. Ia masih sangat ingat hal itu. Saat Liona berbohong padanya dan berkata bahwa Ardeki kecelakaan dan membuat ia gelagapan. Padahal, Nila sudah sangat amat cemas. Ia sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau pria itu benar-benar kecelakaan.
Nila tertawa kecil. Betapa bodohnya ia saat itu. Kenapa ia tidak tau kalau ia sedang dibohongi?
Dan satu lagi, ia masih bisa membayangkan didekat jembatan di waterfall sana. Ia dan Ardeki sedang berpelukan. Ardeki bisa membuktikan dengan pelukannya ia bisa membuat Nila lebih baik dan membuktikan kehangatan dirinya. Hanya dengan memutar memorinya saja, ia bisa merasakan ketenangan yang luar biasa. Ia juga masih memakai sebuah gelang sederhana berbentuk lucu pemberian Ardeki, ia sangat suka melihat benda itu dikaitkan dipergelangan tangannya yang kecil.
Tapi hari ini, gadis itu belum sama sekali menyapa atau berbicara dengan Ardeki. Ia sedang malas. Atau mungkin ia sedang unmood.
Merasa sedikit bosan, ia mengambil sebuah notebook dan sebuah pensil dari tasnya. Kemudian ia seperti sedang menulis sesuatu disana. Atau menggambar mungkin.
Sesekali gadis itu mengalihkan matanya kedepan kearah waterfall kemudian kembali berkutat dengan buku catatannya. Ia sudah merindukan hobinya, yaitu menggambar. Kekanakan memang, tapi itulah hobinya. Selain photography tentu.
“What are you doing?” tiba-tiba suara bass khas seorang pria menganggetkannya, suara itu terdengar tepat ditelinga kiri gadis itu.
“Oh gosh!!” Nila terlonjak kaget. Ternyata, pria itu adalah Ardeki. Ia sekarang sudah berada dibelakang tempat duduknya.
“Sedang apa kau?” tanya Nila ketus. “Kenapa? Tidak boleh?”
Nila diam kemudian menjawab “Bukan sih..”
“Kemana pacar keduamu itu?”
Nila mengerutkan alisnya heran “Siapa?”
“Liona” jawab Ardeki tersenyum mengejek. “Pacar kedua? What the hell you said?”
“Hahaha, i’m kidding!”
“She’s my best friend, Mr. Garside. You get it wrong! Don’t make me mad, I’m in unmood now” omel Nila jutek, ia pura-pura mengeluarkan ekspressi marahnya pada pria itu.
“No, i don’t. I said i’m kidding. Right?” kata Ardeki yang mulai mengetahui Nila yang ngambek. Nila terdiam sambil terus menggambar di buku catatannya.
“Nila, please. It was a joke”
“Hahaha, got you. I’m kidding too”
“Huh... i think you’re serious”
Nila tersenyum pada Ardeki saat ia mengatakan itu. “Sedang menulis apa?” Ardeki mendekatkan wajahnya kearah Nila, mencoba mengintip apa yang sedang ditulis oleh gadis itu.
“No! It’s just....nothing! forget it”
“Let me see” pinta Ardeki pada Nila. “No! I won’t give this notebook to you”
Nila menggeser sedikit posisinya dari Ardeki, ia takut pria itu akan mengintip. Ardeki menatapnya dengan tatapan curiga.
“What’s that? You’ve a secret?”
“No, it’s not a secret. Just...unimportant thing” ujar Nila mencoba mencari alasan.
“Give it to me, then”
“I won’t”
“Oke, you win” Ardeki mengangkat tangannya menyerah. Ia memang harus mengalah saat ini. Nila buru-buru memasukan buku catatan dan pensilnya kedalam tasnya. Dalam adu mulut, Ardeki selalu kalah. Teka, itulah sifat Nila. Tapi, itulah salah satu yang membuat pria itu jatuh cinta padanya. Sifat kekanakkan dan ketekaan Nila membuatnya susah untuk melupakan gadis itu. Ia selalu nyaman berada didekat Nila seperti sekarang ini. Adu mulut, jauh lebih menyenangkan daripada ia harus beromantis ria seperti pasangan lainnya.
“Kau sendiri disini dari tadi?”
“Ya, Liona sedang pergi bersama Henry. Aku malas makan siang lalu aku kesini” jelas Nila singkat.
“Wah, jahat sekali best friendmu itu?” ejek Ardeki. “Kau itu iri padaku karena kau tidak punya sahabat sebaik dia ‘kan?” balas Nila tak mau kalah.
Beginilah, cara berpacaran mereka. Selalu saja berargumen.
“Hahahaa” Ardeki hanya bisa tertawa melihat Nila yang begitu tak ingin kalah.
Nila hanya tersenyum.
“Kenapa kau bisa terlambat tadi?” tanya Ardeki tiba-tiba. Nila menolehkan wajahnya kearahnya. “Aku kesiangan”
“Kenapa tidak memintaku menjemputmu?”
“Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri lagipula”
“Tapi dalam keadaan seperti itu seharusnya kau menghubungiku”
“Aku bisa menjaga diriku sendiri, aku juga tidak ingin merepotkanmu”
“Ya...” jawab Ardeki singkat. Mendengar nada itu, Nila merasakan nada kekecewaan. “Kenapa?” tanya Nila.
“Apanya?”
“Kau marah?”
Ardeki menggeleng. Lalu tersenyum manis pada Nila. Saat itu juga Nila meleleh. Ia tau, bahwa ia sangat menyukai senyum pria ini. Lalu kenapa sekarang Ardeki malah tersenyum seperti ini pada gadis itu?
Ini membuatnya sangat tersiksa. Terpana lebih tepatnya.
Beberapa menit mereka duduk disana sambil sesekali mengobrol. Tanpa terasa ada sebuah rintik-rintik air jatuh membasahi tanah. Nila dan Ardeki menengadah tangan dan melihat keatas langit. “Is this rain?” tanya Nila.
“Sepertinya” jawab Ardeki. “Ayo kita berteduh disana” ajak Ardeki menarik tangan Nila. Nila masih melihat kearah langit diatas sambil tersenyum lebar.
“Waw.. Hujan” katanya kagum.
“Sedang apa kau? Ayo kita berteduh”
Nila menepis tangan Ardeki dan ia malah berjalan lebih dekat ke waterfall. Ia sudah lama menantikan saat seperti ini. Saat dimana ia bisa kehujanan seperti ini.
