Kamis, 10 Januari 2013

ADMIRER

Diposting oleh Icha Elias di 06.20



Author : Ummu Aisyah or Icha Elias

Cast : Liona Thompson, Nate Rivers and others

Reminder : This story is purely mine mine mine! I made it in midnight. So, i want you all to respect my story if you found this. Don’t take anything from here. Happy reading xx

----

Aku menatap wajah dosen dihadapanku yang sedang melihat lurus-lurus kearah kertas dihadapannya. Dengan susah-susah aku menelan saliva ditenggorokan, kurasa, ini bukan berita bagus sama sekali. Peluangku untuk mendapat nilai C terlihat membesar.

“Sepertinya, tidak ada kemajuan dari semester kemarin, Ms. Thompson.” Katanya. Pada saat itu juga aku menghela nafas. Setengah kesal. Kenapa tidak ada kemajuan? Setidaknya sebelum exam aku sudah belajar perbedaannya dulu aku tidak pernah belajar, hanya lima belas menit sebelum exam. Aku juga sudah berusaha menghapal dan membaca materi, walau sering ketiduran.

Tapi helaan nafasku diikuti ketenangan. Setidaknya, aku tidak mengalami kemunduran. Tapi, belum tentu di mata pelajaran lain.

“Okay, that’s it. Jangan lupa kerjakan tugas-tugasmu.” Dosenku mengakhirinya akhirnya. Aku mengangguk sambil tersenyum dan berucap. “Thank  you, Sir.”

Aku langsung berbalik dan menghampiri tempat dudukku yang terletak disamping gadis berambut ikal, dia sahabat terbaikku, Nila namanya.

“Bagaimana?”
I shrugged. “Begitulah,” jawabku singkat.

Saat itu juga aku merasa aku hanya ingin terdiam dan tidak melakukan apapun, tidak mau berbicara, tidak mau memperhatikan pelajaran, tidak mau ngapa-ngapain! Karena aku merasa aku sama sekali tidak ada kemajuan sama sekali, sudah berapa tahun aku mengenyam pendidikan dibangku kuliah tapi aku tidak mendapat skill yang kukuasai. Tidak hanya itu, bahkan gadis yang kukira tidak terlalu pintar pun mendapat nilai yang lebih –jauh lebih—tinggi daripada nilaiku yang cuma sedikit diatas rata-rata.
Aku melipat tanganku diatas meja dan menerungkupkan kepalaku dimeja. Rambut Reddish-ku menutupi sebagian wajahku. Aku meniup-niup rambutku dengan iseng. Alih-alih agar air mataku tidak jatuh saat ini juga. Tidak mau menangis dihadapan sahabatku untuk kesekian kalinya, aku juga tidak mau membuatnya merasa lelah untuk selalu mengingatkanku agar tidak putus asa.

Sepertinya memang Nila mempunyai rasa yang peka dalam hal begini. Ia langsung berkata.
“Never mind, Lio. Nilaimu itu kan masih diatas rata-rata, lagipula itu hasilmu sendiri tanpa berbuat curang apapun, kan?”

Aku mengangguk pelan, masih dalam posisi tadi.

“Ta..tapi, masa iya, aku bodoh sekali sih, sampai-sampai. Yah, bisa dibilang mendapat nilai terkecil.”

“Tidak juga kok. Well, itu sih, faktor lucky juga kan, Lio.” Katanya lagi. Aku harus setuju dengan ucapan Nila, memang itu faktor lucky. Dan boleh dibilang aku ini tipe-tipe unlucky girl.
Tidak selalu beruntung. Tapi aku bersyukur sih. Setidaknya, aku masih bisa kuliah tanpa punya banyak absen, punya sahabat dan teman-teman yang baik. Walau terkadang keadaan dalam diriku sendiri menjadi alasan untukku sedih.

“Ayo kita keluar, kau masih mau disini, hah?” Nila menarik tanganku yang tadinya kutimpah dengan wajahku. Tingkat kemalasanku untuk tidak melakukan apapun sudah berkurang sedikit. Hanya sedikit.