Sementara Ardeki masih susah payah menutupi seluruh badannya dengan tas atau tangannya untuk mencegah agar kepalanya tidak kebasahan.
“Apa yang kau lakukan?!! Kau bisa sakit!” teriak Ardeki cemas melihat Nila yang sedang kehujanan disana.
“Aku suka hujan”
“Tapi bukan begini juga caramu menunjukannya!” omel Ardeki. Ia langsung menghampiri Nila tanpa mempedulikan tubuhnya yang sudah kebasahan.
“Ayo kesana!”
“Aku tidak mau! Kesana saja sendiri” kata Nila ketus. Ia tak ingin diganggu. Yang ada dipikirannya saat ini adalah mandi hujan. Pasti akan sangat romantis. Ya, walaupun pria dihadapannya itu tidak mau.
“Lagipula bajumu sudah basah semua, lebih baik kita mandi hujan saja” tambah Nila. Memang benar, baju pria itu sudah basah semua sama seperti Nila. Nila menyadari wajah Ardeki yang berubah menjadi sedikit khawatir.
“Tidak usah khawatir, aku tidak akan sakit kok” ucap Nila sambil merentangkan tangannya untuk merasakan air yang jatuh ketubuhnya. Ia selalu merasa tenang jika melihat hujan jatuh ketanah. Seakan itu semua bisa menghapus rasa sakit ataupun ketakutan jika saat itu ia sedang merasakannya. Dan suara hujan yang begitu deras mengalun ditelinganya membuat hatinya merasa aman.
“Kau pasti berpikir, aku menyukai hujan karena terlalu banyak nonton drama romantis kan? Kau salah, aku memang menyukai hujan sejak aku masih kecil. Aku bahkan sama sekali tidak suka drama romantis yang menggunakan hujan sebagai alat untuk membuat adegan manis. Aneh kan? Tapi aku tidak tau. Well, intinya aku menyukai hujan” jelas Nila panjang lebar. Padahal Ardeki belum mengatakan apapun dari tadi.
Ardeki hanya bisa tersenyum memandang Nila yang sedang kegirangan seperti anak kecil. Ia bisa melihat bagaimana ekspresi lucu gadis itu saat ia mengatakan ia menyukai hujan dan menjelaskan mengapa dirinya menyukai hal bodoh itu. Padahal hampir setiap orang tidak menyukai datangnya hujan yang dianggapnya sangat amat merepotkan. Mereka harus membawa payung untuk menutupi tubuh mereka agar tidak basah dan sakit. Tapi berbeda dengan Nila, ia takkan membawa benda pelindung itu untuk dirinya. Ia akan dengan senang hati berlari-lari dibawah hujan.
“Rain, please... don’t touch my girl. She’s mine” gumam Ardeki pelan. Nila mengerutkan keningnya dan berkata
“Kau ini bicara apasih?”
“Aku hanya tidak ingin kau sakit”
“Tenang saja, hujan tak akan membuatku sakit. Kami sudah berteman kok” ucap Nila asal.
“Hahaha. Kau ini benar-benar lucu ya!” Ardeki tertawa lagi. Nila memanyunkan bibirnya sebal. Wajahnya terlihat semakin menggemaskan.
Mereka menghabiskan hari mereka dengan mandi hujan ditaman kampus. Hari yang menyenangkan bagi Nila maupun Ardeki. Mereka main kejar-kejar, Hide and seek (petak umpet) hanya berdua, lalu setelah itu mereka duduk sambil bercerita pengalaman mereka masing-masing. Terlihat sangat biasa, namun bagi mereka ini adalah The best day ever!
Kalau boleh jujur, Nila dan Ardeki sudah sama-sama merasakan pusing dikepala mereka. Namun mereka tak sama sekali mempedulikannya hingga hujan mereda. Rintik-rintik air itu semakin lama semakin mengecil. Walaupun tubuh mereka berdua masih lumayan basah.
Untung saja, disekitar kampus sudah tak ada orang sama sekali. Hanya tinggal mereka berdua. Mungkin karena hujan para mahasiswa jadi malas untuk mengikuti jam berikutnya dan memilih untuk belajar dirumah saja.
Ardeki memberikan jaketnya untuk Nila pakai saat mereka sudah sampai diparkiran. Mengingat udara masih cukup dingin apalagi mereka habis kehujanan tadi.
Nila menggelengkan kepalanya ketika Ardeki menyodorkan jaket miliknya.
“Kau bagaimana?” tanya Nila
“Aku masih punya jaket cadangan. Pakai saja” suruh Ardeki pada Nila. Walaupun gadis itu masih tetap keukeuh untuk tidak memakainya. Sampai akhirnya Ardeki mendesah dan berjalan kearah belakang tubuh Nila dan memakaikan jaket itu kepundak Nila. Dan mau tidak mau, Nila tak bisa mengelak lagi. Ia memasang jaket itu ketubuh mungilnya.
“Pakai, atau aku akan marah padamu” ancam Ardeki. Mendengar itu Nila hanya bisa mencibir
“Cish, memangnya kau berani marah padaku?”
Ardeki tertawa “Jadi kau mau mengatakan aku ini pria cengeng begitu?”
“Aku tidak mengatakan itu ‘kan? Haha”
Mereka berdua tertawa sejenak. Hingga Ardeki berkata saat ia sudah menyiapkan motornya
“Naik, aku akan mengantarmu pulang”
*
Nila turun dari motor setelah mereka berdua sudah sampai didepan rumahnya dan ia langsung menatap pria yang masih duduk diatas motornya dengan helm yang menutupi sebagian wajahnya. Ardeki melepaskan helmnya lalu turun dan berdiri tepat dihadapan gadis itu. Nila mengernyit heran.
“What? Kenapa turun? Aku bisa masuk sendiri kok” tanya Nila dengan tampang polosnya. Ardeki hanya bisa tersenyum melihat gadis itu. Pria itu berjalan semakin mendekat kearah Nila. Jantung Nila terasa lebih berat. Entah kenapa ia jadi lupa caranya bernafas untuk beberapa detik.
Ardeki semakin memperkecil jarak diantara mereka. Apa yang akan ia lakukan? Nila belum siap. Sama sekali belum siap. Pria itu meraih pinggang Nila dan menariknya kedalam pelukannya. Sebenarnya ia tau bahwa Nila sedang panik dan ketakutan atas dirinya. Ia kemudian melepaskan pelukannya dan mendengar Nila berucap pelan “Don’t”
Ardeki tersenyum datar dan menatap Nila langsung dimatanya. Mata mereka bertemu untuk beberapa menit dan menciptakan hening diantara mereka. Tak ada yang saling memulai untuk memecahkan keheningan. Hingga tiba-tiba Ardeki berkata “This is the best day ever, Jangan lupakan hari ini ya” ucapnya lembut lalu mengacak rambut Nila dan mengecup dahinya lembut.
“Good night” katanya memberi salam untuk terakhir kalinya pada malam ini. Nila masih membatu ditempatnya berdiri. Entahlah, ia merasa dirinya susah untuk digerakkan saat ini. Terlebih lagi setelah gadis itu diberi sebuah kiss on her forehead. Ia sama sekali tidak bisa menyangkal kalau ia sedang ‘dying’ didalam. Nila melambaikan tangannya pada Ardeki yang sudah menjauhinya dengan membawa motornya.
Nila tersenyum lebar didepan rumahnya. Ia seperti seorang bodoh yang sedang tersenyum sendiri. Katakan saja ia gila karena mungkin itu yang akan dipikiran orang jika ada yang melihat dia. Dengan melangkah riang gadis itu berjalan memasuki rumahnya.
Yeah, this is the best day ever!
Dalam hatinya ia sangat menyetujui ucapan Ardeki untuk apa yang telah terjadi pada hari ini.
*
Nila berjalan memasuki ruangan kelasnya. Ini masih pukul 7.00 pagi, dan gedung kampusnya masih terasa sepi. Entah kenapa dengan sangat tidak biasa ia datang lebih dulu daripada temannya Liona. Tapi baguslah, ia tidak akan berurusan dengan Mr. Underhill lagi. Sudah cukup ia dilempari soal-soal matematika oleh dosen itu. Dan sekarang, ia kapok!
Dikelas hanya ada beberapa orang saja. Nila lebih memilih untuk menunggu sahabatnya daripada berbincang dengan teman sekelasnya yang sudah datang. Tapi kemudian ia teringat sesuatu lalu memanggil seorang pria.
“Marcus” panggilnya pada seorang pria yang duduk didekat jendela. Marcus menolehkan kepalanya lalu bertanya “What?”
Nila beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Marcus.
“Can you help me?”
“Help for what?”
“Kau tau aku sedang dapat tugas dari Mr. Underhill, dan aku ingin kau menolongku. Aku lemah dalam matematika. Can you?”
Marcus terlihat berpikir sejenak. Kemudian tersenyum. “Mau bayar berapa?” tanya Marcus bercanda “No! Kau perhitungan sekali sih!”
“Hahaha aku hanya beranda. Okay, i’ll help you then”
“Great, aku temui kau nanti” Nila tersenyum girang. “Thanks before”
Dengan tersenyum giran, Nila langsung kembali duduk dibangkunya. Dan tak lama kemudian Liona datang lalu bergabung bersamanya.
Nila bisa melihat gadis yang baru datang itu sedang gusar. Liona mendengus kasar. Terlihat sekali bahwa ia tidak dalam mood yang baik.
“Hey, kenapa kau terlihat kacau begitu?” tanya Nila mengerutkan keningnya.
“Nothing” jawabnya singkat. “Don’t lie to me”
“Yeah, memang tidak ada apa-apa”
“Bohong! Ceritakan padaku”
“Yes, i’ll but not now okay? Aku harus menyegarkan otakku dulu untuk mata kuliah hari ini” jawab Liona
“Oke, terserah kau mau cerita kapanpun. Eh tapi bukankah kau seharusnya senang setelah pergi bersama Henry kemarin?”
“Yeah.. tapi... Ahhhh sudahlah!!!!” Liona mengacak-acak rambutnya gusar. Sepertinya ia benar-benar sedang tidak mood dan tidak ingin diganggu dulu. Nila lebih memilih diam daripada ia harus terkena omelan Liona.
*
Setelah beberapa jam Liona dan Nila mengikuti dua mata kuliah, akhirnya mereka mengistirahatkan otak mereka ke cafetaria di kampusnya.
Nila bisa mendengar Liona sedang mendongeng tentang apa yang telah terjadi padanya kemarin. Dia bercerita panjang lebar hingga matanya pun mulai memerah. Seperti ingin menangis.
“Dan aku menjambak rambut gadis itu. Well, aku tak akan mulai jika dia tidak menyentuhku! Tapi dia menamparku duluan. Hey, siapa yang tidak marah ditampar oleh gadis lenjeh seperti dia. Dia bilang aku mengambil Henry darinya! Aku tidak merasa karena aku memang tidak melakukannya! Dan akhirnya, kami bertengkar dikamar mandi. Untung saja kamar mandi itu sepi...” Liona bercerita panjang tentang dirinya. Nila hanya mendengar dengan setia dan mengangguk sambil sesekali bertanya pada Liona untuk memperjelas.
“Lalu bagaimana dengan Henry?”
“Aku meninggalkan dia, aku langsung pulang tanpa menghiraukan dia lagi. Siapa sangka pria kutu buku seperti dia bisa playboy seperti itu”
“Dia tidak playboy, Lio. Menurutku sih gadis itu memang yang terlalu over padanya. Positife thinking!”
Liona terdiam sejenak. “Ya, memang dia bilang gadis itu ex-girlfriendnya”
“Nah, kau sudah dengar sendiri ‘kan? Berbaikanlah, aku pikir kalian akan jadi sepasang kekasih dalam waktu dekat”
“Tidak mau..” Liona memanyunkan bibirnya dan kembali menelungkupkan wajahnya dimeja cafe.
“Itu terserah mu saja. Aku hanya memberi saran”
Mereka terdiam sejenak. Sepertinya Liona sedang benar-benar tidak mood. Hingga pelayan datang menghampiri mereka dan memberikan pesanan. Nila mengucapkan terima kasih pada pelayan itu.
Liona mengernyitkan dahinya. Melihat Nila dengan heran.
“Hey, dimana gelangmu? Kau tidak pakai?” tanya Liona.
“Ada disini-” kata-kata Nila terputus ketika ia tak merasakan sebuah gelang ditersangkut ditangannya. Ia kaget lalu melihat Liona dengan panik. “Tidak ada!”