“Kita mau kemana?” setelah berada diluar kelas aku bertanya pada Nila, dia mengangkat bahu,

“Kau? Mau kemana?” tanyaku lagi. Aku tau dia pasti ada janji dengan Nessie, Nessie temanku juga, tapi ingat point tadi, aku sedang malas melakukan apapun, bahkan untuk bertemu temanku sendiri. “Aku harus bertemu Deasy, kau mau ikut?”

Aku menggeleng cepat. “No, kurasa aku mau langsung pulang.”

Nila mengangguk mengerti, tapi beberapa detik kemudian ia tersenyum menggoda. Aku mengernyit melihat senyuman yang lebih kearah menyeringai itu. Dia kenapa?

“Kau yakin kau akan langsung pulang kerumah?” Nila bertanya masih dengan ekspresinya smirk-nya.

“Sangat! Aku sedang badmood!” balasku sok yakin. Karena memang benar aku sedang badmood. Aku membutuhkan mood booster.

“Oh, kalau begitu dia datang dengan tepat waktu,” Nila menyampirkan tangannya ditas sebalah kanannya lalu menunjuk kearah belakangku dengan dagunya. Otomatis aku langsung menoleh kearah belakangku.

Mataku membulat.

Disanalah dia. Seorang pria berwajah imut yang sedang membawa kamera DSLR yang selalu ia banggakan dan membuatnya menjadi terkenal diseantero kampusku.
Nate Rivers. Superstar sekolah. Seorang pria yang bisa melakukan apapun. Multitalented.

Pria ajaib.

Aku menyipitkan mataku setelah melihat cengiran Nate yang ternyata berada sekitar tujuh meter dari hadapanku. Aku kembali membalikan badan untuk melihat Nila yang sedang terkekeh melihatku yang terkaget melihat dia.

“Haha, Nate sudah disini, dan kurasa kau tidak akan langsung pulang. Eum, dan...sepertinya Deasy sudah menunggu, bye!” ucapnya ceria, ia langsung berjalan kearah kiri koridor dengan ceria. Mungkin merasa kalau dia sudah menjadi cupid bagi sahabatnya, seperti yang aku lakukan saat ia belum jadian dengan kekasihnya.

What? Tapi bukan berarti aku menyukai Nate! Dan aku juga tidak membutuhkan Nila sebagai cupid.

Setelah memastikan Nila menjauh dari jangkauan, Nate menghampiriku masih dengan cengirannya. Jika aku boleh jujur, aku akan bilang kalau yang paling aku suka dari wajahnya adalah wajahnya. Ukirannya sempurna, matanya hitam pekat yang memancarkan ketajaman tapi lembut, hidungnya, bibirnya, semuanya sempurna. Tak jarang kalau banyak gadis yang menyukainya. Well, aku belum termasuk sih.

Tanpa terasa aku memandanginya untuk beberapa detik. Hingga ia mengembalikan aku ke bumi dan meruntuhkan dunia khayalanku tentang wajahnya.

“Ada apa?” kataku jutek. Seperti apa yang telah aku lakukan sebelumnya padanya, sedikit aneh kalau aku memperlakukannya dengan kalem seperti gadis-gadis lain.

“Nila said you need mood booster, now, i’d try to be your mood booster.”

“No need.”

Aku langsung berbalik, berpura-pura untuk berjalan dan mengabaikannya untuk pulang. Tapi sesuai dugaanku. He catched my hand.

Ia langsung membalikkan tubuhku untuk menghadap kearahnya. Jantungku hampir melorot ke perut saat mata kami bertemu dengan tiba-tiba.

“Let me try. Huh?” katanya. Posisi kami sedang berdiri rapat. Orang-orang dari belakang Nate mungkin bisa berasumsi kalau Nate sedang mencoba menciumku. Tapi tidak, ia hanya menggenggam tanganku.

Aku langsung mencoba melepaskan tangannya. Tidak mau terlalu lama membiarkannya menularkan ketenangannya.

“Okay, kalau kau memaksa.” Kataku akhirnya. Sebenarnya badmoodku sudah berkurang sekitar beberapa menit yang lalu. Saat Nila menenangkanku dengan beberapa kata-kata ampuhnya, dan saat Nate muncul dihadapanku. Mungkin, saat ini bisa dibilang moodku sudah membaik.

“Yeah!” ia berseru girang. Aku hanya tersenyum geli.

“Now, let me take you anywhere that you want.” Lanjutnya setelah berseru girang. Aku menggeleng, tak punya jawaban.

“I don’t know, i was planning to go home. So, i don’t have planning to go anywhere.” Aku menjawab jujur. “Antarkan aku pulang?”

“Tidak ah, tidak seru.” Jawabnya menyebalkan.
Mataku langsung menyipit lagi. Jangan sampai pria ini membuatku kembali ke moodku yang jelek seperti awal. Aku melipat tanganku didada lalu membalikkan badan, pulang untuk sebenarnya.

“Yasudah, aku pulang sendiri.” Kataku langsung berjalan dengan angkuh. Nate kembali menghentikanku.

“Baiklah, sekarang, kita ke perpustakaan saja.” Katanya menyerah sambil meraih tanganku lagi, aku tak tau apa rencananya untuk membawaku ke perpustakaan dihari yang seperti ini. Disaat-saat aku yang sedang tidak ingin membaca buku apapun.

“What? I don’t wanna read rite now.”
Ia melihat kewajahku, terlihat lelah mengikuti sifat jutekku. “Ikut saja, di perpustakaan kan tidak harus membaca.” Ucapnya melantur. Setauku, perpustakaan itu memang tempat untuk membaca.

“Please?” wajahnya memohon. Aku tidak tega melihat wajahnya yang imut terlihat makin innocent dan terlihat makin seperti bocah, akhirnya aku menyerah dan berkata “Baiklah,”
Ia kembali tersenyum. Padahal dalam hatiku sudah bersumpah serapah untuk menyalahkannya agar jangan tersenyum terus.



Kami berjalan berdampingan menuju perpustakaan dalam diam, sesekali ia mencoba meraih bahuku dan menyampirkannya. Namun aku melepaskannya seolah-olah ia sedang terkena penyakit menular. Tentu, bukan itu alasan utamaku, alasanku agar jantungku tidak berdegup bertambah kencang. Sudah cukup aku mencoba untuk bersikap biasa saat ini.
Pada saat aku berjalan bersama Nate, aku melihat seorang temanku bernama Levanna sedang bergandengan tangan dengan Aleron, sahabatnya. Levanna sempat tersenyum padaku dan aku membalasnya. Ia terlihat dari arah perpustakaan. Mereka terlihat serasi, walaupun bukan sepasang kekasih. Well, serasi itu bukan berarti harus sepasang kekasih, kan?
Entah kenapa aku menjadi membayangkan bayangan Levanna dan Aleron itu adalah aku dan Nate. Bodoh memang, tapi itulah yang ada dipikiranku.

“Sedang membayangkan itu kita ya?” tanya Nate seolah bisa membaca pikiranku. Aku melihatnya dengan kaget. God, jangan bilang pria ini bisa membaca pikiran orang, seperti para penyihir.

“Tidak juga!” aku membela diri. Karena bukan gayaku untuk mengaku dihadapannya.

“Wanna try?” tanyanya, ia membuka telapak tangannya, aku menautkan kedua alisku menatapnya dengan heran. Telapak tangannya sudah menungguku untuk menyambutnya.

Tapi aku masih ragu.

Tapi aku ingin merasakan lebih lama kehangatan tangannya yang sempat kurasakan saat didepan kelasku tadi.

Liona bodoh! Banyak sekali gadis-gadis yang ingin berada di posisimu, hampir seperdelapan kampus ini mengidolakan seorang Nate Rivers. Well, aku tak ingin menyia-nyiakannya, aku langsung menaruh tanganku diatas tangannya, ia tersenyum manis dan menggenggam tanganku erat, sangat erat, tapi lembut. Membuatku makin ingin berlama-lama begini.

Tapi sayang, kami langsung memasuki gedung perpustakaan dan duduk bersampingan. Tiba-tiba aku teringat dengan kata-kata dosenku. Tugas.