“Seharusnya ada disini. Aku tidak pernah melepaskan gelangku itu”
“Kau yakin kau sudah memakainya sejak dirumah tadi?” tanya Liona
“Aku selalu memakainya Liona” jawab Nila yang sedang membongkar seluruh isi tasnya. Berharap benda itu ada ditasnya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana kalau benda itu benar-benar hilang. Mungkin saja, Ardeki akan marah. Itu salah satu benda yang berharga bagi gadis itu.
“Oh god” Nila meringis panik, ia masih mencari dengan teliti benda itu didalam tasnya.
“Apa mungkin benda itu terjatuh? Kau mau kita kembali kekelas untuk mencarinya?”
Nila mengangguk. Tanpa basa-basi lagi, mereka berdua langsung berdiri dan berjalan ke kelas mereka.
Liona ikut membantu mencari benda berwarna perak itu disegala penjuru sudut setelah mereka sudah tiba dikelas yang mereka pakai tadi. Nila mengacak rambutnya kesal. Sekarang Nila lah yang terlihat kacau.
“Aduh bagaimana kalau benar-benar hilang? Ardeki pasti akan marah” kata Nila putus asa. Liona menghampirinya dan mengelus bahunya. “Kita akan terus mencarinya. Kau bisa ingat-ingat lagi? Apa yang kau lakukan kemarin? Mungkin saja jatuh ditempat yang masih bisa kita jangkau”
“Kemarin?”
Nila memutar memorinya kembali. Ia tak ingat apa-apa, yang ada didalam otaknya hanyalah memori bahagia yang kemarin ia lalui bersama Ardeki. Atau mungkin karena terlalu senang bermain bersama pria itu, ia jadi tidak sadar gelangnya terjatuh?
“Pasti ditempat kemarin” ucap Nila pelan. “Apa?”
“Kemarin aku sempat kehujanan ditaman dekat waterfall. Mungkin saja gelang itu jatuh disana”
Liona menaikan alisnya “Mungkin saja, ayo kita kesana” Liona langsung menariknya keluar dari kelas lalu berlari kearah waterfall yang jaraknya lumayan sangat jauh dari kelas itu.
Sekitar beberapa menit kemudian. Nila dan Liona tiba tepat ditaman kampus mereka. Tempat itu sudah tidak basah seperti kemarin. Nila melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit. Ia mencari dengan sangat teliti, seolah tak mau ketinggalan seinchi pun.
“Bagaimana?” Tanya Liona. Nila menggeleng. “Tidak ada” matanya memerah. Sepertinya ia akan menangis. “Apa yang harus aku katakan kalau dia tanya?” Nila bertanya bingung.
“Aku tidak tau, bagaimana kalau beli gelang yang sama persis dan sejenis? Jadi tidak akan ketauan”
Nila menggeleng. “Tidak mungkin”
Liona langsung memeluk tubuh Nila untuk menenangkannya. “Ssshhh.. jangan nangis! Kalau Ardeki melihat bagaimana?!”
“Aku tidak nangis!”
Liona nyengir mendengar pernyataan Nila. Padahal sudah jelas matanya merah tadi. “Well, what should we do now?”
“Kita tidak mungkin menemukan benda sekecil itu ditempat sebesar kampus kita ini” lanjut Liona.
Liona benar, itu tidak mungkin sama sekali. Gelang itu pasti sudah berlari terbawa arus hujan atau hancur dan tak akan mungkin ditemukan.
“Kau benar”
“Lalu?”
“A-aku..aku tidak tau” jawabnya. Liona bisa melihat wajah kebingungan sahabatnya itu. Nila mendengus kasar.
“Kalian membuat diri kalian terlihat seperti lesbian, kalian tau itu?”
sebuah suara familiar mengagetkan Nila dan Liona. Suara itu terkekeh setelah mengatakan hal yang membuat kedua gadis itu kesal. Liona melemparkan tatapan pembunuh pada Liona.
“Dan kau membuat dirimu terlihat seperti tidak punya sopan santun!” balas Liona ketus. Nila hanya tertawa kecil.
“Waw, calm down” Ardeki semakin tertawa mendapatkan cecaran dari Liona. Nila hanya menggelengkan kepalanya pada mereka berdua.
“Baiklah, sepertinya aku harus pergi dari sini. Aku tak mau mengganggu” kata Liona lalu meraih tasnya dan pergi menjauhi mereka berdua.
“Aku temui kau dikelas Lio” teriak Nila, Liona mengangguk dari kejauhan sebelum menghilang dari pandangan Nila.
“Gadis itu kenapa sih?” tanya Ardeki sambil bergidik ngeri. “Kau tau Liona galak ‘kan?”
“Iyasih, apa ada pria yang tahan bersamanya?”
Nila menginjak kaki Ardeki dengan cukup keras. “Aw!!” Ardeki meringis kencang. “Berhenti meledeknya!!”
“Ya ya ya”
“Sedang apa kau disini?” tanya Ardeki pada Nila. “Aaa.. hanya sedang..” Nila memutar otaknya, mencoba mencari alasan yang tepat.
“Sedang?”
“Em..men-mencari udara segar” ucap Nila gelagapan. Ardeki hanya mengangguk “Oh”
Nila mendengus pelan. Untunglah ia tidak curiga.
Mereka berdua kemudian duduk ditempat kemarin. Namun tiba-tiba Ardeki tertawa. “Kau gila?” Nila menaikan alisnya melihat pria itu tiba-tiba tertawa.
“No, hanya saja aku merasa bodoh saat melihat tempat ini. Kemarin benar-benar hari yang mengesankan”
Nila hanya diam, ia tidak tau harus berkata apa. Mulutnya terasa malas untuk digerakkan. Ia bingung, apa benar kemarin hari yang mengesankan? Bukankah karena kemarin ia jadi kehilangan gelang pemberian Ardeki?
Dan yang paling bodoh adalah kenapa ia baru sadar ia kehilangan benda itu siang tadi?
Nila menundukan kepalanya bingung.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Ardeki yang mulai menangkap ada sesuatu yang tidak beres. “Ya, aku tidak apa-apa” Nila memaksakan sebuah lengkungan senyum dibibirnya.
“Aku hanya bingung dengan tugas yang diberikan Mr. Underhill padaku kemarin” jawab Nila. Mungkin saja alasan ini bisa ia gunakan untuk menimpah kebohongannya.
“Ohya, aku lupa kalau kau punya tugas. Mau kubantu?”