Aku duduk sebentar dan mengeluarkan notebook-ku kemeja.

“Tunggu ya, aku ingin mencari buku.”

“Kau bilang kau tidak ingin membaca.”

“Aku ada tugas.”

“Baiklah,” katanya, kubiarkan ia duduk menungguku, walaupun diwajahnya terlihat ia tak ingin kalau kutinggal, maksudku, ia tak ingin kalau aku mengabaikan dia sementara aku sibuk melengkapi catatan mencari bahan tugas nanti.

Aku langsung mencari buku-buku yang dimaksud dengan gesit. Untunglah tidak memakan waktu terlalu lama, setelah mendapat setidaknya dua buku, aku langsung menghampiri Nate dan duduk disampinganya. Ia terlihat bosan.

“Bosan? Kalau bosan kau boleh pergi, aku akan lama disini.” Kataku. Ia menggeleng, aku sedikit geer ketika ia bilang. “Aku tidak mau meninggalkanmu, lagipula, kan aku yang memaksamu kesini.”

“Oh ya, kau benar. Kalau begitu kau harus sabar.”
Aku tersenyum padanya, ia membalasnya dengan tertawaan datar. Aku menaruh tasku diatas meja dan mengeluarkan notebook lalu menulis beberapa tulisan-tulisan penting kedalam notebook-ku.

“So, you’re not a librarian anymore?” aku memulai pembicaraan sambil mencatat, aku bisa merasakan ia menggeleng walau aku tidak melihat kearahnya dengan pasti.

“No, I’ve got what i want, so, i don’t need to be librarian anymore.”

“I don’t get it.”

“Ofcourse you don’t. But, you will,”

Nate hanya membuka buku yang kubawa dengan malas, ia berkali-kali memutar-mutar, membolak-balikkan, memukul-mukulnya dengan bosan.
Setelah itu ia berhenti. Aku tak memperhatikannya dan memfokuskan pikiranku dengan buku yang sedang kutulis. Saat aku memalingkan wajahku pada Nate, kedua bola mataku hampir lari menemukan Nate sedang melipat tangannya dimeja dan menerungkup diatasnya sambil melihat kearah wajahku.

For god’s sakes. Sejak kapan ia memperhatikanku? Kalian tau, bagaimana rasanya diperhatikan oleh orang yang kau suka? Apalagi saat kalian sedang serius-seriusnya. That sounds not good! You don’t know how weird you were.
Suka? Apakah benar aku menyukainya?

“What?!” bentakku. Ia tersenyum menggemaskan. “Kau lucu ya.” Katanya masih dengan tersenyum.

Aku menutup buku, lalu melihat kearahnya. “Terima kasih, tapi aku tidak butuh fake pujian begitu,”

“I’m serious, it’s not that fake.” katanya datar. Ia mengubah posisinya menjadi duduk biasa. Ia tetap memperhatikanku.

“No, you’re joking.” Balasku ketus.

“No, it wasn’t something to joke about, i’m definetely serious, don’t you understand?”

Aku mengerti nada bicara ini, ini terlihat serius, tapi di nada itu aku mendengar suara yang lelah dan seseorang yang sedang sebal.

“Ya terserah,” aku kembali mengambil pulpen dan menulisnya, tidak mau terlibat topik serius dengannya. Mencoba mengabaikannya. Walaupun aku sebenarnya tidak bisa.

“Liona,” ucapnya, dan aku tidak suka saat dia memanggilku begitu. Terdengar sangat serius dan menyeramkan.

Aku tidak menjawab, ataupun menoleh, hanya kembali menulis, meskipun konsentrasiku sudah hilang entah kemana.

“Look at me,” ucapnya meminta.

“I’m busy.” Ujarku beralasan. Aku tak mau melihat kearahnya, mengobrol lebih jauh dengannya karena ini sudah menuju kearah yang sudah unexpected.
Ia terdiam. Syukurlah, ia mengerti kalau aku sedang sibuk. Sebenarnya, tidak begitu sibuk, aku ingin mendengar ia mengucapkan apa yang akan dia katakan, tapi aku tidak mau kalau aku terlalu berharap, sudah cukup aku dikecewakan dan menjadi orang bodoh dulu. Dan aku tidak mau aku terlihat seperti itu juga dimata Nate.

“Remember when we first met here?” tiba-tiba ia berkata. “It wasn’t the first. I’ve watching you.” ia melanjutkan kata-katanya.

Tubuhku kaku seketika, seperti diikat oleh tali-tali yang dilumuri oleh ice dan tidak bisa bergerak sama sekali. Bahkan, untuk bernafas pun sulit.
Apa maksudnya?

Aku menoleh kearahnya dengan susah payah. Mata kami kembali bertemu. Wajahnya begitu kelabu saat ini. Aku tak mengerti apa arti dari matanya, tapi saat ini matanya begitu teduh, ingin sekali membuat seluruh tubuhku meleleh.

“Waktu itu kau tidak sadar kau pernah menendangku dengan gelas cappuccino kosong, aku marah saat itu, aku ingin memaki siapapun orang yang menendangku dengan gelas kotornya itu. Tapi saat itu aku melihat kau sedang menarik Nila menjauh dari jangkauanku, agar aku tidak menemukan kau lah orang yang telah menendang gelas itu. Hanya itu, kau mampu membuatku terdiam, hanya karena aku melihat tingkah lucumu saat kau bersembunyi itu, kau bisa membuatku tersenyum-senyum sendiri. Setelah itu aku selalu bertemu denganmu, di koridor, di perpustakaan, disaat kau membela orang-orang yang sedang di bully oleh beberapa Mean Girls yang ada dikampus ini,”

Aku masih terdiam. Tak tau untuk memberikan respon apa pada Nate. Jadi, dia memperhatikanku?

“Sampai, aku memutuskan untuk menjadi Librarian untuk mencari tau namamu. Karena mungkin itulah satu-satunya cara. Haha.”

Aku teringat kata-katanya ‘No, I’ve got what i want, so, i don’t need to be librarian anymore.’

Jadi, itukah yang dia inginkan? Untuk mencari tau namaku?

“Now, tell me, what should i do?”
Aku terdiam untuk beberapa lama. Tak menjawabnya, melainkan malah menatapnya dengan salah tingkah.

“Eum... i don’t know,”

“Do you have any answer instead ‘i don’t know’ huh?”
Aku menggigit bawah bibirku, karena aku benar-benar tidak tau apa yang harus aku jawab. Aku ingin menjawab, tapi leherku serasa dicekik dan tak bisa mengeluarkan suara apapun.

“Nate, please, this is, well, um... i don’t know why you told me about that. But, i’m impressive that you’ve been watching me for long time. But, right now, i really don’t know what i have to say to you,”

Nate memandangku untuk beberapa menit. Seriously, this is so awkward. Dia memandangku dan membuatku semakin salah tingkah, aku hanya memalingkan wajahku, tak mampu membalas tatapannya yang begitu kuat.

“I’m sorry.” Ucapku menunduk.
Aku memainkan pulpenku yang berada ditanganku. Hingga pulpen itu jatuh kelantai, aku tidak mencoba untuk mengambilnya, karena aku tak sanggup bergerak, jangankan untuk mengambil pulpen, untuk menggeser tubuhku saja aku tak mampu.

“What is that mean?” tanyanya.
Aku menghela nafas kasar, aku benar-benar tak tau. Aku merasa menjadi orangpaling bodoh, karena tak mampu membawa beberapa jawaban yang terbaik untuknya.

“Do i have an answer?” aku berbalik tanya.
Ia mendesah. Kemudian ia bergerak, memundurkan kursinya. Kurasa ia marah padaku dan memilih untuk meninggalkanku saat ini. Kalau itu terbaik untuknya, aku rela. Ia boleh marah padaku sampai kapan saja. Tapi, kalau boleh aku jujur padanya, aku ini ingin sekali mengatakan kalau aku selalu merasa lebih baik jika berada disampingnya. Tapi, sulit sekali, aku tidak bisa mengucapkannya, lidahku terlalu kelu untuk mengeluarkan kata-kata itu dari ujung bibirku.