“Tidak perlu, aku sudah meminta Marcus untuk membantuku”
Ardeki mengernyit. “Marcus?” katanya.
“Yes, why?” Nila balik bertanya. “Kau meminta tolong Marcus? Kenapa?”
“Karena dia ahli dalam matematika, kau tau sendiri ‘kan?”
“Iya aku tau itu, tapi kenapa harus dia?”
“Aku sudah mengatakan alasannya barusan Ardeki. Dia ahli dalam matematika dan mungkin saja dia bisa menyelesai dalam waktu singkat” jelas Nila yang masih menatap Ardeki heran.
“Haha, ya kau benar. Dia pintar, tampan dan idaman semua gadis ‘bukan?” Ardeki berkata dengan nada sedikit sinis. “Hei, ada apa denganmu? Aku hanya minta tolong, tidak lebih”
“Semua gadis-gadis menyukai Marcus, aku tau itu. Tapi setidaknya, kau bisa meminta izin terlebih dahulu padaku ‘kan?”
Nila mulai tidak menyukai situasi ini. Ia bisa melihat ekspresi marah yang terlihat dimata Ardeki. Nila sendiri masih tidak mengerti kenapa pria itu malah marah-marah tidak jelas.
“Kau cemburu?” tanya Nila hati-hati. Ardeki terdiam sejenak, ia tidak menjawab pertanyaan itu selama beberapa detik sampai kemudian Ardeki bertanya.
“Kemana gelangmu?” tanyanya heran. Ia langsung melihat kewajah Nila yang sekarang sudah berubah menjadi panik. Nila membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Ardeki sebiasa mungkin.
“A-aku, aku meninggalkannya dirumah” jawabnya
“Kenapa kau tinggalkan dirumah? Bukankah kusuruh kau untuk memakainya setiap saat?”
“Ya, aku tau itu! tapi aku hanya tak ingin gelang itu hilang” Nila membela dirinya. Padahal Nila sendiri sudah tidak tau dimana gelang itu berada.
Ardeki menatap Nila dengan pandangan menginterogasi. Ia bisa melihat sesuatu yang salah disana. “Kau menghilangkannya?” tanya Ardeki. Nila membulatkan matanya dan berkata “What?”
“Kau menghilangkan gelang itu ‘kan?” Ardeki mengulang pertanyaannya. “Aku tidak bilang aku menghilangkannya”
“Bisakah kau berkata jujur padaku? Aku bisa melihat kau gelisah dan aku tau kau menghilangkannya”
“Ardeki, aku bahkan belum sempat menjawab pertanyaanmu itu!” bentak Nila. Ardeki tersenyum sinis. “Kalau begitu jawab! Jawab pertanyaanku. Kenapa kau menghilangkan benda itu ‘huh? Kau sudah tidak peduli lagi padaku lalu sengaja menghilangkannya begitu saja?” suara Ardeki meninggi dari sebelumnya.
“How could you said that?” Nila tidak percaya kalau Ardeki berkata seperti itu pada dirinya.
“Karena memang itu yang kau lakukan padaku! Kau menghilangkan benda itu dan berlagak seolah tak terjadi apa-apa. Kau meminta Marcus untuk mengerjakan tugasmu sementara aku yang kekasihmu tidak kau anggap sama sekali”
“Itu karena aku tak ingin menyusahkanmu”
“Yeah, aku tau itu. Selalu itu yang kau katakan padaku!”
Pipi Nila terasa memanas. Ia menggigit bibir bawahnya menahan agar air mata tak keluar menjatuhi pipinya.
Ardeki mengangguk “Ya, aku tau itu. Karena mungkin dimatamu aku bukan siapa-siapa” katanya sambil mengangkat tubuhnya untuk berdiri. Nila sama sekali tidak bisa percaya Ardeki mengatakan hal itu padanya. Ia menganggap dirinya bukan siapa-siapa? Bagaimana bisa? Ia sudah pusing setengah mati untuk mencari gelang pemberian pria itu dan sekarang ia hanya bisa marah-marah pada Nila?
Nila ikut berdiri lalu berkata. “Ya, Aku memang menghilangkan gelang pemberianmu! Aku mencari benda itu keseluruh penjuru kampus ini dan kau mengatakan dengan seenaknya saja kalau aku sengaja menghilangkan benda itu! Aku meminta Marcus mengerjakan tugasku karena memang aku membutuhkannya untuk tugas, bukan untuk bersenang-senang!”
“Ya, karena mungkin Marcus memang jauh lebih sempurna dari pada aku jadi kau bisa meminta bantuannya. Karena dia pintar matematika dan aku hanyalah seorang pria bodoh yang pernah ditertawakan karena matematika. Aku tau itu” kata Ardeki akhirnya. Nila tak bisa menahan air mata yang sudah mendobrak untuk keluar dari kedua bola matanya.
“I better go” Ardeki tersenyum kecil lalu berjalan meninggalkan Nila. Mereka bertengkar. Nila yang tidak tahan pun berkata setengah berteriak “Ya, pergilah. Kau bisa mencari gadis lain yang bisa kau hibur dan membutuhkan bantuanmu. Dan benar, kau hanyalah seorang pria yang menjadi bahan tertawaan saat pelajaran matematika. Aku tau itu semua!”
Nila membelalakan matanya ketika ia melihat Ardeki menoleh kearahnya dan menghentikan langkahnya. Nila menutup mulutnya dengan tangannya. Ardeki memandangnya dengan kaget lalu berkata “Terima kasih”
Saat itu juga air mata jatuh dengan mudahnya membasahi pipi gadis itu. Ia menangis terisak disana. Mulutnya terlalu lepas kendali dan tidak bisa berhenti saat ia mengatakan hal itu pada Ardeki. Nila bahkan bisa merasakan bagaimana sakit hatinya pria itu saat ia mengucapkan kata-kata dalam itu pada Ardeki. Ia merasa menjadi gadis paling bodoh didunia. Bagaimana bisa ia mengatakan kata-kata menusuk itu untuk kekasihnya sendiri!
Nila menghapus cepat-cepat air mata dipipinya dengan tangannya. Air mata itu sudah tidak bisa ia tahan lagi. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Ia kehilangan gelang berharga dan sekarang ia akan kehilangan kekasihnya. Dan itu semua karena ulahnya yang terlalu sembrono. Ia menyesal. Ia tau kata maaf tak akan pernah cukup untuk pria itu.