Dan aku mau jujur padanya, kalau aku tidak siap untuk menghadapi kemarahannya. Aku tidak mau kalau dia pergi begitu saja hanya karena jawaban bodohku tadi. Aku akan menyesal. Aku tidak akan memaafkan diriku. Inti dari semua itu adalah, aku tidak siap untuk kehilangannya. Tidak untuk saat ini.


Aku menunggu untuk Nate berlalu, tapi ia malah menunduk dari kursinya dan mengambil pulpenku yang terjatuh lalu menjulurkannya padaku. Aku membuka mulutku. Ia tidak marah?
Dia tersenyum manis. Like nothing happened. Padahal bisa dibilang ia sudah jujur tentang apa yang dia hadapi padaku.

“Thanks.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.

“I just want to know something. Apakah aku harus pergi dari posisiku sekarang? Atau tidak?” tanyanya.

Aku menundukan kepalaku. Berdeham dan menahan tangis, aku ingin menjawab, tapi takut, takut kalau ia marah dan meninggalkanku.

“No,” jawabku. Akhirnya aku bisa mengeluarkan kata itu.

“You don’t have to leave.” Kataku rada terbata, ia terlihat sedang menunggu lanjutan kata-kataku. Lagi-lagi aku berdeham untuk mengembalikan air mata dan menahannya agar tidak menangis didepan pria yang baru saja kusuka ini. “it’s because....you..you’re my moodbooster. Kau tidak boleh pergi dariku kan? Am i right?” kataku polos. Jawaban terbodoh yang pernah aku berikan kepada orang orang.

Senyumnya melebar memamerkan jejeran giginya yang rapih dan bersih. Aku terhipnotis melihatnya. Ia serasa menularkanku sebuah senyuman.

Ia tertawa sebentar lalu berkata. “Ya, you’re right.”

Aku tersenyum kecil. Lalu melanjutkan kata-katanya “and, i want to admit it. Whenever you’re with me, i’m feeling so much better. Thanks to you, Nate.”
Tangannya meraih kepalaku dan mengacak-acaknya. Aku merasakan fase dilatasi, fase dimana wajahku terasa panas dan mengeluarkan semburat merah.

“You’re very welcome, i just do what i wanna do.” Ucapnya tulus. Ia kemudian tersenyum lagi. Mendengar Nate tertawa renyah membuatku ingin tak berhenti untuk tersenyum. Dan pada saat ini aku jauh merasa lebih baik, aku merasa ini membuat kami jauh lebih dekat.
Apa yang aku akui barusan bukanlah sebuah kata-kata yang baru saja kurangkai untuk membuatnya tidak kecewa atau membatalkannya untuk meninggalkannya. Tapi aku memang merasakan itu. Terkadang, aku merasa bersalah saat aku membentaknya. Tapi terkadang pula, aku suka menerima sentuhan-sentuhannya; seperti ia yang membuat rambutku berantakan dengan mengacak-acaknya, menggandeng tanganku seperti tadi, walaupun itu adalah hal yang pertama kulakukan bersamanya. Tapi, aku memang menyukainya, dia pria yang jauh dari kata baik.

Dan aku belum merasa kalau aku pantas untuk bisa bersamanya.

***

IT’S DONE. HAHAHAHAHAH
WELL YEAH, I FINISHED IT IN JUST AN HOURS. HAHAHAHA.
I CAN’T SLEEP LAST NIGHT, THEN, I JUST WROTE IT TO MY FILLING UP MY SOFTSKILL STUFF.
OKAY, I KNOW IT WAS AS BAD AS ALL MY STORIES.

Tapi itu juga bikinnya ngasal.-.
Sebenernya ada cerita Liona-Nate lagi. Banyak.__. Cuma belum kelar, jadi ini cuma diambil dikit dari POV Liona. Ceritanya juga galengkap ini. Hahahaha. Ngasal, makanya ancuuur -..---
Oke, goodbye~
Thanks for reading :)
Comment would mean so much for me :)
Icha xoxo



0 komentar:

Posting Komentar

 

Icha's Room Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review