*
Setelah kejadian pertengkaran itu. Ardeki tidak terlihat saat mata kuliah terakhir kemarin. Nila tidak tau ia kemana. Ia sebenarnya tau kebiasaan buruk pria itu yang suka membolos kuliah jika ada masalah.
Pengecut. Ujar Nila dalam hati. Suasana hati Nila sama sekali tidak enak saat ini. Intinya dia sedang dalam mood yang tidak baik. Ia juga belum menceritakan kejadian kemarin pada Liona. Ia tak ingin menambah beban sahabatnya itu, ia tau Liona juga sedang punya masalah dengan kakak kelas itu. Jadi ia lebih memilih untuk sendiri dulu.
Nila memasuki ruangan kelas dengan sangat lemas. Ia sedang malas untuk mengikuti mata kuliah hari ini. Tapi jika ia diam dirumah, pikiran tentang kejadian kembali menghantui otaknya.
Ia menemukan Marcus duduk ditempat duduknya didekat jendela. Nila langsung menaruh tasnya ditempat duduk yang akan ia duduki nanti dan mengambil kertas lalu menghampiri pria itu dan duduk tepat dihadapannya.
Mungkin ini bissa membuatnya sedikit melupakan kejadian kemarin. Mengerjakan tugas.
“Marcus, bisa kau tolong aku sekarang?” Tanya Nila. Marcus mengangguk kearahnya “Sure”
Marcus mengambil kertas yang berisi soal-soal memusingkan itu dan menjelaskannya pada Nila. Rumus-rumus itu semakin lama semakin memusingkan diotak Nila, ia sama sekali tidak bisa membayangkan jika ia harus mengerjakan ini sendirian tanpa Marcus. Tiba-tiba gadis itu teringat oleh kata-kata Ardeki kemarin. Pria itu tidak menghubungi Nila semalam. Tidak bisa ia pungkiri bahwa ia sedang memikirkan dan mengkhawatirkan gadis itu.
“Kau mengerti?” tanya Marcus. Nila tergelak “Apa?”
Marcus menyipitkan matanya pada Nila “Kau tidak mendengarkanku ya?”
“Dengar kok”
“Lalu tadi?”
Baru saja Nila ingin menjawab pertanyaan Marcus namun seseorang pria membuka pintu kelas dan membuat perhatian keduanya teralih kepria yang sedang berdiri diambang pintu.
Itu Ardeki. Ya, pria itu tentu saja melihat pemandangan yang menurutnya masih terlalu pagi untuk harus ia lihat. Hatinya terasa remuk setelah melihat Nila dan Marcus duduk berdekatan, dengan posisi Marcus berada dihadapan Nila. Memang mereka tidak melakukan apapun, tapi kelas sepi. Bisa saja mereka berdua melakukan sesuatu kan? Tapi mengingat Nila gadis baik-baik jadi ia bisa menampik pikiran itu. Walaupun itu sulit, apalagi otak Ardeki sudah dipenuhi dengan pikiran negatif akan gadis itu.
Bukannya masuk kedalam kelas Ardeki malah berkata “Maaf aku mengganggu kalian, teruskan saja” ucapnya lalu menutup pintu dengan cukup keras dan hampir membantingnya.
Nila menutup matanya ketika ia mendengar bunyi bantingan pintu itu. Marcus mengernyit dan memandang Nila heran. “Ada apa dengan dia?” tanya Marcus pada Nila. Nila menggeleng “Aku tidak tau”
Marcus masih belum percaya lalu menatap Nila yang sedang kacau. “Kalian sedang ada masalah ya?”
“Kenapa tanya?” Nila balik bertanya. “Karena aku ingin tau”
Nila mendengus kasar lalu menatap Marcus. Mungkin Marcus bisa menjadi tempat ia mencurahkan isi hatinya. “Kau mau mendengarkan cerita membosankan aku?” Nila bertanya sekali lagi. Marcus menganggukan kepalanya.
“Jika kau tidak keberatan aku mendengarnya”
Nila mulai menceritakan semua kejadian kemarin. Ia menceritakannya kepada pria yang tadi seharusnya mengajarkannya matematika. Ia menjelaskan semua yang terjadi pada Ardeki dan dirinya kemarin. Marcus sedikit tertawa ketika ia mendengar namanya dalam cerita itu.
“Haha. Apakah aku harus bilang padanya kalau aku hanya membantumu mengerjakan tugas?” Marcus masih tertawa. “Tidak perlu, dia pasti akan menganggapmu kalau kau meledeknya”
“Hahaha benar juga. Kau tenang saja, dia pasti akan meminta maaf lagi padamu. Aku yakin sekali. Yah walaupun itu sepenuhnya salahmu karena menghilangkan gelangnya” kata Marcus sambil tersenyum. “Ya, semoga saja” Nila membalas senyuman Marcus.
“Baiklah, aku tau kau pasti tidak bisa konsentrasi untuk mengerjakan tugas ini. Bagaimana kalau aku saja yang mengerjakan?” Marcus menawarkan diri pada Nila. Nila sedikit tidak percaya kalau pria ini barusan menawarkan sesuatu yang mungkin sedang ia harapkan.
“Benarkah?”
“Ya, tapi kau harus bayar dengan secangkir capucino di cafetaria. Bagaimana?”
“Oke” Nila tersenyum lalu mengucapkan terima kasih pada pria itu. Tak diduganya ternyata pria itu lumayan baik juga.
*
“Yeah~ memang sepertinya setiap pria harus punya kecemburuan sosial pada Marcus hahhaa” komentar Liona ketika mereka sudah berada dikoridor kampus setelah jam pelajaran usai. “Tapi itu berlebihan Lio”
“Mungkin, tapi kata-katamu itu memang sudah menyakiti hatinya. You have to apologize honey. Kalau kau tak ingin kehilangan kekasihmu” ucap Liona memberi saran. Nila mengangguk. “Ya, aku akan meminta maaf. Tapi... aku tidak tau kapan. Hubungan kami semakin memburuk”
“Nila!!” suara kencang seorang gadis membuat Nila dan Liona menghentikan langkahnya dan menolehkan kepalanya pada gadis itu.
“Jenny?” gadis yang bernama Jenny itu menghampirinya dengan berlari kecil.
“Hai Nila, Hai Lio” sapa gadis mungil itu pada Nila dan Liona. “Hai” balas Liona dan Nila bersamaan.
“Aku hanya ingin memberikan ini padamu Nila” Jenny memberikan sebuah benda yang ia genggam ditangannya. “Is this yours?” tanya Jenny setelah menunjukan sebuah gelang berwarna perak itu pada Nila. Nila memelototkan matanya tidak percaya.
“Ya! Ini gelangku! Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Nila tidak percaya, ia langsung mengambil gelang itu dari genggaman Jenny. Jenny tertawa. “Kau itu memang ceroboh sekali ya. Aku menemukannya didekat taman kemarin. Untung saja tidak jatuh kedanau” Jenny menjelaskan.
“Bagaimana kau tau itu milik Nila?” Liona bertanya. “Marcus menceritakan padaku kalau Nila kehilangan gelangnya dan kupikir ini milikmu, jadi aku kembalikan” jelas Jenny lagi.
“Oh ya tuhan, kupikir benar-benar sudah menghilang. Thank you so much Jen” ucap Nila berterima kasih. “You’re welcome” jawab Jenny. “Jaga baik-baik gelang itu, jangan sampai hilang lagi” Jenny mengingatkan
“Terima kasih, Jen” Liona ikut memberikan kata terima kasih pada teman sekelasnya itu. “Ya, sama-sama. Aku pergi dulu ya”
Nila dan Liona langsung berteriak bersamaann ketika Jenny sudah pergi menjauhi mereka. Perasaan senang Nila tak bisa ia tutupi sekarang. Gelang itu sudah kembali ditangannya sekarang.
*
Sore pun tiba. Matahari mulai ingin turun dari tempatnya dan terlihat ingin menampilkan sunset di sore hari itu. Nila dan Liona masih belum memilih untuk pulang kerumah mereka. Mereka berdua malah berbaring disebuah rumput hijau dibelakang kampusnya. Ini tempat favorite Nila dan Liona. Mereka selalu menyempatkan diri untuk kesini jika ingin menangkan hati mereka. Tempatnya sangat damai dan asri. Banyak pohon-pohon rindang yang membuat udara disana sangat sejuk dan tenang.
Liona membangkitkan tubuhnya hingga posisinya menjadi duduk. Ia menghembuskan nafas lalu menatap Nila disampingnya. “Lebih baik kita foto-foto saja” Liona mengusulkan. Nila menoleh kearahnya masih dengan posisi berbaring “Kau bawa kamera ‘kan?” tanya Liona. Liona selalu teringat bahwa gadis itu adalah pecinta lomo dan tidak pernah lepas dari kamera lomo-nya.
“Ya, aku bawa” Nila menimpali lalu mengambil sebuah kamera berbentuk unik bernama Holga.
“Well, karena suasana hati kita benar-benar sedang tidak baik. Kurasa kita bisa sedikit berfoto-foto untuk menghapus segala kekesalan kita” ucap Liona. Nila tersenyum. “Mungkin”
Liona langsung menghampiri sebuah pohon didekat sana lalu berpose. “Foto aku disini! Buat aku terlihat cantik yaaa!” perintah Liona sedikit berteriak. Nila hanya mengangguk saja. Jujur saja, ia sedang malas untuk hunting foto saat ini. Walaupun gelang itu sudah ditemukan, ia masih belum bisa berhenti memikirkan pria itu. Ia ingin meminta maaf pada Ardeki, tapi ia terlalu gengsi untuk memulainya. Padahal semua kesalahan ada pada dia.
Nila terus mencari pemandangan yang bagus untuk huntingannya. Ia mengarahkan fokus kameranya itu kesegala arah dan mencoba untuk mencari objek yang bagus. Yah, sekarang ia bisa mengakui kalau suasana hatinya menjadi jauh lebih baik setelah ia memegang kamera lomonya.
“Bagaimana hasilnya?” Liona bertanya sambil menghampiri Nila. Nila menunjukan hasil potretannya kepada Liona “Cukup bagus” komentar Liona.
Tiba-tiba handphone Liona bergetar, ia buru-buru mengambil benda yang menghasilkan getaran itu dari tasnya. Lalu melihat sejenak kedalam layar handphonenya. “Is there something wrong, Lio?” Nila bertanya penasaran melihat ekspresi Liona yang sedang kebingungan. “Eum, i dont know. Henry wants me go to the cafe. Should i come to him?”
Nila mengangguk cepat “Tentu! Kau harus kesana, Lio. Mungkin ia ingin meminta maaf atau mengatakan sesuatu yang penting padamu. Ayo cepat hampiri dia” kata Nila bersemangat. Tapi wajah Liona masih terlihat bingung. “Tapi.. i wont leave you”
“It’s okay babe, i can take care myself”
“Okay. I’ll go to him then”
“Kau harus langsung pulang okay? Jangan pernah katakan kalau kau malas untuk pulang kerumah!” ancam Liona pada Nila, gadis itu hanya tertawa mendengar ancaman Liona. “Yeah, i’ll go home”
“Text me, jika kau sudah sampai dirumah” ujar Liona sebelum ia benar-benar meninggalkan Nila ditempat itu.
Kini Liona sudah pergi menemui Henry, dan sekarang Nila sendirian ditempat itu. Ia kemudian duduk di rerumputan itu kemudian tersenyum sendirian. Ia masih malas untuk pulang kerumah.
Entahlah, Nila memang paling malas untuk berada dirumah. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan tidak jelas bersama teman-temannya.
Ia menatap kearah matahari yang terbenam lalu terkejut melihat sunset yang ada dihadapannya.
Ia meraih kamera lomo-nya lalu mengarahkan fokus kamera itu pada sunset. Warna orange dan merah yang beradu menjadi langit gelap terlihat bagus dikameranya. Ia tidak sabar untuk melihat hasil potretannya dan menunjukannya pada teman-temannya. Ini pasti menjadi salah satu karya terbaiknya selama ia menggunakan kamera lomo.
“Lihat siapa yang belum pulang disini” sebuah suara yang sangat Nila hapal terdengar dibelakangnya. Gadis itu membalikan tubuhnya dan begitu terkejut melihat Ardeki berada disana.
Apa yang dia lakukan disini?
“What are you doing here?” tanya Nila heran. Ia menatap Ardeki bingung. Kenapa pria itu bisa menemukan dirinya disini?
“Memperhatikanmu dan memastikan kau pulang dengan selamat” jawabnya lalu berjalan menghampiri Nila dengan sikap cuek dan santainya.
“Aku bisa menjaga diriku sendiri” Nila menimpalinya dengan jutek. Ardeki tertawa kecil
“Gadis sembrono sepertimu mana bisa menjaga diri sendiri”
“Lebih baik kau pulang daripada disini cuma untuk mengejekku”
Pria itu kembali tertawa mendengar kata-kata dari Nila. Langkah kakinya semakin mendekati Nila. Ia berhenti sejenak lalu melihat mata Nila langsung. Ardeki membuka mulutnya lalu berkata “Aku minta maaf” ucapnya pelan. Nila mengalihkan pandangannya ketanah yang ia pijak.
“Aku tau aku tak seharusnya bersikap bodoh seperti kemarin, aku sangat bertingkah kekanak-kanakan saat itu” Ardeki menjelaskan dengan suara yang pelan, tapi Nila masih bisa mendengar suaranya. Ia terdengar menyesal, Nila sendiri masih belum tau apa yang harus ia jawab.
Sampai akhirnya Nila mendongakan kepalanya dan tersenyum pada Ardeki. Nila bahkan tidak tau bahwa pria itu merasa tersiksa karena tidak melihat senyumannya dalam seharian ini.
“Itu bukan salahmu. Kemarin mulutku terlalu lepas kendali dan mungkin aku terlalu emosi jadi tidak sengaja mengatakan kata-kata itu padamu” jelas Nila dengan suara yang semakin mengecil ditiap katanya.
Ardeki mengacak-acak rambut Nila sambil mengembangkan senyuman dihadapan gadis itu. Harus Nila akui bahwa saat ini ia terpesona oleh Ardeki.
“Ardeki, aku minta maaf” ucap Nila pada Ardeki. “Aku sudah memaafkanmu” balas Ardeki yang masih belum bisa menghapus senyumannya.
“Tadi pagi Liona menghampiriku lalu memberikanku ini” Ardeki berucap sambil membuka sebuah sobekan selembar kertas yang berisi sebuah gambar waterfall dengan dua orang kecil yang sedang bertatapan didekat waterfall itu. Nila membelalakan matanya terkejut. “Darimana kau dapatkan itu? Itukan...”
“Liona memberikan ini padaku, ini yang kau gambar waktu kita bertemu di waterfall waktu itu ‘kan?”
Nila tak bisa menjawab, ia masih kaget. Bagaimana bisa Liona menemukan hasil gambarannya dan memberikan lembaran itu pada Ardeki. Jadi, ini semua rencana Liona? Apakah ia harus menjitak kepala sahabatnya itu besok? Tapi berkat Liona juga hubungan dia dan Ardeki jadi membaik.
“Dan siangnya, Marcus menghampiriku dan menjelaskan semuanya. Kalau dia dan kau itu hanya teman, dan dia hanya bermaksud untuk memberikan bantuan dengan mengerjakan tugasmu. Yaaa, aku mengerti itu semua sekarang” lanjut Ardeki. Nila menatapnya dengan tatapan skeptis “Kau ini juga bodoh sekali sih! Bagaimana bisa berpikir kalau Marcus tertarik padaku?! Aku dan dia hanya teman sekelas! Ingat itu!”
“Ya, tapi aku tak bisa tahan lagi kalau ada pria lain yang mendekatimu” timpal Ardeki santai.
Nila tertawa mendengar kata-kata Ardeki. Ardeki melihat sebuah benda yang tersangkut dilengan Nila. “Kau menemukan gelang itu?”
“Jenny yang menemukannya lalu mengembalikannya padaku” Nila menjelaskan sambil tersenyum kecil. “Baguslah, jangan pernah kau hilangkan itu lagi”
Nila mengangguk pelan masih dengan tersenyum. “Ya, tidak akan”
Langit semakin mulai gelap. Kedua orang itu masih berada ditempat itu dengan perasaan yang mungkin susah untuk diungkapkan. Ardeki menatap kemata gadis itu sekali lagi. Ia mengarahkan tatapan matanya untuk melihat langsung ke bola mata hitam milik Nila. “I love you” ucapnya pada Nila. Ia mengatakan itu dengan intonasi yang jelas. Ardeki meraih pinggang gadis itu dan memeluknya erat tapi lembut. Nila tak bisa berbohong pada dirinya sendiri, ia tidak bisa berbohong kalau dia sangat menyukai saat-saat seperti ini. Ia merindukan saat dimana Ardeki memeluknya lembut dan merasakan waktu akan berputar lebih cepat dari biasanya.
“I love you too” bisik Nila tepat ditelinga Ardeki. Suara gadis itu begitu menggelitik ditelinga Ardeki, dan detik demi detik pelukan Ardeki semakin mengerat, seakan ia tak akan meninggalkan, melepaskan atau membiarkan Nila pergi dari sisinya.
“Remember, you’re mine. Whatever you do and wherever you go” Ardeki membisikan kata-kata itu ditelinga Nila. Nila tak bisa menahan sudut-sudut bibirnya untuk membuat lengkungan senyuman. Ia merasa nyaman pada saat seperti ini.
Kemudian Ardeki melepaskan pelukannya dan kembali menatap mata gadis itu. Tangan kanannya terulur lalu mengelus pipi Nila pelan dan lembut. Mereka kembali berpandangan, seolah tak ada mereka sangat tidak bisa untuk mengalihkan pandangan kearah lain. Dahi mereka kini bersentuhan, jarak mereka hanya terpaut beberapa senti saja. Kini Ardeki dan Nila bisa merasakan nafas mereka yang memburu.
Then, Ardeki kiss her on the lips and she kiss him back. Bibir mereka berdua bersentuhan. Nila tak bisa melawan, tapi harus ia akui hal ini adalah hal yang pertama kali ia lakukan. She gave her first kiss for Ardeki. Kekasihnya.
Ia bisa merasakan efek roller-coaster berada diperutnya sekarang. Ardeki mengecup pipinya lembut seakan tak ada hari esok. Seakan mereka akan menghabiskan waktu dan hidup mereka disini.
Satu hal yang tak bisa mereka berdua pungkiri adalah mereka berdua mempunyai perasaan yang sama. Walaupun sesuatu yang romantis tak pernah mewarnai kisah cinta mereka. Tapi kini, Nila dan Ardeki merasakan ia lah satu-satunya.
*
ini sekuel dari You've Fallen for Me yang aku bikin. maaf banget kalo hasilnya mengecewakan.
terima kasih udah baca :')
leave a comment please :)
0 komentar:
Posting Komentar